Pemblokiran Rekening Pasif Mengabaikan Prinsip Proporsionalitas

 Pemblokiran Rekening Pasif Mengabaikan Prinsip Proporsionalitas

Prof. IB Raka Suardana

Oleh: Prof. Dr. IB Raka Suardana, S.E.,M.M.
(Guru Besar FEB Undiknas Denpasar)

PEMBLOKIRAN rekening pasif oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang sempat menyasar jutaan rekening di Indonesia menjadi kontroversi besar di tengah masyarakat.
Kebijakan ini dilatarbelakangi oleh upaya PPATK untuk mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang serta pendanaan terorisme, di mana rekening-rekening yang tidak aktif dalam jangka waktu lama dianggap berisiko disalahgunakan sebagai sarana penyimpanan dana ilegal.
Dalam pandangan PPATK, rekening pasif rawan dimanfaatkan untuk menampung hasil kejahatan karena jarang terpantau aktivitasnya, sehingga pemblokiran dianggap langkah preventif.
Namun, kebijakan ini langsung menimbulkan gelombang protes karena pelaksanaannya dilakukan secara luas tanpa membedakan konteks dan tujuan kepemilikan rekening tersebut.

Kesalahan mendasar dari kebijakan ini terletak pada pendekatan yang terlalu generalisasi. PPATK menggunakan asumsi bahwa rekening pasif identik dengan potensi tindak pidana, padahal banyak masyarakat justru sengaja membiarkan rekening mereka tidak aktif sebagai bentuk tabungan jangka panjang atau dana darurat yang hanya akan diambil sewaktu-waktu. Tidak semua rekening pasif berhubungan dangan aktivitas mencurigakan.
Kebijakan pemblokiran masif ini mengabaikan prinsip proporsionalitas, di mana tindakan pembatasan hak warga negara harus didasarkan pada bukti dan indikator yang jelas, bukan sekadar pola aktivitas.
Selain itu, PPATK dinilai tidak memberikan sosialisasi yang memadai kepada publik sebelum kebijakan dijalankan, sehingga banyak pemilik rekening terkejut saat mendapati dananya dibekukan tanpa pemberitahuan awal.
Kurangnya mekanisme klarifikasi yang cepat dan mudah juga memperburuk keadaan, memaksa nasabah untuk menempuh proses birokrasi yang rumit demi mengembalikan akses terhadap dana milik mereka sendiri.

Solusi yang seharusnya diambil PPATK adalah melakukan pendekatan yang lebih terukur dan selektif. Alih-alih memblokir semua rekening pasif, PPATK dapat mengembangkan sistem analisis risiko berbasis data yang memprioritaskan rekening dengan pola transaksi mencurigakan atau keterkaitan dengan pihak yang masuk dalam daftar pemantauan. Rekening yang memang tidak aktif namun tidak menunjukkan indikasi pelanggaran hukum seharusnya hanya diberikan status dorman atau dormant account tanpa pemblokiran penuh, dengan pemberitahuan resmi dan opsi aktivasi yang sederhana. PPATK juga perlu bekerja sama lebih erat dengan pihak perbankan untuk menyusun kriteria yang jelas dan transparan, serta memastikan nasabah mendapatkan notifikasi berkala terkait status rekeningnya. Selain itu, penting adanya masa tenggang yang wajar sebelum pemblokiran diberlakukan, agar pemilik rekening memiliki kesempatan untuk mengaktifkan kembali atau menarik dananya. Pendekatan ini tidak hanya menjaga integritas sistem keuangan dari potensi penyalahgunaan, tetapi juga melindungi hak-hak masyarakat yang sah. Dengan langkah yang proporsional, transparan, dan berbasis bukti, PPATK dapat mencapai tujuan pemberantasan kejahatan keuangan tanpa menimbulkan keresahan dan hilangnya kepercayaan publik terhadap sistem perbankan. (*)

See also  Perekonomian Melandai, Bagaimana Dampaknya bagi Bali?

Redaksi

Related post