Tangani Epilepsi Intraktabel, Terapi VNS di Siloam Hospital Semakin Diminati
MANGUPURA – baliprawara.com
Epilepsi adalah salah satu gangguan neurologis paling umum, dengan prevalensi 1-2% dari populasi global, termasuk di Indonesia, di mana jutaan orang terpengaruh. Meskipun sekitar 70% kasus dapat dikendalikan dengan pengobatan, banyak penderita masih menghadapi kendala akses pengobatan dan stigma sosial.
Update ilmu seputar perkembangan tatalaksana penyakit Epilepsi ini, menjadi menteri diskusi yang disampaikan dalam symposium medis, yang digelar Siloam Hospitals Group, Sabtu 7 Desember 2024, di Bali Sunset Road Convention Center. Mengusung topik bertajuk “Revolutionary Innovation,Through Collaborative Excellence in Neurology and Cardiology”, acara ini juga dihadiri oleh 80an dokter spesialis, dokter umum dan tenaga medis area Denpasar dan sekitarnya.
Untuk menjawab tantangan ini, Siloam Hospitals menyediakan layanan komprehensif, termasuk teknologi diagnostik terkini, seperti EEG dan MRI. Selain itu juga ada terapi inovatif seperti Vagus Nerve Stimulation (VNS), yang dirancang untuk membantu pasien dengan epilepsi intraktabel atau epilepsi yang sulit dikendalikan.
Sebagai bagian dari komitmen ini, Siloam Hospitals menghadirkan dua pakar di bidang neurologi dalam sesi edukasi khusus. dr. I Gusti Ayu Made Riantarini, Sp.S., dengan materi Management of Intractable Epilepsy, yang mengupas strategi terkini untuk menangani epilepsi yang sulit diobati. Sementara, Dr. dr. Made Agus Mahendra Inggas, Sp.BS, FINPS, FICS, IFAANS, SH, MH, membahas tentang Vagus Nerve Stimulation for Epilepsy: A Review of the Peripheral Mechanisms. Diskusi ini tidak hanya memberikan wawasan baru tentang pendekatan terapi modern tetapi juga menegaskan peran Siloam Hospitals sebagai pelopor dalam perawatan epilepsi berstandar internasional.
Ditemui usai sesi diskusi, dr. I Gusti Ayu Made Riantarini, Sp.S., memaparkan penanganan untuk pasien epilepsi intraktabel di Siloam Hospital. Kondisi pasien seperti itu menurutnya perlu dilakukan tindakan lebih lanjut dengan operasi sesuai lokasi penyebabnya, atau tidak berada pada posisi saraf motorik. Pihaknya bahkan sudah pernah mengerjakan operasi tersebut di Siloam Hospital setahun lalu kepada dua pasien.
Lebih lanjut dikatakannya, penderita epilepsi di seluruh dunia sudah mencapai 65 juta orang. Dari jumlah itu sebagian besar penderita epilepsi dari negara dengan tingkat pendapatan yang rendah dan sedang. Sedangkan untuk di Indonesia, diperkirakan sudah mencapai 1,5 juta orang penderita epilepsi.
Untuk di Bali khususnya yang ditangani di Siloam Hospital, sejak tahun 2018 sampai sekarang, rata-rata setahun itu ada sebanyak 2000an kasus. Sedangkan untuk jenis kelamin, sebagian besar didominasi oleh kaum lelaki. Sedangkan untuk usia, bisa mengenai semua umur, dari baru lahir sampai orang tua. “Yang terbanyak memang pada anak-anak dan orang tua. Untuk usia produktif, biasanya itu terjadi apabila ada tumor, infeksi, penyakit autoimun, kecelakaan, stoke,” ucapnya.
Sementara itu ditambahkan Dr. dr. Made Agus Mahendra Inggas, secara rinci untuk kunjungan pasien epilepsi di Siloam Hospital Bali, dalam tiga tahun terakhir yakni pada tahun 2021 ada sebanyak 1870 orang pasien epilepsi. Sedangkan untuk tahun 2022 ada sebanyak 2300 Orang, di tahun 2023 sebanyak 2000 orang, dan tahun 2024 juga mencapai 2000an. “Jadi selama setahun memang mencapai 2000an kasus yang ditangani di Siloam Hospital. Itu termasuk jumlah yang banyak, belum lagi di Rumah Sakit lain,” beber dr Agus.
Diungkapkan dr. Made Agus Mahendra Inggas, untuk pasien epilepsi yang sudah lama, biasanya kebal dengan obat. Kondisi pasien seperti itu menurutnya perlu dilakukan tindakan lebih lanjut dengan operasi. Selain itu ada proses stimulasi atau pemacuan saraf yakni pertama operasi otak untuk memacu deep brain stimulasi. Kedua ada RMS untuk memacu dengan memasang sejena kabel di permukaan otak.
Satu lagi yang lagi trend yang bisa menjadi pilihan adalah, operasi stimulasi lewat leher yakni VNS. ini menjadi pilihan karena tindakan ini bisa dilakukan untuk anak dari umur 4 tahun sampai orang tua. Kemudian keunggulan operasi dilakukan melalui leher, walaupun efeknya nanti di otak, komplikasi dan resikonya kata dia kecil sekali.
Selain itu biasanya efek dari stimulasi ini tidak hanya mempengaruhi kejang, tapi juga memori menjadi lebih baik, depresinya jadi lebih berkurang. Jadi ada keunggulannya, sehingga tindakan ini menjadi tren saat ini. “Ini penting sekali disampaikan karena saat ini di Siloam Hospital, sudah menangani hal itu. Bahkan alatnya juga sudah tersedia di Indonesia. Sehingga dengan ini, menjadikan layanan bisa lebih komprehensif, mulai dari pemeriksaan, pengobatan, dan operasi,” terangnya. (MBP)