Perbedaan Devisa SDA dengan Devisa Pariwisata

 Perbedaan Devisa SDA dengan Devisa Pariwisata

Prof. IB Raka Suardana

Oleh Prof. Dr. Ida Bagus Raka Suardana, S.E.,M.M.

Pendapatan devisa (uang asing) dari Sumber Daya Alam (SDA) dan pendapatan dari devisa pariwisata merupakan dua komponen penting dalam struktur ekonomi nasional yang memiliki perbedaan mendasar dalam cara perolehan, dasar hukum, serta kontribusinya terhadap pendapatan negara dan daerah.

Devisa SDA diperoleh dari kegiatan ekspor komoditas seperti minyak bumi, gas alam, batubara, hasil tambang, dan produk kelapa sawit. Ekspor ini dilakukan oleh badan usaha milik negara maupun swasta nasional dan multinasional. Hasil devisanya wajib ditempatkan di sistem keuangan nasional sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2019 tentang Devisa Hasil Ekspor dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 21/14/PBI/2019.
Dasar hukum utama pengelolaan sektor ini tercantum dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Sebaliknya, devisa pariwisata diperoleh melalui pengeluaran wisatawan mancanegara yang datang ke Indonesia, mencakup pengeluaran untuk akomodasi, transportasi, makanan, tiket objek wisata, dan belanja oleh-oleh. Penghasilan ini bersifat langsung (diterima oleh pelaku pariwisata) dan tidak melalui ekspor barang, melainkan berasal dari transaksi di dalam negeri. Pengelolaan sektor ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan dan didukung dalam RPJMN 2020–2024 sebagai sektor prioritas nasional.

Kontribusi devisa SDA terhadap pendapatan negara (APBN) bersifat langsung, karena masuk melalui pos Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), royalti, dan pajak ekspor. Pendapatan ini dikelola langsung oleh pemerintah pusat. Pada tahun 2024, devisa dari SDA Indonesia mencapai sekitar USD 180 miliar atau setara dengan Rp2.880 triliun, didominasi oleh ekspor batubara, minyak sawit, dan nikel. Sebaliknya, kontribusi devisa pariwisata terhadap APBN bersifat tidak langsung, melalui pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), dan bea masuk. Pada tahun 2024, devisa pariwisata Indonesia mencapai sekitar USD 15,7 miliar atau sekitar Rp 243 triliun, meningkat seiring pulihnya sektor pariwisata pasca-pandemi.
Kontribusi devisa SDA terhadap pendapatan daerah disalurkan melalui Dana Bagi Hasil (DBH) sesuai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah.
Daerah penghasil SDA mendapatkan bagian dari total penerimaan pusat, yang dialokasikan berdasarkan volume produksi dan nilai ekspor. Sementara itu, devisa pariwisata memberi kontribusi besar terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui pajak hotel dan restoran (PHR), retribusi objek wisata, dan perputaran ekonomi masyarakat lokal. Bali sebagai destinasi utama pariwisata berkontribusi (berperan) sekitar 44% dari total devisa pariwisata nasional tahun 2024, atau sekitar USD 6,9 miliar, setara Rp 107 triliun, yang semuanya itu beredar dalam perekonomian Bali dan menopang berbagai sektor. Artinya, devisa pariwisata itu bukan disetor ke kas negara seperti Devisa dari SDA, tapi devisa dari pariwisata Bali itu beredar menggerakan ekonomi di Bali.
Dengan demikian, pendapatan dari devisa SDA dan pariwisata memiliki perbedaan mendasar.

See also  Nyepi, Saatnya Introspeksi Diri

SDA memberikan kontribusi besar langsung ke kas negara dan dana transfer ke daerah penghasil.
Sedangkan devisa pariwisata menggerakkan ekonomi lokal dan memperkuat PAD saat pembayaran pajak & restribusi akibat ekonomi tumbuh. (*)

Penulis, Dekan FEB Undiknas Denpasar

Redaksi

Related post