GARIS, WARNA, DAN RUANG: LUKISAN ABSTRAK TIEN HONG

 GARIS, WARNA, DAN RUANG: LUKISAN ABSTRAK TIEN HONG

I Made Susanta Dwitanaya (tengah) bersama perupa Tien Hong (kiri).

(Pengantar Pameran Tunggal Tien Hong
di Santrian Art Gallery)

Oleh: I Made Susanta Dwitanaya

Di tengah rutinitas dan keseharian hidup yang terkadang membawa kejenuhan, dibutuhkan ruang jeda untuk menyegarkan pikiran. Kembali ke alam menjadi pilihan bagi sebagian orang untuk menemukan ruang jeda itu. Salah satunya adalah Tien Hong, seorang pelukis abstrak yang memilih berjalan di antara rimbun pepohonan, di sela-sela lebat dedaunan, atau mendaki terjal perbukitan, atau menuruni curam lembah, ketika kejenuhan dan ritme kerja di studio melanda. Tetapi ia tidak datang untuk menghafal bentuk dedaunan, atau mengabadikan lengkung horizon di kanvasnya, atau menyalin panorama alam ke dalam bidang kanvas. Baginya, alam adalah ruang untuk bernapas, bukan ruang untuk mencatat, layaknya seorang naturalis. Ketika kembali ke studio, yang ia bawa adalah nuansa, ritme, dan gairah artistik tak kasatmata yang memantiknya melukis kembali.

Kedekatan Tien Hong dengan alam sebagai pelukis abstrak mengingatkan kita pada teori embodied cognition oleh Johnson dan Lakoff yang menjelaskan bahwa proses berpikir dan berkreasi tidak terpisah dari pengalaman fisik. Sapuan kuas Tien Hong adalah jejak tubuhnya di alam, bukan reproduksi atau salinan visual alam itu sendiri. Pengalaman di alam terekam bukan hanya di mata, tetapi di seluruh tubuh: gerak langkah di tanah lembap, aroma dedaunan basah, hembusan angin pada kulit, menjadi memori somatik. Hal ini sejalan dengan temuan neurosains bahwa saat berada di alam, otak manusia memasuki fase Default Mode Network, di mana pikiran bebas membentuk asosiasi, memanggil ingatan, dan merajut emosi. Alam, dalam konteks ini, menjadi katalis yang membuka gerbang kreativitas. Hasilnya bukanlah “pemandangan” yang dilihat, melainkan “keadaan batin” yang dialami.
Alam mengandung dimensi sublim, seperti diungkapkan oleh Burke dan Kant yang menyebut bahwa keagungan alam begitu luas, tak terukur, dan seringkali tak terjangkau bahasa visual realistis. Hal ini memicu rasa takjub yang hanya bisa diwakili oleh abstraksi.

See also  Usung Tema "Garis, Warna, dan Ruang", Tien Hong Pameran Tunggal di Santrian Gallery Sanur

Visual di kanvas Tien Hong bukanlah objek, melainkan resonansi perasaan yang ia alami di hadapan lanskap alam yang sublim. Ia tidak mengambil bentuk alam sebagai inspirasi dalam karya, tetapi membawa spirit dan kesegaran yang diberikan oleh alam untuk memantik pilihan visual abstrak yang membebaskan dari citra dan representasi.

Formalisme dalam
Lukisan Tien Hong

Sejarah seni rupa modern telah menempatkan seni lukis abstrak sebagai kesadaran dan upaya pelukis menuju nir-bentuk representasional. Pada spektrum yang lebih luas, seni lukis abstrak menjadi medium pergeseran paradigma dari representasi dunia menuju penegasan otonomi medium, yaitu kanvas dan cat. Pergeseran ini menguat sejak awal abad ke-20, ketika seniman seperti Wassily Kandinsky dan Kazimir Malevich menolak keterikatan pada realitas visual dan menempatkan warna, garis, serta bentuk sebagai bahasa utama untuk mengungkapkan spiritualitas dan emosi.

Sejak saat itu, seni lukis abstrak memiliki beragam artikulasi artistik dan konsep: ada yang tetap mempertahankan koneksi samar dengan alam, ada pula yang sepenuhnya melepaskannya. Dalam spektrum ini, formalisme menjadi paradigma penting yang memahami karya sebagai susunan unsur-unsur visual murni garis, warna, komposisi, tekstur sebagai pusat perhatian, tanpa narasi atau referensi dunia eksternal. Clement Greenberg, kritikus seni pertengahan abad ke-20, menjadi tokoh sentral yang menekankan nilai lukisan melalui kualitas formal media itu sendiri: keduadimensian kanvas, karakter cat, dan otonomi medium4.

Namun, formalisme tidak menutup kemungkinan adanya hubungan emosional atau spiritual seniman dengan dunia nyata. Beberapa pelukis, meski bekerja dalam kerangka formalisme, tetap menjaga relasi batin dengan alam untuk menyerap ritme, warna, dan suasana yang kemudian diwujudkan sebagai komposisi murni, tanpa representasi literal. Agnes Martin, misalnya, hidup di lanskap sunyi New Mexico dan membiarkan ketenangan itu meresap ke dalam grid halus di kanvasnya. Mark Rothko, meskipun karyanya kerap dikaitkan dengan lanskap atmosferis, menegaskan bahwa apa yang hadir adalah medan emosi, bukan abstraksi pemandangan.

See also  Seri Pamungkas, Astra Honda Racing School Mantapkan Bekal 16 Pebalap Belia

Pada titik inilah praktik Tien Hong menjadi unik. Ia pergi ke alam bukan untuk membuat sketsa atau menemukan bentuk komposisi, tapi untuk menyegarkan diri. Hutan dan gunung menjadi ruang pernafasan mental, bukan subjek lukisan, melainkan ruang resonansi batin yang membangkitkan energi kreatif. Seperti yang diungkapkan Tien Hong kepada penulis: “Saya suka pergi ke hutan, ke gunung, atau menyusuri lembah-lembah bukan untuk mencari inspirasi dari alam, atau melukis langsung di alam, tapi untuk mencari kesegaran, suasana baru di tengah rutinitas melukis di dalam studio”.
Ketika kembali ke kanvas, Tien Hong tidak membawa image pohon, ombak, awan, atau bentuk-bentuk alam. Yang hadir adalah pola gestural sapuan kuas, harmoni warna, garis ekspresif, tekstur dan lapisan cat saling tumpang tindih, sebuah komposisi dan aspek keruangan dan irama yang lahir dari keadaan batin setelah mengalami alam.
Hasilnya adalah karya yang sepenuhnya otonom secara visual, sesuai prinsip formalisme, namun menyimpan jejak sublim, bukan dalam bentuk, tetapi nuansa atmosferik.
Metode penciptaan Tien Hong memiliki garis historis dengan capaian seni abstrak abad ke-20: abstraksi spiritual Kandinsky, lukisan Color Field dari Rothko, minimalisme meditatif Agnes Martin, dan gestural transpiritual Brice Marden. Meski tidak secara visual merujuk pada pelukis dunia, Tien Hong berada di irisan jalur artistik itu: mengalami alam sebagai proses, bukan objek, dan membiarkan formalisme menjadi wadah pengalaman batin yang disaring menjadi bahasa visual esensial. Dengan kata lain, nirmana menjadi aspek kasat mata yang hadir saat menatap lukisan-lukisannya.

Nirmana:
Fondasi Konseptual

Dalam seni rupa modern Indonesia, istilah nirmana merujuk pada ilmu penyusunan elemen rupa seperti titik, garis, bidang, warna, tekstur, ruang, serta gelap-terang—dalam komposisi yang harmonis, seimbang, dan bermakna. Sering dipahami sebagai “desain dasar”, nirmana sejatinya adalah fondasi konseptual dan struktural yang menopang semua bentuk penciptaan visual—baik representasional maupun abstrak murni.

See also  Tim ASN Badung Siap Mengikuti Pekan Olahraga Korpri Tingkat Provinsi Bali di Denpasar

Secara historis, studi nirmana masuk ke ranah akademik melalui dua jalur utama: pendidikan seni rupa modern Barat (pengaruh Bauhaus: Itten, Kandinsky, Klee, Albers), serta adaptasi pada tradisi seni lokal (ornamen, wayang, tekstil, arsitektur Nusantara) diartikulasikan ulang dengan bahasa teori modern.

Dalam sejarah seni abstrak Barat, gagasan sepadan nirmana menjadi roh formalisme. Kandinsky (Point and Line to Plane) melihat titik, garis, bidang sebagai ekspresi spiritual. Klee (Pedagogical Sketchbook) mendeskripsikan gerak dan bentuk sebagai dinamika visual. Albers menunjukkan kompleksitas persepsi warna.

Di Indonesia, Achmad Sadali menjadikan nirmana sebagai kerangka berpikir kreatif, bukan hanya latihan teknis. Dalam seni lukis abstrak, nirmana memiliki peran yakni : memberi struktur pada kebebasan, karena abstrak yang mendalam adalah perpaduan spontanitas dan kesadaran komposisi, menciptakan bahasa visual universal melalui unsur rupa sebagai bahasa lintas budaya, serta menjembatani intuisi dan logika visual.

Bagi Tien Hong, nirmana adalah bahasa hidup. Unsur rupa saling berdialog dan membangkitkan resonansi emosional. Alam memberikan ritme, lalu nirmana merangkainya menjadi harmoni visual: sapuan kuas gestural sekaligus terstruktur; warna kontras yang imbang; ritme komposisi dan ruang yang terjaga. Ini sesuai pandangan Paul Klee: seni bukan meniru yang terlihat, tapi membuat terlihat yang tak kasatmata.
Bagi Tien Hong, yang tak kasatmata itu adalah energi batin dari alam, diformalkan dengan sadar melalui nirmana—menyatu antara struktur dan rasa.(*)

Penulis adalah kurator, perupa dan akademisi seni.

Redaksi

Related post