Revitalisasi Kesenian Klasik, Sanggar Seni Majalangu Tampilkan Arja “Cupak Jayeng Rana” di PKB ke-46
DENPASAR – baliprawara.com
Duta Kabupaten Badung, yang diwakili oleh Sanggar Seni Majalangu, Banjar Padang Kerobokan, Kuta Utara, tampil di Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-46, dalam Pergelaran (Rekasadana) Revitalisasi Kesenian Klasik.
Bertempat di Kalangan Angsoka Art Center Bali, Sabtu 6 Juli 2024, Sanggar Seni Majalangu menyuguhkan Arja dengan cerita “Cupak Jayeng Rana”. Cerita yang diangkat ini, sarat akan pesan moral yang tentunya selaras dengan tema PKB tahun ini yakni Jana Kerthi Paramaguna Wikrama, yang berarti harkat martabat manusia unggul.
Menurut Ketua Sanggar Seni Majalanggu, I Made Agus Adi Santika Yasa, memaparkan, Arja Cupak ini menggambarkan proses dari Cupak di dalam mencapai kesadaran dirinya untuk menjadi yang lebih baik. Diceritakan Cupak itu akan memerangi Garuda Agung di Kerajaan Gobag Wesi, yang mana secara filosofi Cupak itu mengalahkan kesombongannya.
Dikatakan Agus, Garuda pada cerita ini merupakan simbol kesombongan, sehingga nanti setelah Cupak itu berhasil mengalahkan Garuda, di sanalah disebut Cupak itu Cupak Jayeng Rana. Yang artinya Cupak itu menang di dalam peperangan, bukan semata-mata perang melawan musuh, tetapi perang melawan dirinya sendiri, kebodohannya, kesombongannya.
Lebih lanjut dikatakan pria yang akrab dipanggil Agus Cupak karena kerap memerankan Cupak, untuk persiapan yang dilakukan sudah dilakukan kurang lebih 3 bulan, dengan melibatkan sebanyak 27 orang penabuh dan sebanyak 10 orang pemain.
Denganndipilihhya snaggar ini sebagai duta Kabupatem Badung, ia menyampaikan apresiasi, karena sebagai seniman, pihaknya terus diberikan ruang dan wadah berkesenian. Apalagi antusias masyarakat Bali untuk menyaksikan pementasan, sangat luar biasa sehingga menjadi semangat bagi para seniman. “Kami apresiasi sekali. Semoga kedepannya sinergi antara seniman dan pemerintah tetap bisa terjaga,” ucapnya.
Agus Cupak berharap, dalam PKB berikutnya Pemerintah bisa lebih memperhatikan tempat rias yang disediakan di Taman Budaya, agar lebih representatif. “Ruang rias yang kami gunakan sekarang itu terasa terlalu kecil, kurang memadai. Mungkin kedepannya bisa diperbaiki, bagaimana biar seniman juga nyaman melakukan kegiatannya dan keadaan juga bisa nyaman. Kedepannya saya juga berharap di dalam Pesta Kesenian Bali ini selalu menampilkan kesenian-kesenian klasik tradisi, supaya tidak serta-merta nanti dilupakan oleh masyarakat, yang mana arus globalisasi begitu kencang menerpa kita,” harapnya.
Penampilan Cupak Jayeng Rana ini, diiringi Tabuh Solo, yang berpijak dari sebuah hasrat dengan tekad yang imajinatif dari Maestro I Wayan Lotring. Berbagai karya yang monumental telah dilahirkan, salah satu karya seni karawitan yang diciptakan oleh sang maestro, yang merupakan bentuk sajian komposisi musik baru yaitu Tabuh Solo.
Mencoba menawarkan formulasi sajian musik baru, diluar norma dari Gamelan Palegongan yang berlaku pada zamannya. Karya ini terinspirasi ketika pada tahun 1926, sekaa palegongan Kuta diundang ke Keraton Solo untuk mementaskan sebuah pertunjukan.
Sepulangnya dari Solo, I Wayan Lotring tertarik pada gaya menabuh orang Jawa di Keraton. Hal tersebut menjadi landasan utama terciptanya karya seni karawitan Tabuh Solo ini. Ornamenasi yang terbalut padu padan pola ritme, dengan kelincahan melodi, dan bentuk permainan Keklenyongan Gamelan Jawa yang dimasukkan ke dalam Gamelan Palegongan menjadikan ciri khas karakter karya I Wayan Lotring yang berjudul Solo.
“Karya ini kami revitalisasi kembali sebagai bentuk pelestarian kesenian klasik, dari pengabdiannya melalui berkesenian patut kita teladani, kejeniusannya patut kita segani, agar terciptanya generasi yang unggul dalam harkat martabat dan berbudaya,” pungkas Agus Cupak. (MBP)