Pandora Paradise: Renungan untuk Bali
Pandora Paradise karya Putrayasa
Oleh Wayan Jengki Sunarta
Dalam mitologi Yunani, Pandora berkaitan dengan kisah penciptaan, keindahan dan kepiluan. Kisah itu ditulis oleh Hesiodos, seorang penyair Yunani, sekitar 700 SM. Diceritakan Prometheus mencuri api milik para dewa dan memberikannya kepada umat manusia. Zeus murka dan menghukum Prometheus dengan mengikatnya di tebing karang di mana seekor elang mematuki jantungnya. Setiap kali jantung itu habis, maka tumbuh lagi jantung baru. Zeus juga menghukum umat manusia dengan memerintahkan para dewa menciptakan Pandora, perempuan cantik nan molek, dan mengirimnya ke bumi.
Zeus menikahkan Pandora dengan Epimetheus (saudara Prometheus) dan menghadiahinya guci indah yang tidak boleh dibuka. Namun, karena penasaran, Pandora melanggar peringatan itu. Ketika guci dibuka, maka berhamburan berbagai macam keburukan, kejahatan, penyakit, penderitaan. Semua malapetaka itu menyebar ke seluruh dunia dan menjangkiti umat manusia. Hanya satu hal yang tersisa dalam guci, yakni: harapan. Belakangan kemudian guci keramat itu lebih populer disebut Kotak Pandora.
Berdasarkan inspirasi dari mitologi Yunani itu, perupa I Ketut Putrayasa pernah membuat seni instalasi berjudul Pandora Paradise, plesetan dari Kotak Pandora. Ia menganalogikan kotak indah dan keramat itu sebagai paradise atau surga. Seni instalasi berukuran 660 x 270 x 180 cm itu dipajang sejak 15 Desember 2020 hingga 5 Januari 2021 di Titik Nol Kilometer Kota Denpasar yang berlokasi di Lapangan Puputan Badung.
I Ketut Putrayasa adalah seniman kelahiran Tibubeneng, Kuta Utara, Badung, Bali, 15 Mei 1981. Ia lulusan Program Pascasarjana Penciptaan Seni di Institut Seni Indonesia (ISI) – Bali. Ia telah banyak membuat patung dan seni instalasi bernuansa satir. Di antaranya adalah The Giant Octopus (2019), Pandora Paradise (2020), Ubud is Winter – 10 Degree Celcius (2021), The Golden Toilet in Winter (2022), The Last Stronghold (2022), Proyek Mengeringkan Air (2023), Warring Images (2023), Selilit (2025), Vanitas (2025), Oryzamorgana (2025), The Octopus Queen (2025). Karya-karya patungnya juga terpajang di beberapa tempat di Bali, Jakarta, Singapura, Belgia, Perancis, Turki.
Sebagai seni publik (public art), Pandora Paradise dirancang interaktif di mana orang bisa mengamati secara dekat, menyentuh, atau mendengar gaung suara dari buluh-buluh bambu sintetis warna-warni yang menembus kotak transparan. Karya itu juga direspon oleh beberapa seniman dan penyair, di antaranya koreografer Jasmine Okubo, Hartanto, Gm. Sukawidana.
Meski Pandora Paradise sudah tidak terpajang lagi, namun pesan karya itu masih kontekstual hingga kini. Kita menyadari bahwa kebaikan dan keburukan, harapan dan kecemasan saling berkelindan di dunia ini. Bahwa manusia mudah tergoda dengan materi, namun luput mengantisipasi berbagai petaka yang menyertainya. Pandora Paradise juga bisa menjadi metafora untuk menggambarkan situasi Bali saat ini. Keputusan atau tindakan para pemimpin Bali yang tidak didasari oleh kebijaksanaan bisa mendatangkan malapetaka bagi Bali sendiri.
Pulau Surga
Sejak lama Bali telah dicitrakan sebagai The Island of Paradise. Kata paradise seperti mantra yang terus diulang hingga kehilangan maknanya. Bali dijual, dibayangkan, dan dirayakan sebagai surga, tempat pelarian dari kesibukan dunia, taman tropis di mana semua tampak damai dan indah.
Jika Bali diibaratkan sebagai Pandora yang molek, maka ia mendapat anugerah kotak paradise dari para dewa. Kotak yang tampak indah, namun berisiko jika dibuka atau terbuka. Tapi pada kenyataannya, sejak puluhan tahun lalu, Bali memang telah membuka kotak paradise-nya untuk dunia. Maka, turis dari berbagai penjuru dunia berdatangan ke Bali tiada henti. Para investor berlomba-lomba mencaplok tanah Bali. Industri pariwisata pun tumbuh sangat cepat dan tak terkendali. Para pekerja dari berbagai daerah juga berdatangan ke Bali untuk mengais rejeki. Bali seperti gula yang dikerubungi semut.
Kotak paradise itu telah terbuka. Memang tak dapat dipungkiri bahwa industri pariwisata menyejahterakan orang-orang yang menggantungkan hidupnya pada sektor pariwisata. Dan tentu saja mampu meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan devisa negara. Industri pariwisata juga semakin memperkaya para investor dan kroni-kroninya.
Namun, di balik semua itu, akibat industri pariwisata yang tak terkendali, Bali mengalami berbagai persoalan, baik dari segi sosial, budaya, agama, lingkungan. Di balik julukan Pulau Surga dengan keindahannya yang memesona, Bali menyimpan berbagai kisah pahit. Kita dengan mudah menemukan kasus-kasus alih fungsi lahan, pelanggaran jalur hijau, pembebasan tanah dengan cara paksa, air tanah yang menyusut, pencemaran lingkungan, pertikaian sosial, konflik lahan, rebutan warisan, konflik adat, dan masyarakat lokal yang makin terpinggirkan di tanahnya sendiri. Inilah sebagian petaka yang terjadi ketika Bali membuka kotak paradise-nya. Pandora Paradise adalah cermin yang memantulkan wajah Bali kini. Ia adalah metafora satir tentang Bali yang dicekam paradoks: antara surga dan krisis, antara keindahan dan kehancuran.
Di dalam kotak transparan Pandora Paradise terdapat sejumlah batang bambu sintetis berwarna-warni. Bambu-bambu itu seolah bergerak, menembus dinding kotak, tajam dan runcing. Bentuknya menggoda mata, warnanya mencolok, tapi ujung-ujungnya menyimpan ancaman. Di sinilah metafora bekerja dengan tajam. Apa yang tampak indah dari jauh, bisa jadi adalah ancaman ketika kita mendekat. Bukankah begitu pula Bali kini? Di bawah cahaya festival dan promosi pariwisata, kita menemukan surga yang berkilau, tetapi juga penuh kerapuhan di dasarnya.
Pariwisata yang semula diharapkan menjadi jalan menuju kesejahteraan telah menjelma menjadi mesin besar yang melahap ruang hidup. Di pesisir-pesisir Bali selatan, sawah-sawah berubah menjadi vila, hotel, restauran. Di Ubud, tanah warisan telah banyak yang berpindah tangan, dijual untuk para investor. Di pegunungan, hutan-hutan digunduli. Sumber-sumber air tanah disedot untuk lapangan golf dan kolam renang para turis.
Sementara itu, ketimpangan sosial tumbuh di mana-mana. Sebagian kecil orang menikmati hasil melimpah dari industri pariwisata. Sementara itu, sebagian besar orang bekerja di lapisan bawah rantai ekonomi di tanah yang mereka sebut leluhur. Tradisi yang dulu hidup dan menghidupi kini menjadi atraksi budaya, dikemas sesuai jadwal pertunjukan dan kebutuhan pasar. Ya, Bali telah berada di bawah cengkeraman kapitalisme global, di mana segala sesuatu diukur dengan materi.
Warna-warna psikedelik yang berpendar dari Pandora Paradise menyihir pandangan. Ia mengingatkan pada pesta cahaya yang sering menghiasi wajah Bali malam hari: festival, konser, pesta pantai, atau karnaval yang meriah. Tapi di balik cahaya itu, ada bayangan panjang tentang Bali yang kehilangan tanahnya, sungai yang kelimpungan menampung limbah, dan laut yang menelan sampah dari hotel-hotel megah.

Paradoks Modernitas
Bali kini hidup dalam paradoks modernitas. Ia terhubung dengan dunia global melalui teknologi, namun semakin tercerabut dari jati dirinya. Ia menjadi panggung digital yang penuh citra indah di media sosial. Tapi di balik layar, masyarakatnya berhadapan dengan tekanan ekonomi, gentrifikasi, dan keretakan sosial. Di Bali, perubahan itu tampak jelas, kesakralan bisa bergeser menjadi tontonan, spiritualitas bisa dikemas menjadi paket wisata, bahkan kearifan lokal bisa dipasarkan sebagai local experience. Ya, Bali memang makin tak berdaya di bawah cengkeraman kapitalisme global.
Bali tumbuh dengan pesat, terlalu pesat, seperti taman yang tiba-tiba disiram pupuk berlebihan. Ia berbunga dengan keindahan, tetapi akarnya perlahan membusuk. Puluhan tahun lalu, ketika pariwisata baru bersemi, banyak orang percaya bahwa industri pariwisata adalah berkah. Ia menjanjikan kemakmuran, membuka lapangan kerja, dan bisa memperkenalkan kekayaan budaya Bali kepada dunia. Tapi waktu mengajarkan hal lain bahwa setiap berkah membawa petakanya sendiri. Kita melihat Bali berkilau di permukaan, namun perlahan kehilangan maknanya di kedalaman. Seperti Pandora Paradise, bercahaya, gemerlap, tetapi di dalamnya tersimpan ketegangan, kecemasan, dan kebisuan yang panjang.
Bambu-bambu dalam Pandora Paradise itu, dengan ujung-ujung runcingnya, adalah simbol dari kemajuan yang menembus ruang tradisi. Atau, mungkin juga simbol dari hasrat manusia yang tak pernah puas, hasrat membangun, memperindah, menguasai. Tapi setiap hasrat menyimpan hal lain: kelelahan, kejenuhan, kehampaan, kehilangan.
Dalam masyarakat modern, keindahan sering kali menjadi pelarian. Kita menghias luka dengan cahaya, menutupi kekacauan dengan warna, menenangkan diri dengan citra. Dalam konteks Bali, pariwisata telah menciptakan semacam estetika ilusi di mana keindahan bukan lagi hasil keseimbangan, tetapi hasil produksi. Seni, ritual, dan pemandangan diatur agar sesuai dengan ekspektasi para turis. Desa-desa adat dibingkai seperti museum hidup, di mana kehidupan harus tampak “otentik” di mata kamera pengunjung. Keindahan yang dulu muncul secara alami kini dipaksa hadir demi ekonomi.
Kita hidup di masa ketika paradise telah menjadi produk. Bali, dalam iklan-iklan perjalanan, tampil sempurna: perempuan menari dengan senyum berseri, pura tampak anggun dan mistis, sawah menghampar hijau. Tapi di luar bingkai itu, kita berhadapan dengan kenyataan. Air menipis, sampah menjadi masalah berkepanjangan, sawah berubah menjadi hamparan beton, dan harga tanah melambung. Berita-berita tentang konflik sosial, budaya, ekonomi, ekologi tak terhindarkan lagi, merebak di mana-mana.
Petaka tidak selalu datang dengan kehancuran yang tiba-tiba. Ia muncul perlahan melalui kenyamanan yang memabukkan, melalui kebiasaan yang dirayakan tanpa sadar. Ia hadir ketika manusia kehilangan kemampuan untuk merasa cemas atas apa yang dilakukannya. Dan di titik inilah Pandora Paradise berbicara dan mengajak kita merenung.
Rahasia yang Terbuka
Dalam mitologi Yunani, kotak Pandora tertutup rapat, menyimpan rahasia. Tapi Putrayasa menafsirnya dengan kreatif. Kotak itu dibikinnya transparan dari lembaran akrilik bening. Ini adalah simbol bahwa dunia tak lagi punya rahasia. Kita hidup dalam masa keterbukaan total, semuanya terlihat, semuanya bisa dihitung, diukur, dan dijual. Setiap tempat di Bali kini terhubung dengan layar ponsel. Setiap pantai, setiap upacara, setiap makanan bisa diunggah dalam hitungan detik. Setiap kasus di Bali bisa dengan mudah terbuka di media sosial. Dunia menjadi sedatar layar ponsel, dan kita kehilangan kedalaman.
Modernitas telah menjadikan dunia ini “terlalu terang” sehingga tak ada ruang gelap untuk merenung, tak ada misteri untuk dihormati. Bahkan, Hari Raya Nyepi pun telah dijual untuk para turis. Bali, yang dulu hidup di antara sekala dan niskala, antara yang tampak dan yang tak tampak, kini cenderung hanya percaya pada apa yang bisa difoto atau divideokan. Bali telah kehilangan taringnya, kehilangan kesakralannya.
Putrayasa menempatkan bambu-bambu artifisial dalam Pandora Paradise bukan tanpa alasan. Ia mengingatkan kita bahwa realitas yang kita hadapi kini pun artifisial. Bambu-bambu yang tampak indah berwarna-warni tapi lahir dari pabrik. Keindahan yang tampak murni, tapi sesungguhnya diproduksi. Seperti Pandora Paradise, Bali telah menjadi pulau akrilik: indah, tembus pandang, tapi kehilangan daya hidup yang sejati.
Bali, dengan segala kemajuannya, tidak luput dari berbagai paradoks. Setiap pembangunan jalan membuka peluang ekonomi, tapi juga membuka luka ekologis. Setiap hotel baru menciptakan lapangan kerja, tapi juga mengubah pola sosial yang tak bisa diulang. Kita hidup dalam lingkaran kemajuan yang memakan dirinya sendiri. Di balik segala kebanggaan atas “Bali yang mendunia”, tumbuh pula kecemasan yang dalam. Apakah kita masih bisa mengendalikan arah perkembangan ini? Ataukah kita sudah terseret dalam arus yang terlalu deras?
Pandora Paradise memantulkan kecemasan itu dalam bentuk yang indah tapi ganjil. Kita memandangnya seperti melihat Bali hari ini dengan rasa kagum dan resah sekaligus. Keindahan yang seolah tak ingin kita tinggalkan, namun juga tak sepenuhnya bisa kita percayai.
Di antara bambu-bambu runcing yang menembus dinding akrilik, Putrayasa menyisakan tiga bambu berwarna hitam, putih, dan kuning. Ketiga bambu itu tidak menembus kotak. Putrayasa menyebutnya sebagai interupsi, titik jeda, napas di tengah kebisingan visual. Hitam bisa dimaknai sebagai perjalanan melewati kegelapan. Putih menandai kesadaran dan pengetahuan. Kuning adalah kebijaksanaan yang mengikat keduanya. Ketiganya adalah jalan pulang.
Dalam makna itu, Putrayasa seolah menanamkan harapan kecil di tengah kekacauan dunia modern. Bahwa manusia masih bisa menempuh jalan pembebasan, masih bisa menahan diri sebelum semua menembus batas. Tiga bambu itu seperti doa yang diselipkan di antara bising warna-warna psikedelik di sekelilingnya. Sebuah ajakan untuk berhenti, untuk hening, untuk merenungi Bali yang melaju terlalu cepat.
Kembali ke Titik Nol
Pandora Paradise ditampilkan di Titik Nol Kilometer Kota Denpasar adalah sesuatu yang sangat metaforis, satir dan simbolis. Tak jauh dari sana berdiri patung Catur Muka, empat wajah dewa penjaga arah mata angin. Patung itu merepresentasikan pemerintahan yang berpegang pada prinsip keselarasan, ilmu pengetahuan, dan hukum, serta merupakan simbol keterbukaan terhadap tamu dari berbagai penjuru. Di seberang titik nol itu juga berdiri megah Jayasabha, rumah dinas Gubernur Bali, pemegang dan penentu segala kebijakan di Bali.
Angka nol bukan ketiadaan. Ia adalah awal, ruang kosong yang menampung kemungkinan. Di titik nol, kita tak lagi berjalan ke depan atau ke belakang; kita hanya berhenti dan dari berhenti itulah arah bisa ditemukan. Mungkin Bali perlu kembali ke titik nolnya: menata ulang relasi antara manusia, alam, dan spiritualitas. Bukan dengan menolak kemajuan, tetapi dengan menempatkannya dalam keseimbangan. Bukan dengan menutup diri, tetapi dengan membuka mata, dan belajar mendengar.
Dalam mitologi dikisahkan Pandora menyesal setelah membuka kotak keramat itu. Ia ingin menutupnya kembali, tapi sudah terlambat, semua malapetaka telah berhamburan keluar. Namun, ketika ia menatap ke dasar kotak itu, ia menemukan sesuatu yang tersisa, yakni: harapan. Barangkali, Bali juga sedang berdiri di titik itu. Setelah malapetaka pembangunan, setelah distorsi budaya, setelah kerusakan alam, masih ada sesuatu yang tersisa, yakni harapan. Harapan yang mungkin kecil, samar, tapi masih menyala, seperti cahaya kunang-kunang di kegelapan malam.
Harapan bahwa masyarakat Bali bisa kembali merawat ingatan dan spiritualitasnya di tengah arus global. Harapan bahwa seni dan budaya bisa menjadi ruang refleksi, bukan sekadar hiburan. Harapan bahwa kita semua bisa belajar hidup dengan kesadaran bahwa surga bukan tempat untuk dikuasai, melainkan untuk dijaga.
Lewat Pandora Paradise, Putrayasa mungkin tidak menawarkan solusi. Tapi ia memberi kita ruang untuk berhenti sejenak. Untuk menatap kotak itu. Untuk merenung. Dan menyadari betapa berharganya harapan yang tersisa di dalamnya. Seperti Pandora, orang Bali juga bisa belajar dari apa yang telah terjadi. Orang Bali bisa sedih dan prihatin atas kotak yang telah terbuka, tapi juga bisa menjaga harapan agar tak ikut lenyap.
Surga yang sejati bukanlah tempat tanpa luka. Melainkan tempat di mana luka-luka itu disadari, diakui, dirawat dan disembuhkan. Mungkin inilah jalan pulang Bali, jalan yang sunyi tapi penuh makna. Jalan menuju kesadaran bahwa keindahan tanpa kebijaksanaan hanyalah cahaya yang menyesatkan.
Pandora Paradise bukan sekadar karya seni. Ia adalah doa dalam bentuk rupa. Doa agar kita tidak hanya melihat Bali, tetapi juga mendengarkannya. Mendengar suara tanah yang haus, air yang menipis, masyarakat yang rindu keharmonisan. Mendengar desahan halus dari surga yang tengah terluka, namun masih menyimpan harapan di dadanya.
Dan di sanalah, di antara bambu-bambu sintetis yang berpendar cahaya, kita mungkin bisa melihat seberkas makna sederhana. Bahwa Pulau Surga tidak akan pernah bisa diselamatkan dengan membangunnya lebih megah, melainkan dengan belajar menunduk, rendah hati, dan mencintainya lebih dalam.
*Penyair dan penyuka seni rupa.