Devisa Pariwisata tidak Disetor ke Pusat

 Devisa Pariwisata tidak Disetor ke Pusat

Prof. IB Raka Suardana

Oleh Prof. Dr. IB Raka Suardana, S.E.,M.M.

Salah seorang anggota parlemen Bali menyatakan keprihatinan bahwa Bali menyetor devisa sebesar 107 triliun rupiah ke pusat, namun tidak memperoleh apa-apa sebagai balasannya. Pernyataan itu tidak sepenuhnya benar, karena tidaklah demikian sebenarnya.

Memang devisa pariwisata merupakan salah satu bentuk pemasukan negara yang berasal dari pengeluaran (belanja) wisatawan mancanegara saat berkunjung ke Indonesia. Devisa ini mencakup berbagai transaksi yang dilakukan wisatawan seperti pembayaran hotel, restoran, transportasi, belanja, dan jasa lainnya.

Di Bali, sektor pariwisata telah menjadi tulang punggung perekonomian daerah selama beberapa dekade terakhir. Dengan posisi strategis sebagai destinasi internasional, Bali menyumbang devisa yang sangat signifikan bagi Indonesia. Bahkan, pada masa puncaknya sebelum pandemi, Bali menjadi penyumbang devisa pariwisata terbesar di antara seluruh provinsi di Indonesia.

Namun perlu diketahui bahwa devisa pariwisata itu tidak disetor langsung oleh daerah ke pemerintah pusat, sebab devisa pariwisata tidak masuk ke kas negara secara utuh, sebab devisa itu diterima langsung oleh para pelaku usaha di sektor pariwisata seperti pengelola hotel, restoran, objek wisata, agen perjalanan, transportasi, dan pelaku ekonomi kreatif lainnya yang menyediakan barang dan jasa kepada wisatawan asing.

Uang yang dibelanjakan oleh turis asing itu masuk ke perekonomian lokal sebagai penghasilan yang kemudian berputar di dalam kegiatan ekonomi di Bali. Para pelaku industri inilah yang menerima devisa secara langsung, bukan pemerintah pusat.

Pemerintah pusat hanya memperoleh pendapatan dari sektor ini melalui mekanisme perpajakan sesuai ketentuan dalam Undang-Undang dan peraturan perpajakan lainnya. Pajak-pajak tersebut antara lain Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penghasilan (PPh), serta pajak barang mewah dan retribusi lainnya.
Oleh karena itu, asumsi (anggapan) bahwa seluruh devisa pariwisata disetor ke pusat adalah kekeliruan. Justru sebaliknya, devisa tersebut menjadi sumber pendapatan dan penghidupan langsung bagi masyarakat Bali yang bekerja dan berusaha dalam industri pariwisata. Pendapatan itu kemudian menjadi bagian dari Produk Domestik Bruto (PDB), yakni nilai keseluruhan barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu negara, termasuk dari sektor pariwisata, ekspor barang dan jasa, serta remitansi pekerja migran Indonesia (PMI).

See also  "Pindah" Ngantor, Menparekraf Sebut Selain Work From Bali juga bisa Study From Bali

Dalam kerangka perhitungan makroekonomi, devisa dari sektor pariwisata merupakan salah satu komponen penting dalam neraca transaksi berjalan, dan tercermin dalam PDB nasional. Peningkatan jumlah wisatawan asing yang datang ke Bali otomatis meningkatkan peredaran uang dan transaksi ekonomi di Bali, sekaligus menambah sumbangan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Artinya, devisa pariwisata memberi manfaat ganda, baik secara langsung kepada masyarakat Bali maupun secara tidak langsung kepada pemerintah pusat dalam bentuk pajak dan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Jadi simpulannya, Devisa dari hasil pariwisata itu tidak langsung disetor ke kas pemerintah pusat. (*)

Penulis, Dekan FEB Undiknas Denpasar

Redaksi

Related post