TPA Mulai Overload, Bali Darurat Sampah Akibat Masih Rendahnya Tingkat Kesadaran Masyarakat
Kondisi TPA Suwung.
DENPASAR – baliprawara.com
Permasalahan sampah di Bali saat ini menjadi permasalahan serius yang harus disikapi bersama. Kepala UPTD Pengelolaan Sampah Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup (DKLH) Provinsi Bali, Ni Made Armadi, menyebutkan bahwa Bali saat ini sudah darurat sampah.
Kondisi ini bukan tanpa sebab, pasalnya sejumlah Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di masing-masing Kabupaten di Bali saat ini sudah mulai overload. Sementara sungai-sungai juga menjadi sasaran untuk tempat membuang sampah oleh warga. Tentu hal ini sangat berdampak terhadap pencemaran lingkungan yang bermuara ke laut dan pantai.
“TPA seluruh Bali, semua sudah overload, selain TPA Suwung, TPA Temesi di Gianyar, TPA Sente di Klungkung, kemudian TPA Mandung di Tabanan, bahkan rawan kebakaran. Artinya pengelolaan di hulu masih kurang, sehingga larinya ke hilir yakni di TPA,” kata Armadi saat Workshop Jurnalistik serangkaian HUT ke-7 Media Online kanalbali.id, Jumat 26 Juli 2025 di Denpasar.
Dikatakan Armadi, untuk di Provinsi Bali, total sampah yang dihasilkan setiap harinya mencapai sebanyak 3.436 ton. Dari jumlah tersebut, Kota Denpasar menjadi penyumbang terbanyak yakni 1005 ton/hari, disusul Gianyar sebanyak 562 ton/hari, Badung 547 ton/hari, Buleleng 413 ton/hari, Karangasem 281 ton/hari, Tabanan 237 ton/hari , Jembrana 164 ton/hari, Bangli 114 ton/hari, dan Klungkung 112 ton/hari.

Dari data tersebut, untuk jenis sampah yang ada, 60 persennya merupakan sampah organik, 17 persen merupakan sampah plastik dan sisanya sampah anorganik lain. Sedangkan untuk sumber sampah, 60 persen merupakan sampah kegiatan rumah tangga, 7 persen merupakan sampah dari pasar, dan 11 persen dari perniagaan.
Gubernur Bali kata dia menempatkan masalah ini ke dalam Program Super Prioritas Mendesak (PSPM) untuk menuntaskan masalah sampah. Pertama yakni, mempercepat pelaksanaan pembatasan timbulan sampah plastik sekali pakai, yang dasarnya adalah Peraturan Gubernur Bali Nomor 97 Tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai. Kedua yakni mempercepat pelaksanaan Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber (PSBS) di Desa dan Desa Adat, yang dasarnya adalah Peraturan Gubernur Bali Bali Nomor 47 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber.
Program ini dicetuskan melihat kondisi saat ini Bali yang sudah darurat sampah, dan hampir “kiamat” akibat sampah. “Dengan menempatkan program super prioritas mendesak, Provinsi bali menggandeng tim percepatan pengelolaan sampah berbasis sumber untuk percepatan dalam pengelolaan sampah,” ucapnya.
Selain itu, sosialisasi juga terus dilakukan hingga ke akar rumput, supaya semua masyarakat mulai melakukan pengelolaan sampah dari rumah tangga. Program ini pun memiliki slogan Desaku Lestari Tanpa Sampah Plastik. “Ini adalah aplikasi implementasi dalam mengurangi sampah dalam pergub 97 tahun 2018. Sosialisasi dilakukan dengan masif, tentunya ke semua Kabupaten/Kota, untuk mengurangi sampah plastik dan PSBS,” bebernya.
Lebih lanjut dikatakan, selain sosialisasi dengan masif, juga dilakukan evaluasi terhadap Tempat Pengolahan Sampah Reduce, Reuse, dan Recycle (TPS3R). “Optimalkan kembali TPS3R sehingga bisa mengurangi pembuangan sampah ke TPA. Jangan sampai semua sampah dibawa ke TPA,” harapnya.

Pegiat bank sampah sekaligus Ketua Yayasan Bali Wastu Lestari (YBWL), Ni Wayan Riawati, mengakui, penanganan sampah di Bali masih mengalami tantangan. Bukan terletak pada sampah itu sendiri, namun adanya pada pola pikir dan kesadaran masyarakat yang masih kurang. “Bali Semakin darurat sampah, Kami mengidentifikasi penyebab masalah Bali darurat sampah yaitu, rendahnya tingkat kesadaran masyarakat, belum memiliki konsep waste manajemen terintegrasi dari hulu ke hilir,” bebernya.
YBWL selama ini telah memulai gerakan dari kesadaran masyarakat. Meski kata dia, saat ini Bali dari sisi pemerintah sudah memiliki banyak sekali aturan baik dari pusat hingga daerah. Namun diakui, dalam implementasinya masih belum konsisten dan kontinyu. “Komitmen Pemerintah tidak perlu diragukan, terbukti dari regulasi tentang pelaksanaan tata kelola sampah cukup lengkap. Namun dalam implementasi belum konsisten dan kontinyu,” ucapnya.
Melalui gerakan yang dilakukan YBWL, pihaknya ingin membangun kesadaran masyarakat yang masih rendah, persepsi penanganan sampah yang hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, dan TPA yang mulai menggunung. Pihaknya di komunitas saat ini mulai membangun kesadaran perilaku tanggung jawab, sampahku tanggung jawabku.
“Gerakan bank sampah bukan sekadar soal sampah, tapi tentang membangun kesadaran kolektif bahwa setiap individu punya tanggung jawab terhadap lingkungan. Mulai dari rumah, mulai dari diri sendiri, sehingga bisa lebih efisien ke depan. Target bear kita adalah minim sampah, pengelolaan yang bertanggung jawab, dan skala besarnya adalah Global Warming itu menjadi acuan kami untuk gerakan ini,” terangnya.
Sejak 2010 Yayasan Bali Wastu Lestari telah memberi layanan sosialisasi, edukasi, pendampingan pemberdayaan dalam pengelolaan sampah di Bali, dengan jaringan komunitas bank sampah yang tersebar di 9 Kota/Kabupaten di Bali melalui konsep sosial gotong royong. Pada 2025 YBWL bekerjasama dengan Bank Sampah Induk membangun transportasi Gerakan sosial Bank Sampah menjadi sosial enterprise melalui PT. Bali Recycle Center. BRC hadir memperkuat manajemen pengelolaan sampah secara konsisten dan kontinyu.
Sampai saat ini, jumlah unit bank sampah di Bali yang aktif terus meningkat, mencapai lebih dari 651 unit. Aktivitas ini juga telah memberikan manfaat ekonomi, dengan penyerapan sampah plastik hingga 4.500 ton per tahun dengan nilai ekonomi mencapai Rp13 miliar.

Sementara itu, I Nyoman Subanda, Dosen FISIP Universitas Pendidikan Nasional, menyampaikan, dalam penanganan sampah, semua.komponen masyarakat harus berpartisipasi dan harus terlibat. Oleh karena itu, penanganan sampah ini tidak hanya mengandalkan peran pemerintah saja. Pemerintah dalam hal ini berkolaborasi, bersinergi dengan semua komponen masyarakat, termasuk otoritas tradisional, seperti desa adat, subak, dan sebagainya.
Berkaca dari negara-negara maju, pemerintahnya tegas, aturannya jelas, kemudian sanksinya juga pasti, dan SOP nya pasti. Sikap lain adalah perilaku masyarakatnya harus diedukasi lebih awal. “Oleh karena itu, sosialisasi yang dilakukan tidak hanya soal metode pembuangan sampah saja, tapi juga edukasi menyangkut perilaku masyarakat dalam rangka untuk pembentukan karakter. Dalam hal ini, bolehlah kita meniru negara-negara maju,” ucapnya.
Ia menyampaikan, negara maju yang perlu ditiru adalah, negara yang melakukan daur ulang sampah sangat tinggi. Misalnya seperti Jepang yang melakukan daur ulang sampah sampai 80 persen, Jerman sampai 60 persen, dan Swedia bahkan sampah yang ke TPA itu hanya sebesar 1 persen.
“Itu artinya, kalau kita masih bertumpu pada TPA, maka itu akan sangat mustahil dan lama tercapai target bali bebas sampah. Pemerintah harus berani, tegas dalam mendisiplinkan masyarakat. Dalam sosialisasi tidak hanya soal mengajak saja, tapi sanksi itu bisa diterapkan, sehingga masyarakat akan lebih tertib,” yakinnya. (MBP1)