Pangempon Tak Bisa Tunjukkan Sertifikat, Bangunan Pendukung Pura Majapahit GWK Akhirnya Dirobohkan
MANGUPURA – baliprawara.com
Bangunan pendukung Pura Majapahit di luar area Garuda Wisnu Kencana (GWK), Ungasan, Kuta Selatan, Badung, yang berupa tempat penyimpanan perlengkapan pura, dapur, kamar pemangku, wantilan dan toilet, Selasa 4 April 2023, dibongkar oleh pihak manajemen Revayah Plaza. Hal itu dilakukan setelah proses negosiasi pihak pengempon pura, LBH Surya Artha Bali selaku kuasa hukum pengempon, bersama Ni Luh Djelantik, gagal menemukan kesepakatan dengan pihak manajemen Revaya Plaza.
Awalnya pihak pengempon meminta agar pihak Revayah Plaza menunda proses pembongkaran, dan memperjelas status lahan tersebut kepada pihak BPN. Namun pihak Revayah Plaza menolak dan meminta pihak pengempon menunjukan dasar sertifikat lahan pura. Karena tidak bisa menunjukan bukti diminta, maka pihak Revayah tetap melakukan pembongkaran bangunan pendukung. Setelah proses upacara secara hindu Bali dilaksanakan pada bangunan palinggih, barulah pembongkaran akan dilanjutkan kembali pada Kamis 6 April 2023.
Dalam mediasi tersebut, pihak revayah yang diwakili Komisarisnya menegaskan bahwa, tanah yang ditempati pura, merupakan tanah milik perusahaan. Namun, hal itu kemudian disanggah oleh pihak pengempon yang mencurigai bahwa lahan tersebut diluar dari SHGB dari pihak investor. Kedua pihak saling ngotot dengan pendapatnya masing-masing, berdasarkan kepercayaan dan bukti yang dimiliki. Dimana pihak pura mencurigai tanah tersebut merupakan tanah negara atas dasar pengecekan pada situs BPN. Sedangkan pihak manajemen memaparkan sejumlah sertifikat yang mereka miliki atas kawasan tersebut, termasuk lahan yang ditempati pura.
Kedua belah pihak juga saling beradu pandangan tentang sejarah keberadaan pura tersebut, dengan dasar kepercayaan masing-masing. Dimana pihak manajemen menilai pihak pengempon mengambil hak kepemilikan tanah atas bukti sertifikat yang dimiliki. Sedangkan pihak pengempon menceritakan asal muasal pura atas pernyataan saksi hidup yang mengetahui proses dari keberadaan pura.
Untuk mencari jalan tengah atas permasalahan tersebut, pihak pengempon kemudian meminta kepada pihak manajemen untuk menghadirkan BPN. Tujuannya adalah untuk memastikan status lahan tersebut. Namun hal itu ditolak manajemen, karena pihak pengempon tidak memiliki bukti tertulis yang dapat membantah sertifikat pihaknya. Karena itu pihak manajemen kemudian tetap untuk melakukan pembongkaran, namun hal itu dilakukan untuk bangunan pendukung pura. Sementara untuk bangunan palinggih, nantinya akan dibongkar setelah proses upacara secara hindu dilakukan, yaitu pada tanggal 6 April ini.
Apabila pihak pengempon merasa keberatan atas hal tersebut, pihak manajemen mempersilahkan agar mereka menempuh jalur hukum. Apabila hal tersebut kemudian dimenangkan oleh pihak pengempon, pihaknya mengaku siap mengganti bangunan yang dirobohkan dan akan membangun kembali.
Komisaris Revayah Plaza, Hendra Dinata atau biasa disapa Sinyo, mengaku kalau pembongkaran yang dilakukan karena bangunan Pura Majapahit berdiri di atas lahan seluas 5 are milik management Revayah Plaza. Karena itu pihaknya melakukan pembongkaran untuk menata kembali lahan mereka dan akan melakukan pembenahan maupun membangun sejumlah fasilitas kepariwisataan di kawasan.
“Saat ini kita baru bangkit dari pandemi Covid-19. Kita habis-habisan terpuruk dan nafas tersengal sengal karena pandemi kemarin. Maka dari itu, kita mulai berusaha agar kondisi di sini bisa hidup lagi dan masyarakat bisa bekerja seperti sebelumnya,” terangnya usai melakukan pertemuan dengan pengempon pura.
Proses pembongkaran yang dilakukan pihaknya tidak langsung dilakukan secara menyeluruh. Sebab pihaknya mengaku menghormati dan menghargai proses upacara yang harus dilakukan atas pembongkaran suatu pura. Sehingga, saat ini pihaknya hanya melakukan pembongkaran pada bangunan pendukung yang ada di sebelah pura.
Pada tanggal 6 April, pembongkaran akan dilanjutkan pada area pura, setelah dilaksanakan proses upacara secara hindu. “Ini lahan kita, jadi saat kita bongkar separuh dulu. Pertimbangannya karena ada budaya yang harus diikuti dan ditandai dengan upacara. Kami hormati upacara itu, sehingga kita menunggu setelah tanggal 6 nanti,” jelasnya.
Dia juga tidak memungkiri kalau pembongkaran Pura Majapahit memang tergolong cukup alot. Pihaknya sudah meminta kepada pengempon untuk segera melakukan pembongkaran, karena Pura tersebut berada di atas lahan milik management. Namun, nyatanya sampai saat ini pura itu masih berdiri. Pihaknya juga mengaku sudah puluhan kali bersurat untuk segera melakukan pembongkaran. Berbagai jalur diakuinya sudah melakukan ditempuh, termasuk berkoordinasi dengan Pemda.
Atas berbagai pertimbangan, pihaknya kemudian membulatkan tekad melakukan pembongkaran. Sebab jika terus dibiarkan, hal itu dikhawatirkan akan terjadi penambahan bangunan dan memperluas lahan yang diduduki. Apabila pihak pengempon pura keberatan akan hal tersebut, pihaknya mempersilahkan agar ditempuh jalur hukum. Tentu pihaknya akan siap menanggapi hal itu berdasarkan atas bukti kepemilikan lahan secara hukum.
Sementara, Penanggungjawab Pura Majapahit, Nyoman Suka Arta Negara menerangkan, dalam proses tersebut pihaknya berusaha melakukan negosiasi dengan manajemen atau investor bersama dengan Niluh Djelantik. Dengan harapan agar pihak manajemen bisa mendatangkan pihak BPN untuk melakukan pendataan dan pengukuran. Hal tersebut untuk memperjelas status lahan, agar tidak ada pengklaiman. Sebab instansi terkait merupakan pihak yang berwenang untuk memperjelas status lahan tersebut.
Apabila setelah BPN mengukur dan menyatakan bahwa tanah itu masuk ke SHGB investor, pihaknya tidak berkeberatan terhadap langkah yang diambil manajemen. Namun jika itu diluar SHGB, tentu pihaknya meminta agar tidak ada penggusuran dan pihaknya tentu akan mengurus hal itu agar tidak muncul kasus serupa di kemudian hari. “Sekarang dilakukan pembongkaran, sedangkan lahan belum dibuktikan apakah pura ini masuk ke tanah SHGB yang bersangkutan atau tidak. Dengan menunda eksekusi untuk memperjelas status lahan, apakah dunia ini akan kiamat, kan tidak. Saya sudah menegaskan, pengempon tidak akan mengambil yang bukan menjadi hak pura. Tapi kalau itu tidak masuk SHGB investor, maka pura yang akan memohon,” paparnya.
Pura Majapahit GWK diakuinya sudah berdiri di dalam kawasan itu sejak November tahun 2004 silam. Selama 9 tahun atau sampai tahun 2013, keberadaan Pura Majapahit GWK tidak pernah menjadi persoalan. Namun setelah pergantian investor dari Plaza Amata ke Revayah Plaza, kemudian muncul permasalahan lahan tersebut sampai saat ini dilakukan pembongkaran.
Menurutnya, legalitas lahan tersebut harusnya diperjelas dulu dengan mendatangkan BPN. Sebab ketika bangunan pura di bongkar, tentu taksunya tidak bisa dikembalikan lagi seperti semula. Walaupun bangunan yang saat ini dibongkar merupakan bagian pendukung, namun itu tetap merupakan bagian dari pura pada tatanan madya mandala. (MBP)