LSF Serap Aspirasi Terkait Sensor Film, Tahun 2024 Film Karya Sineas Indonesia Ditonton 81 Juta Orang

 LSF Serap Aspirasi Terkait Sensor Film, Tahun 2024 Film Karya Sineas Indonesia Ditonton 81 Juta Orang

FILM – LSF Indonesia menggelar acara Apresiasi Persepsi Masyarakat Terhadap Pengawasan dan Pemantauan Film dan Iklan Film di Provinsi Bali, di Denpasar, Selasa (11/11/ 2025).

DENPASAR – baliprawara.com
Lembaga Sensor Film (LSF) Indonesia menggelar acara Apresiasi Persepsi Masyarakat Terhadap Pengawasan dan Pemantauan Film dan Iklan Film di Provinsi Bali, di Denpasar, Selasa, 11 November 2025.
‎Kegiatan ini bertujuan untuk menyerap aspirasi masyarakat, sineas, aktivis film di Bali, pengelola bioskop, hingga akademisi terkait dengan sensor film yang telah dijalankan LSF selama ini.

‎Selain itu, kegiatan ini juga menjadi ajang untuk mensosialisasikan tentang pemilihan film sesuai jenjang usia.

‎Ketua Komisi II LSF RI, Ervan Ismail mengatakan di tahun 2024 lalu menjadi masa keemasan perfilman Indonesia. Bahkan film karya sineas Indonesia ditonton hingga 81 juta orang di tahun 2024.
‎”Jumlah tonton film nasional dibandingkan film asing, lebih banyak film Indonesia dan lebih digemari,” paparnya.

‎Ia juga menyebut, sebagai daerah tujuan wisata, bioskop di Bali mampu menarik banyak penonton asing. Sehingga hal ini juga menjadi angin segar bagi industri perfilman di tanah air.

‎Sebagai lembaga yang mengeluarkan surat tanda lulus sensor, LSF juga memantau apresiasi masyarakat terhadap hasil sensor lembaga ini.
‎”Terkait surat tanda lulus sensor untuk tayang di tv maupun bioskop ini, kami harus ada masukan, pendapat, dan kritik yang akan kami gunakan sebagai rekomendasi untuk membuat kebijakan penyensoran,” paparnya.

‎Dalam melakukan fungsinya, ia menyebut LSF tak serta merta melakukan pemotongan pada adegan yang dinilai melebihi batas.
‎Namun mengembalikan pada pembuat film untuk melakukan revisi.

‎Dari LSF akan mengeluarkan batasan umur untuk film tersebut, apakah layak untuk semua usia, 13+, 17+, atau 21+.
‎”Kami tidak ingin mengekang kreativitas dan ekspresi mereka,” katanya.

‎Namun belakangan muncul kekhawatiran baru dengan kemajuan dunia digital dan muncul banyak Over-The-Top (OTT) atau platform streaming. Sehingga masyarakat bebas menonton film yang bahkan tidak sesuai dengan usianya.

‎”Ke depannya kami berharap ada lembaga selain LSF yang bisa punya peran untuk mengawal itu. Sehingga media baru dengan internet ini setidaknya memiliki keparuhan regulasi,” jelasnya.

‎Selain itu, LSF juga memberikan perlindungan kepada film yang telah dinyatakan lulus sensor. ‎Jika ada yang memprotes atau meminta menurunkannya dari bioskop, LSF mengaku siap pasang badan.

‎Sementara itu, Wakil Rektor Bidang Perencanaan dan Kerjasama ISI Bali, Prof. Dr. I Komang Sudirga mengatakan beberapa tahun terkahir, industri film mengalami pertumbuhan pesat.

‎”Tidak hanya dalam produksi tapi juga peningkatan jumlah penonton dan meluasnya infrastruktur perfilman,” paparnya.

‎Dengan adanya platform digital seperti OTT, penyebarluasan film pun semakin mudah. Film pun jadi medium budaya dan memperkuat referensi perilaku masyarakat.

‎Sehingga perlu keseriusan dan tanggungjawab untuk menghasilkan tayangan positif dan menguatkan karakter. “Perlu ekosistem tontonan yang makin mencerdaskan,” paparnya. (MBP2)

See also  LSF Gelar Literasi Gerakan Nasional Budaya Sensor Mandiri di Bali

Redaksi

Related post