Anomali Pereknomian: Ekonomi Melesu, Tapi Harga-harga Naik

 Anomali Pereknomian: Ekonomi Melesu, Tapi Harga-harga Naik

*Oleh: Prof. Dr. Ida Bagus Raka Suardana, S.E., M.M.

Perekonomian nasional dan Bali pada pertengahan Maret 2025 menghadapi fenomena yang membingungkan. Di satu sisi, geliat perekonomian tampak lesu dengan daya beli masyarakat yang melemah, tetapi di sisi lain, harga-harga kebutuhan pokok terus mengalami kenaikan. Keadaan anomali ini menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat yang terpaksa mengubah pola konsumsi mereka agar tetap dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Teori ekonomi klasik menyatakan bahwa inflasi terjadi ketika jumlah uang yang beredar lebih banyak dibandingkan dengan jumlah barang dan jasa yang tersedia di pasar (Fisher, 1911). Namun, dalam situasi saat ini, inflasi yang terjadi lebih berkaitan dengan faktor biaya produksi dan distribusi dibandingkan dengan peningkatan permintaan. Menurut Keynes (1936), dalam kondisi ekonomi yang melemah, pemerintah harus mengambil langkah-langkah stimulus agar daya beli masyarakat tetap terjaga. Namun, jika harga tetap naik sementara daya beli stagnan atau bahkan menurun, maka masyarakat akan mengalami tekanan ekonomi yang lebih besar.
Data empiris dua bulan terakhir menunjukkan adanya tekanan inflasi yang disebabkan oleh beberapa faktor. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa inflasi pada Januari 2025 sebesar 0,89% secara tahunan, meningkat dari bulan sebelumnya yang sebesar 0,65%. Sementara itu, pada Februari 2025, inflasi mencapai 1,12% secara tahunan, yang dipicu oleh kenaikan harga pangan seperti beras, minyak goreng, dan telur. Sektor transportasi juga mengalami kenaikan biaya akibat lonjakan harga bahan bakar minyak (BBM), yang semakin memperburuk beban ekonomi masyarakat. Di Bali, kenaikan harga ini diperparah dengan ketergantungan pada pasokan luar daerah, yang menyebabkan biaya distribusi lebih mahal.
Faktor eksternal turut berkontribusi terhadap fenomena ini. Gangguan rantai pasok global dan perubahan iklim yang berdampak pada hasil pertanian menyebabkan harga-harga pangan melonjak. Fenomena El Niño yang masih berlangsung juga mengakibatkan produksi padi menurun di beberapa wilayah penghasil utama, sehingga pasokan beras semakin terbatas dan harga melonjak. Selain itu, kebijakan perdagangan internasional, seperti pembatasan ekspor oleh beberapa negara produsen bahan pangan, turut memperburuk situasi.
Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa kondisi ekonomi yang melemah ditandai dengan menurunnya daya beli masyarakat. Data Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa konsumsi rumah tangga sebagai penyumbang terbesar dalam Produk Domestik Bruto (PDB) mengalami perlambatan pertumbuhan dari 5,2% pada kuartal keempat 2024 menjadi 4,8% pada kuartal pertama 2025. Penurunan ini terjadi akibat ketidakpastian ekonomi yang membuat masyarakat lebih berhati-hati dalam membelanjakan uang mereka.
Di Bali, sektor pariwisata secara kasat mata terlihat normal, tapi senyatanya belum sepenuhnya pulih. Meskipun jumlah wisatawan mancanegara meningkat pasca-pandemi, tingkat okupansi hotel dan restoran masih di bawah level sebelum pandemi. Hal ini menyebabkan pendapatan masyarakat yang bergantung pada sektor pariwisata belum kembali stabil. Dengan penghasilan yang tidak menentu dan harga kebutuhan pokok yang terus naik, masyarakat Bali harus lebih selektif dalam pengeluaran mereka, mengutamakan kebutuhan dasar dan mengurangi pengeluaran untuk barang-barang sekunder.
Dalam menghadapi situasi ini, masyarakat berusaha menyesuaikan pola konsumsi mereka dengan lebih selektif dalam berbelanja. Banyak yang mulai beralih ke produk-produk alternatif yang lebih murah, mengurangi frekuensi konsumsi makanan tertentu, serta lebih mengandalkan produk lokal yang harganya lebih stabil dibandingkan dengan barang impor. Fenomena ini selaras dengan konsep substitusi dalam teori permintaan Marshall (1890), di mana konsumen akan mengganti barang yang lebih mahal dengan barang yang lebih murah ketika harga naik.
Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah strategis untuk menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas harga. Kebijakan fiskal yang tepat, seperti subsidi pangan dan insentif bagi sektor produksi, dapat membantu menekan kenaikan harga yang berlebihan. Di sisi lain, kebijakan moneter yang fleksibel diperlukan agar suku bunga tetap mendukung pertumbuhan ekonomi tanpa menambah tekanan inflasi. Bank Indonesia telah mengisyaratkan kemungkinan intervensi untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, yang juga berperan dalam mengendalikan harga barang impor.
Fenomena ekonomi lesu tetapi harga kebutuhan pokok naik merupakan tantangan besar bagi masyarakat dan pemerintah. Tanpa intervensi kebijakan yang tepat, tekanan ekonomi ini dapat berdampak jangka panjang pada kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan sinergi antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat dalam mengelola situasi ini agar dampak negatifnya dapat diminimalisir.
*(Dekan FEB Undiknas Denpasar)

See also  Bupati Sanjaya Lantik 1.542 PPPK Formasi tahun 2023 dan CPNS Formasi PTDI-STTD 

Redaksi

Related post