Tergerusnya Tradisi, Beradaptasi Dengan Perubahan

 Tergerusnya Tradisi, Beradaptasi Dengan Perubahan

Pemulis : I Made Gunawan, Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Manajemen Undiksha

SINGARAJA – baliprawara.com
Budaya agraris sangat kental di Indonesia, tidak terkecuali di Bali. Sebagian besar mayoritas jenis mata pencaharian masyarakat Bali dahulu, adalah sebagai petani. Namun mata pencaharian pokok tersebut mulai bergeser pada jenis mata pencaharian non-pertanian.
Pergerseran ini terjadi dimana pada saat sekarang dengan berkembangnya industri pariwisata dan teknologi di daerah Bali, sebagian besar masyarakat menganggap bertani bukan lagi sebagai sektor utama dalam mata pencahariannya. Budaya agraris di Bali memang masih ada namun hanya di daerah-daerah pedesaan saja, itupun sebagian besar sudah dipengaruhi oleh peran teknologi. Teknologi menjadikan kehidupan manusia menjadi serba praktis dan dinamis.
Perubahan pola pikir dan pola perilaku masyarakat desa semakin berubah dengan adanya kemajuan teknologi, begitu pula dengan adanya suatu sikap gengsi yang menjadikan masyarakat desa lebih memilah dan memilih pekerjaan apa yang akan mereka ambil. Tidak peduli akan hasil atau capaian yang akan didapatkan pada pekerjaan itu. Yang terpenting dalam pola pikir mereka adalah mengutamakan rasa gengsi atau minder ketika mengambil pekerjaan yang membuat badan kotor (petani-red).
Tradisi dalam kegiatan bertani secara tradisional sudah jarang digunakan dan bahkan diperkirakan sudah tidak ada lagi di kehidupan kalangan para petani pada saat ini, seperti “Matekap” dalam istilah tradisi orang Bali dalam membajak sawah. Adapun bagian-bagian dari peralatan tradisional ini yang digunakan adalah “uga” fungsinya ditaruh pada leher kedua ekor sapi yang kemudian bertujuan agar sapi bisa berjalan dengan bersamaan. Kemudian “tengala” fungsinya sebagai alat yang diikat pada “uga’” yang berbetuk memanjang dan saling berkaitan. Selain itu, ada “singkal” fungsinya merupakan sebagai alat penggali tanah dan yang terakhir adalah “lampit” dimana fungsinya adalah sebagai alat untuk meratakan tanah.
Dahulu metekap merupakan suatu tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Bali khususnya yang berada di desa, dimana sebelum mereka menanam padi maka mereka akan membajak sawah terlebih dahulu. Pada saat melakukan hal ini, tidak hanya orang tua atau orang dewasa saja yang merasakannya, bahkan anak-anak pun ikut senang. Karena pada saat metekap, anak-anak bermain di sawah dan bahkan yang menjadi favoritnya adalah mereka ikut menunggangi tengala atau alat yang digunakan untuk matekap tersebut.
Tentu dalam hal ini, akan timbul rasa kebersamaan dan rasa saling tolong menolong. Dimana dahulu ketika seseorang yang hanya memiliki satu ekor sapi, mereka otomatis tidak bisa membajak sawahnya. Maka dengan sukarela tetangga atau saudara yang ada disekitarnya, meminjamkan sapinya kepada mereka yang akan mau melaksanakan matekap.
Seiring perkembangan jaman dan teknologi, kegiatan matekap sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat Bali. Karena dengan kemajuan teknologi yang menghasilkan alat pembajak sawah yang disebut dengan traktor. Traktor ini telah menggantikan alat-alat tradisional Bali khususnya dalam hal membajak sawah.
Dengan traktor pekerjaan membajak sawah menjadi lebih mudah dan cepat, dan bahkan petani tidak lagi memerlukan sapi atau alat-alat lainnya untuk membajak sawah. Dengan adanya alat modern inilah masyarakat menjadi lebih dimanjakan, dan mulai meninggalkan budaya matekap.

See also  Covid-19 dari Sebuah Pandemi, Ramalan Hingga Paksaan Perubahan Paradigma dan Inersia Kehidupan

Disamping itu kebiasaan masyarakat desa pada saat ini untuk memelihara sapi sudah semakin menurun. Hal ini menjadi salah satu faktor yang dapat menghilangkan budaya matekap itu sendiri. Tidak bisa dimungkiri semakin kedepan nanti tradisi matekap ini akan semakin tenggelam. Oleh karena itu, walaupun masyarakat khususnya dalam hal ini anak-anak muda tidak memiliki niat untuk bertani, setidaknya mereka bisa mengetahui bagaimana tradisi yang ada dimasa lampau dan bagaimana proses tradisi tersebut dijalankan.
Peran pemerintah dalam hal ini adalah Dinas Kebudayaan harus lebih bisa memperkenalkan dan mempertahankan alat-alat atau sarana dan prasarana yang digunakan pada masyarakat terdahulu khususnya dalam tradisi matekap.
Tentu dalam perubahan, ini hal-hal yang dulunya ada, yaitu rasa tolong menolong dan rasa kebersamaan akan menghilang seiring dengan perubahan yang terjadi.

Teknologi menjadikan manusia lebih bertindak secara individu, siapa yang mempunyai barang atau uang yang lebih banyak maka merekalah yang akan dapat dengan mudah menjalankan setiap kehidupan mereka atau memenuhi kebutuhan hidupnya lebih cepat. Begitu pula dengan kondisi masyrakat khususnya generasi muda pada saat ini, jangankan untuk bertani, mungkin sebagian dari mereka tidak tahu apa itu uga, tengala dan lampit. Tidak dimungkiri karena kondisi lingkungan masyarakat dari semenjak mereka lahir sudah menerima perubahan baru tersebut. Begitu pula faktor lain yakni arahan dari orang tua terhadap anak-anaknya pada saat ini lebih cenderung mengarahkan anaknya untuk bekerja pada sektor pariwisata atau pegawai kantoran.
Perubahan tatanan kehidupan dan pola perilaku masyarakat adalah sebuah keniscayaan bagi setiap masyarakat tersebut. Tidak ada satupun masyarakat di dunia ini yang tidak luput dari perubahan. Perubahan itu dapat menggambarkan posisi masyarakat dalam dua dimensi, yakni statis dan dinamis. Dimensi statis menunjukkan struktur sosial yang ada dalam masyarakat dalam perubahan pola hidup dan perilaku masyarakat, sedangkan aspek dinamis menunjukkan adanya perubahan yang terjadi dalam masyarakat secara terus menerus.
Perubahan sosial dapat dipandang bersifat alamiah karena pasti terjadi pada setiap masyarakat. Namun dampak yang ditimbulkan dari perubahan sosial dapat bersifat problematik maupun menguntungkan bagi masyarakat. Dampak perubahan sosial dapat terjadi secara berbeda sesuai dengan karakteristik masyarakat itu sendiri untuk bisa menerima dan menjadikan suatu perubahan sebagai alat untuk meningkatkan kualitas diri.
Oleh sebab itu perubahan dapat diibaratkan seperti kita menggenggam pisau bermata dua, dimana ketika kita terlalu keras menggenggam pisau tersebut maka tangan kita akan terluka. Salah satu cara mengatasi hal ini adalah dengan menggenggam secara lembut pisau tersebut. Begitu pula dengan perubahan, kita harus bisa menerima dengan lembut sinyal-sinyal perubahan yang ada dan harus mampu beradaptasi dengan perubahan tersebut demi meningkatkan kualitas pada diri kita.

prawarautama

Related post

1 Comment

  • Disposable Vapes offer a hassle-free vaping experience with no refills or maintenance required. Compact and easy to use, they come in various flavors and are perfect for convenient, on-the-go enjoyment.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *