ROOTS, Pameran Kolaboratif Seni di ARMA, Kenang 100 Tahun Kedatangan Walter Spies di Bali
Para seniman peserta pameran ROOTS foto bersama dengan Agung Rai, pemilik Museum ARMA, Jumat (23/5).
GIANYAR – baliprawara.com
Satu abad atau 100 tahun kedatangan seniman Jerman, Walter Spies di Bali, dirayakan dengan pameran kolaboratif seni– seni lukis, seni instalasi, seni grafis, pemutaran film, dan pertunjukan seni tari, di Museum ARMA Ubud, 24 Mei hingga 14 Juni 2025.
Dua perupa Bali tampil dalam pameran tersebut yakni Made Bayak dan Gus Dark, berkolaborasi dengan Michael Schindhelm seorang penulis, pembuat film dan kurator ternama keturunan Swiss-Jerman tinggal di Ticino, Swiss.
Pameran bertajuk ROOTS ini merupakan kelanjutan dari pameran yang telah digelar sebelumnya di Basel, Swiss.
Project Manager pameran ROOTS, Yudha Bantono, Jumat (23/5) menyampaikan, pameran ini penting digelar karena pengaruh Walter Spies terhadap lanskap budaya Bali masih terasa hingga kini.
Proyek kolaboratif ini diinisiasi Michael Schindhelm, bekerjasama dengan Museum ARMA dengan dukungan Kulturstiftung Basel H. Geiger (KBH.G).
AA Rai, pemilik Museum ARMA menyambut baik pameran yang artistik tematik, reflektif, otokritik dan sarat nilai edukatif tersebut.
Dikatakan, seratus tahun lalu ketika Walter Spies datang pertama kali ke Bali, daerah ini betul-betul Pulau Surga. Lingkungan bersih, air sungai jernih tanpa limbah dan sampah plastik. Kondisi yang demikian tentu sangat berbeda dengan Bali kini. Pelukis Bayak dan Gus Dark memotret kondisi kekinian Bali dengan karya-karyanya. Ada pesan mendalam yang mengajak kita untuk melakukan introspeksi dan refleksi tentang Bali kini.
Sementara itu Michael Schindhelm mengatakan, seratus tahun yang lalu, Walter Spies mengunjungi Bali untuk pertama kalinya. Tak lama kemudian Bali menjadi rumah barunya hingga ia meninggal secara tragis selama pendudukan Jepang, yakni pada tahun 1942 saat usianya 47 tahun. Spies telah berteman dengan banyak seniman penting di Jerman, ia pernah mengadakan pameran di Berlin dan Amsterdam, dan terlibat dalam pembuatan film horor pertama di dunia yaitu Nosferatu, pada kenyataannya ia hampir terlupakan dalam sejarah seni Barat.
Namun, di Bali, banyak orang masih mengingatnya hingga saat ini. Para seniman menjadikan gaya realisme magisnya sebagai model. Sebagai penari dan koreografer Spies berperan dalam pengembangan tari lokal yang mungkin paling populer yakni Kecak, dan bagi para kolektor serta pemilik galeri menghormati dirinya atas inisiatif terbentuknya Pita Maha.
Walter Spies cukup terkenal selama hidupnya, Charlie Chaplin mengunjunginya di daerah tropis, seperti halnya Barbara Hutton, seorang wanita terkaya di Amerika saat itu. Penulis Vicky Baum tinggal bersamanya, dan antropolog Margaret Mead dapat melanjutkan studinya di pulau itu bersama suaminya Gregory Bateson juga berkat bantuan Spies.
Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa Spies juga terlibat dalam proyek pariwisata pertama di Bali pada tahun 1920-an dan 1930-an. Seperti kemudian, di banyak bagian belahan dunia, warisan budaya lokal dihadirkan sebagai daya tarik bagi para pelancong dari negeri-negeri jauh. Selama krisis ekonomi global, ketika koloni-koloni Hindia Belanda juga mengalami kesulitan, pariwisata ditemukan sebagai sumber pendapatan baru. Saat ini, Bali menjadi penerima manfaat sekaligus korban dari pariwisata massal global.
“Ketika saya mulai meneliti Spies tentang Bali sekitar enam tahun lalu, saya segera menyadari bahwa saya membutuhkan bantuan seniman Bali untuk memahami dan menceritakan kisah tersebut. Berkat saran dan dukungan Horst Jordt di Jerman, saya pertama kali bertemu dengan Agung Rai, yang mengetahui Walter Spies Society di Bali. Agung Rai memperkenalkan dan memfasilitasi dengan jaringan orang-orang yang berkecimpung di sektor budaya di Ubud dan tempat-tempat lain di Bali,” ujarnya.
Direktur Kulturstiftung Basel H. Geiger (KBH.G) Raphael Suter dalam tulisannya menyampaikan bagi kebanyakan orang, Bali adalah surganya liburan. Pantai-pantai yang indah, pemandangan alam yang indah, ritual dan adat istiadat yang eksotis serta penduduknya yang ramah, menjadikan Bali menjadi salah satu tujuan wisata paling menarik di dunia.
Seniman Jerman Walter Spies telah menemukan Pulau Dewata yang demikian eksotik itu sejak 100 tahun lalu. Spies menyadari Bali dan penduduknya memiliki potensi wisata yang sangat besar. Spies telah mengadopsi bentuk-bentuk seni lokal dan mengembangkannya lebih lanjut. Meskipun sebagian besar belum mengenal, di Eropa Walter
Spies adalah tokoh utama dalam kancah seni Bali hingga saat ini. Masyarakat Bali sangat menghormatinya. Pariwisata di Bali dimulai seolah-olah berkaitan dengan keberadaan Walter Spies dan telah memikat beberapa tokoh terkemuka seperti Charlie Chaplin dan Vicky Baum untuk berkunjung ke Bali.
Sementara itu penulis, pembuat film dan kurator yang produktif keturunan Swiss-Jerman, Michael Schindhelm menyelamatkan keberadaan seniman tersebut dari hal yang terlupakan pada tahun 2018 melalui bukunya “Walter Spies – Ein Exotisches Leben”. Dalam pameran ROOTS dan dalam film yang menyertai, Michael Schindhelm “mempertemukan” Walter Spies saat ia “kembali” ke masa kini dengan realitas kekinian di Pulau Dewata, Bali melalui pameran ROOTS di Museum ARMA Ubud.
Perupa Made Bayak dan Gus Dark
menyampaikan, 100 tahun lalu ketika Walter Space pertama kali menginjakkan kaki di Bali, pulau ini betul-betul sorga. Tapi kita perlu melihat Bali yang lain hari ini. “Lewat karya seni saya ingin ‘mengajak’ Walter Spase menyaksikan Bali saat ini. Melalui pameran ROOTS ini kita perlu melakukan refleksi. Sebab banyak hal yang sudah tak seperti dulu lagi. Sumber air banyak yang tercemar, keberadaan subak kian terancam karena masifnya alih fungsi lahan dan sebagainya,” kata Bayak. (MBP2)