Catatan Tercecer Pidato Gubernur Bali, Prinsip “De Ngaden Awak Bisa” ala Koster

*Oleh Prof. Dr. Ida Bagus Raka Suardana, S.E.,M.M.
PRINSIP “De Ngaden Awak Bisa” yang disinggung oleh Ketua DPRD Bali Dewa ‘Jack’ Mahayadnya dalam Sidang Paripurna DPRD Bali pada 4 Maret 2025 mencerminkan nilai luhur dalam budaya Bali yang menekankan kerendahan hati dan ketulusan dalam berkarya. Ungkapan ini muncul setelah pidato Gubernur Bali, Wayan Koster, yang secara konsisten enggan mempublikasikan secara massif berbagai pencapaiannya selama menjabat di periode I. Dewa Mahayadnya menyoroti bahwa prinsip ini menjadi pegangan kuat bagi Gubernur Koster, yang lebih memilih membiarkan masyarakat sendiri yang menilai hasil kerjanya daripada secara eksplisit mengakui keberhasilannya.
Ungkapan “De Ngaden Awak Bisa” berasal dari Pupuh Ginada, yang dalam kehidupan masyarakat Bali memiliki makna mendalam: seseorang tidak seharusnya menyombongkan diri atas keberhasilannya, karena hakikat keberhasilan sejati terletak pada pengakuan orang lain, bukan dalam klaim pribadi. Prinsip ini mengakar dalam filosofi hidup orang Bali yang menjunjung tinggi harmoni, kesopanan, dan kebijaksanaan dalam bersikap. Bagi Gubernur Koster, prinsip ini bukan sekadar simbol tradisi, melainkan pedoman dalam menjalankan pemerintahan dengan ketulusan dan dedikasi penuh tanpa haus akan pengakuan.
Dalam konteks kepemimpinan, pendekatan ini dapat dianggap sebagai manifestasi dari kepemimpinan berbasis dharma, di mana seorang pemimpin sejati bekerja dengan integritas dan loyalitas tanpa mengharapkan pujian. Gubernur Koster telah melaksanakan berbagai program pembangunan di Bali, termasuk di bidang infrastruktur, kebudayaan, dan perekonomian, namun tetap konsisten dengan sikap rendah hati dalam menyikapi pencapaiannya. Ini menjadi kontras dengan banyak pemimpin di era modern yang cenderung mengedepankan pencitraan dan klaim keberhasilan sebagai alat legitimasi politik.
Namun, prinsip “De Ngaden Awak Bisa” juga memiliki dua sisi yang dapat ditinjau secara kritis. Di satu sisi, sikap ini mencerminkan karakter kuat seorang pemimpin yang tidak mencari popularitas, melainkan lebih fokus pada esensi kerja nyata. Tetapi di sisi lain, dalam era komunikasi yang serba cepat dan penuh persaingan, kurangnya publikasi atas pencapaian seorang pemimpin dapat mengurangi pemahaman masyarakat terhadap kinerja pemerintah yang sesungguhnya. Jika publik tidak mendapatkan informasi yang cukup, maka keberhasilan yang telah dicapai berisiko kurang diapresiasi dan bahkan bisa disalahartikan sebagai stagnasi atau ketidakefektifan kebijakan.
Oleh karena itu, prinsip ini sebaiknya tidak diartikan secara ekstrem. Kerendahan hati dalam berkarya memang sangat penting, tetapi transparansi juga menjadi elemen kunci dalam pemerintahan modern. Masyarakat berhak mengetahui perkembangan dan capaian pemerintah sebagai bentuk pertanggungjawaban pemimpin kepada rakyatnya. Dengan demikian, penerapan “De Ngaden Awak Bisa” dalam konteks pemerintahan perlu diseimbangkan dengan keterbukaan informasi agar tidak terjadi kesenjangan antara realitas dan persepsi publik.
Gubernur Koster dengan prinsipnya telah menunjukkan bahwa kepemimpinan yang baik tidak selalu membutuhkan pengakuan eksplisit. Namun, apresiasi terhadap kerja kerasnya tetaplah penting agar masyarakat memahami bahwa pembangunan di Bali tidak terjadi begitu saja, melainkan merupakan hasil kerja nyata yang layak mendapat pengakuan, bukan demi kebanggaan pribadi, melainkan demi transparansi dan akuntabilitas kepada rakyat.
(*Dekan FEB Undiknas Denpasar)