Dilema Masyarakat Bona atas Lemahnya Sistem HKI di Indonesia

 Dilema Masyarakat Bona atas Lemahnya Sistem HKI di Indonesia

Sosialisasi Hukum dan Desa Binaan 2023, dengan mengusung tema ‘Sajiwa Mangun Darma’, di Desa Bona, Gianyar, Minggu 11 Juni 2013.

GIANYAR – baliprawara.com

Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana (BEM FH Unud) menggelar kegiatan Sosialisasi Hukum dan Desa Binaan 2023, dengan mengusung tema ‘Sajiwa Mangun Darma’, yang dilaksanakan di Desa Bona, Blahbatuh, Gianyar, Bali, Minggu 11 Juni 2013. Dalam kegiatan ini banyak masyarakat Desa Bona yang yang mengeluhkan terkait sistematika dari HKI itu sendiri. Mulai dari biaya yang dibebankan untuk pencatatan hak cipta personal, bagaimana perlindungan hukum terhadap kekayaan intelektual di era digital, dan kurang masifnya partisipasi pemerintah dalam penegakan HKI, serta manfaat yang diterima masyarakat ketika mencatatkan hak cipta ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (KEMENKUMHAM). 

Sosialisasi Hukum dan Desa Binaan ini mendatangkan Koordinator Penyuluh Hukum Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM, Bapak I Gede Adi Saputra S.H.,M.H dan Prof. Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, S.H., M.Hum., LLM yang merupakan akademisi Fakultas Hukum Universitas Udayana sebagai narasumber. Dalam kegiatan tersebut forum diskusi menjadi panas akibat para penggiat seni Desa Bona menganggap forum ini adalah tempat mereka berkeluh kesah atas semua dilema yang terjadi.  “Kegiatan Sosialisasi Hukum dan Desa Binaan tahun 2023 ini dilaksanakan karena memang penegakan HKI di Desa Bona masih prematur dan perlunya sebuah sosialisasi hukum terkait dengan HKI,”  kata Ade selaku Koordinator Advokasi. 

Menurut Made Sidia, pemilik Sanggar Paripurna, dirinya merasa keberatan dengan beban biaya yang diterapkan untuk pendaftaran hak cipta. Oleh karenanya, Made Sidia berharap kepada pihak terkait agar bisa mencarikan jalan keluar atas permasalahan ini. Ia menuturkan, selama ini banyak ciptaan musik yang diklaim orang lain tanpa seizin pemilik.

“Tentang hak cipta sangat membingungkan, pak Gung Alit punya ciptaan musik dan digunakan di SPA tanpa seijin beliau. Mungkin dari pemerintah agar dibantu seniman Bona. Mohon pemerintah memberikan solusi dan membantu masyarakat. Dari beberapa karya-karya kami masih di klaim 99% diklaim oleh orang lain, kami disini ingin memiliki bapak-bapak sebagai perlindungan kami,” ujar Made Sidia.

See also  Penguatan Media Digital di Indonesia, AMSI dan RSF Luncurkan Journalism Trust Initiative

Ade selaku Koordinator Advokasi juga ikut meramaikan forum diskusi dengan coba menggali sebenarnya apa yang menjadi latar belakang penerapan beban biaya pada pencatatan hak cipta. “Yang menjadi pertanyaan dalam benak saya adalah mengapa kemudian pencatatan HKI berbayar?. Karena berdasarkan hasil riset saya pembebanan biaya pada pencatatan hak cipta berimplikasi terhadap enggannya para seniman untuk mencatatkan ciptaanya. Kemudian ketika memang pembebanan pembayaran ini dibawa ke dalam sistem keuangan negara, saya harap ketika banyak yang mendaftarkan kekayaan intelektual mereka sistem dari HKI di indonesia semakin masif dalam artian jangan sampai ada celah-celah kosong terkait dengan sistem penegakannya,” katanya berharap.

Terlepas dari hal tersebut, Agung Alit memiliki kebingungan terkait dengan sifat-sifat hak cipta. “Ciptaan atau karya seniman khususnya di Desa Bona ini masih ragu ataupun awang-awang apakah kita bisa dimasukan dalam hak cipta seseorang baik itu komunal maupun personal. Salah satu contoh ada sebuah tarian yang terlepas dari Cak Bona, apakah tarian tersebut termasuk komunal atau personal?,” ucapnya. 

Tidak hanya berhenti disana Agung Alit memiliki kebingungan terkait dengan penyelesaian sengketa HKI di era digital ini. “Bagaimana upaya kita seandainya kita yang bahkan susah payah membuat suatu karya tiba tiba ditayangkan oleh orang lain di media sosial, sedangkan kita sendiri tidak punya terdaftar di Kemenkumham. Dan juga seandainya karya tersebut sudah terdaftar apakah tayangan tersebut dimatikan?,” katanya lagi.

Selanjutnya I Wayan Sira selaku Ketua Cak Bona mengungkapkan, dilema terkait pelestari Cak Bona muncul ketika mereka mencatatkan Cak Bona sebagai kekayaan intelektual di Kemenkumham, “Jika Cak Bona telah terdaftar di HKI, apa asas manfaat bagi pelestari Cak Bona? Apa kontribusi HKI dalam pelestarian Cak Bona?,” Sira menanyakan. 

See also  Annual Southeast Asia Forum on Sustainable Capture Fisheries, Bahas Kejahatan Lintas Nasional

Banyak hal yang diharapkan Rico Vergian selaku Ketua Panitia Sosialisasi Hukum dan Desa Binaan salah satunya, .elalui forum diskusi ini pihaknya dapat melihat bahwa ini merupakan sebuah fakta sosiologis minimnya partisipasi pemerintah dalam proses sosialisasi HKI dan penegakannya. Ia berharap, semoga pemerintah semakin mengerti akan segala keresahan ini. “Jangan pernah menganggap HKI sebagai hal sebelah mata, karena menurut saya jika HKI dapat ditegakkan dengan baik hal tersebut sejalan dengan cita-cita bangsa yaitu mensejahterakan kehidupan bangsa. Apa yang disampaikan masyarakat Bona semoga segera dapat dicarikan jalan keluarnya, karena potensi kesenian di Desa Bona sangatlah besar adanya,” ucapnya. (MBP/r)

 

redaksi

Related post