Akademisi FP Unwar Dorong Produksi Eco-enzyme Masal Untuk Biodisinfektan

 Akademisi FP Unwar Dorong Produksi Eco-enzyme Masal Untuk Biodisinfektan

Akademisi Fakultas Pertanian Universitas Warmadewa, Dr. I Nengah Muliarta, S.Si., M.Si., dengan produk Eco-enzyme.

DENPASAR – baliprawara.com

Akademisi Fakultas Pertanian Universitas Warmadewa (FP-Unwar), Dr. I Nengah Muliarta, S.Si., M.Si., mendorong adanya produksi eco-enzyme secara masal, baik oleh perorangan maupun kelompok masyarakat. Dimana disinfektan dari eco-enzyme, akan sangat bermanfaat di masa pandemi Covid-19, untuk mengurangi penggunaan disinfektan berbahan kimia sintetis. Mengingat penggunaan disinfektan berbahan Sodium hypochlorite sebelumnya, dapat berdampak negatif terhadap kesehatan manusia. Hasil penelitian terbaru mengungkapkan bahwa penggunaan disinfektan juga menjadi ancaman terhadap kelestarian serangga. 

“Eco-enzyme ini kan bahan ramah lingkungan, dibuat dari sisa buah dan sayur. Beberapa penelitian juga telah menyebutkan jika enzim limbah ini, memiliki kemampuan untuk menghambat aktivitas bakteri,” kata pria asal Klungkung yang kini juga sebagai Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Bali saat dikonfirmasi di Denpasar pada Sabtu 19 Februari 2022. 

Menurut Muliarta, produksi eco-enzyme masal, sangat memungkinkan karena cara pembuatan yang sangat sederhana dan dapat dilakukan oleh siapa saja. Bahan yang digunakan tersedia cukup melimpah, serta selalu tersedia. Dalam skala rumah tangga, bahan pembuatanya dapat diambil dari sampah dapur, karena hanya memisahkan kulit buah dan sisa sayur dari sampah lainnya. Bahan enzim sampah ini juga dapat dijumpai dengan mudah dari pedagang es buah ataupun dari sampah pasar. 

“Cukup proses fermentasi sampah dengan komposisi sampah, air dan gula merah dengan perbandingan 3: 10: 1. Jadi dapat dibuat oleh siapa saja, baik dalam skala besar dan skala kecil atau rumah tangga,” jelas pria yang pernah menjabat sebagai Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Bali periode 2014-2017 ini. 

 

Produksi eco-enzyme, selain menjadi solusi penyediaan biodisinfektan secara gratis, juga menjadi bentuk kontribusi dalam upaya pengurangan pembuangan sampah ke tempat pembuangan akhir (TPA). Pasalnya, tumpukan sampah akan menghasilkan emisi gas rumah kaca berupa gas CH4 (methan) yang memiliki potensi pemanasan global 21 kali lebih besar dari pada gas karbon dioksida (CO2). “Artinya semakin banyak sampah yang ditumpuk maka produksi gas methan juga semakin meningkat,” paparnya.

Mantan wartawan VOA Suara Amerika tersebut mengungkapkan bahwa upaya mengolah sampah rumah tangga menjadi eco-enzyme adalah bentuk pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Pengelolaan berbasis masyarakat setidaknya akan menggugah kesadaran masyarakat untuk mulai mengelola sampahnya sendiri. Kesadaran yang tumbuh secara mandiri diharapkan nantinya akan mempengaruhi prilaku, sehingga pengelolaan sampah tersebut menjadi gaya hidup masyarakat. 

Ia berharap, cara ini akan berdampak pada perubahan perilaku, sehingga pengelolaan sampah sayur dan buah menjadi eco-enzyme, akan menjadi gerakan yang berkelanjutan. Tantanganya kemudian adalah melakukan sosialisasi produksi eco-enzyme pada masyarakat, sehingga teknik pembuatan dapat dipahami oleh masyarakat. 

“Sosialisasi pembuatan eco-enzyme memang penting, namun perlu juga adanya inovasi pembuatan eco-enzyme, Inovasi dalam artian membuat secara sederhana, praktis dan cepat, tetapi memiliki kualitas yang baik” ujarnya.

 

Ia mengakui upaya mempercepat produksi eco-enzyme sudah pernah dilakukan, caranya dengan menambahkan ragi. Eco-enzyme yang dihasilkan juga dapat digunakan sebagai disinfektan karena memiliki kandungan alkohol mencapai 60-70%. Selain itu, memiliki kemampuan daya hambat sangat kuat, karena mampu menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus pada kisaran 31,85-34,41 mm.

See also  Akademisi FP Unwar Ajak IRT di Denpasar Kembangkan Perkebunan Vertikal

Secara ekonomi, pembuatan enzim dapat mengurangi biaya yang harus dikeluarkan rumah tangga untuk membeli kebutuhan disinfektan, pembersih rantai, pembasmi serangga hingga pupuk. Ketersediaan bahan berupa sampah sayur dan buah yang melimpah sangat memungkinkan memproduksi eco-enzyme secara masal. Apalagi di masa pandemic Covid-19, eco-enzyme dapat digunakan sebagai pengganti dari disinfektan berbahan kimia buatan.

Ia mengakui jika penyemprotan disinfektan berbahan eco-enzyme kini sudah lumrah digunakan. Eco-enzyme kini sudah menjadi biodisinfektan alternatif yang digunakan secara meluas, termasuk melakukan penyemprotan di ruas jalan dan area publik.  Penyemprotan disinfektan berbahan eco-enzyme sudah dilakukan salah satunya di Kota Denpasar, Singaraja dan beberapa kota di Pulau Jawa. Selain digunakan sebagai disinfektan, saat pandemi eco enzyme juga dimanfaatkan sebagai handsanitizer. “Fenomena ini mengajarkan pada kita bahwa sampah merupakan berkah dan bernilai ekonomi jika memiliki kesaradaran serta kemauan untuk mengolahnya” ungkapnya. 

Produksi eco-enzyme secara masal dapat menjadi salah satu pilihan dalam upaya pengurangan produksi sampah sisa sayur dan buah. Produksi masal pada sisi lain berkontribusi dalam pengurangan produksi emisi gas buang. Langkah ini dapat menjadi bentuk kontribusi anggota rumah tangga dalam upaya melakukan mitigasi perubahan iklim. Apalagi secara reaksi kimia produksi eco-enzyme menghasilkan ozon pada saat proses fermentasi, dimana ozon sangat bermanfaat dalam menjaga lapisan atmosfer bumi. (MBP)

 

redaksi

Related post