Agama Baru Bernama Maradona dan Tragedi Sepak Bola

 Agama Baru Bernama Maradona dan Tragedi Sepak Bola

Gereja Maradona di Buenos Aires. (ist)

Oleh : Rahman Sabon Nama

DENPASAR – baliprawara.com

SEHARUSNYA pagi jam 07:00 kemarin, saya wajib mengikuti live streaming pertandingan Perseftim Flores Timur seperti 3 laga sebelumnya, apalagi kali ini babak 8 besar Peseftim Vs  Perse Ende. Eh saya malah ketiduran dan baru bangun pukul 10:00 lewat. Begitu saya aktifkan FB, yang muncul Ever Tokan menampilkan potongan clip SUCI 4  Abdur yang sudah sangat familiar bagi kita tentang akhir kisah pertandingan sepak bola di Timur (Indonesia). “Wah pasti pertandingan ricuh karena baku hantam pemain hingga pemandangan kacau balau begini,” gumamku sambil menyimak foto-foto dan video lainnya. 

Setelah cek berita online barulah saya mengerti,  bukan karena perkelahian antar pemain melainkan Perseftim sudah ketinggalan 0 – 1 di menit ke 80. Apakah potensi kekalahan itulah yang memicu kericuhan? Ataukah ada perlakuan yang tidak manusiawi terhadap suporter sebagai pemicunya? Biarkan Tim investigasi Asprov NTT dan Polres Lembata yang bertugas menggalinya. Asprov NTT wajib melakukan hal itu demi menegakkan aturan sekaligus menjatuhkan sanksi apa yang pantas diberikan kepada Perseftim dan suporternya. Polres Lembata juga wajib melakukan hal yang sama guna mengungkap dalang kericuhan tersebut untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan pengadilan.

Saya yakin sepanjang hari kemarin hingga hari ini masyarakat seantero NTT tak henti-hentinya membahas Tragedi Gelora 99 Lembata, 23 September 2022. Sepanjang kemarin pula hampir semua medsos saya ubek, semua media online saya uber. Semuanya mengumpat ulah suporter Perseftim. Namun ada dua tulisan yang sangat menyentuh hati saya. Pertama akun Elisabeth B. Aran (Bety) dan berita online Warta Nusantara yang ditulis Karolus Kia Burin. Bety. Ina bine dari Kolilanang yang menikah ke Lamablawa dan kini bersama suaminya bermukim di Lewo Leba itu, menulis begini: 

“Terlalu sekali e, tidak ingat kami semua nih kah 😥. Belajar ulang makna “sampe dopi kepo yang sebenarnya 🤦”. Suara ibu muda ini mewakili suara semua perempuan Flores Timur – Solor – Adonara yang kini tinggal di Tanah Lepan Bata demi mencari sesuap nasi.

 

Ironisnya, tak jauh dari Stadion Gelora 99, tepatnya di Gereja Paroki Santu Arnoldus Janssen, Waikomo sedang berlangsung misa syukur yang dipimpin Bapa Uskup Larantuka Mgr. Frans Kopong Kung, Pr untuk memperingati 100 tahun kehadiran ordo SVD di Lembata. Penjabat Bupati Lembata Marsianus Jawa dalam sambutannya mengatakan, hatinya tidak tenang mengikuti acara ini karena mendapat telepon berulang-ulang bahwa supporter Perseftim mengamuk dan merusak fasilitas Stadion Gelora 99. Bupati Marsianus terpaksa pamitan kepada Bapa Uskup  dan umat sambil meneteskan air mata.

See also  UTBK Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru PPDS dan Pascasarjana Unud di Ikuti 27 Peserta

“Saya ikut Misa perayaan 100 Tahun SVD Lembata saat ini hati tidak tenang sama sekali. Karena saya ditelpon bertubi-tubi bahwa Suporter Perseftim Flotim merusakan fasilitas GOR 99. Sangat disesalkan tindakan suporter yang tidak terpuji ini dan menodai event ETMC dimana kita sebagai tuan rumah. Masyarakat Lembata ingin damai. Dengan event olahraga ini kita mau bersukacita, rekreasi penuh kegembiraan. Namun kondisi saat ini tidak nyaman dan kondusif,” ungkap Penjabat Bupati Lembata, Marsianus Jawa.

Karena itu, Bupati Marsianus menyampaikan mohon maaf kepada Yang Mulia Bapak Uskup. “Saya terpaksa meninggalkan perayaan dan acara penting ini karena harus segera ke GOR 99 memantau kejadian ini”. Kemudian Ia pamit kepada Uskup dan hadirin, meninggalkan misa sembari meneteskan air mata kesedihan terkait insiden ini.

Di manapun di dunia ini, sepak bola dan penonton atau fans adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Karena penonton tak sekedar “chier leader” untuk membangkitkan semangat pemain di lapangan hijau tetapi sekaligus pemberi nafas kehidupan. Sederhananya, selain memberi dukungan kepada Perseftim, para suporter itu juga memberi nilai ekonomi bagi pemilik perahu motor hingga warung-warung kecil di pinggir jalan atau mungkin juga penginapan sederhana. Kecintaan suporter terhadap tim dan pemain sepak bola memang kadang di luar logika. Mereka menghabiskan duit pribadi hanya untuk mengikuti kemanapun tim kebanggaan atau pemain idolanya mengolah si kulit bundar. Fanatisme suporter seperti itu memang membawa dampak positif terhadap tim tetapi bisa juga sebaliknya. 

 

Andres Escobar  Center Back Timnas Kolombia yang mencetak gol ke gawangnya sendiri pada Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat, mengakibatkan Colombia angkat koper lebih dulu. Pada 2 Juli 1994 atau baru beberapa hari tiba di negaranya, Andres Escobar  harus meregang nyawa di ujung pistol  tatkala ia dan seorang temannya baru saja keluar dari sebuah bar di Medelin, Colombia. “Gol… Gol… Gol,” teriak si pembunuh sambil melepaskan tembakan ke arah Escobar.

Jauh sebelumnya, pada 29 Mei 1985 terjadi Tragedi Heysel, Brussels, Belgia saat final Liga Champion antara Liverpool (Inggris) vs Juventus (Italia) . Satu jam sebelum kick off, hooligans Liverpool merangsek masuk ke tribun supporter Juventus membuat dinding pembatas roboh dan menewaskan 39 supporter Juventus serta  600 lainnya terluka. Akibat Tragedi Heysel itu tim – tim Inggris dilarang tampil di semua event internasional selama 5 tahun. Dalam kasus Tragedi Gelora 99 Lembata, Perseftim tak mungkin bisa lolos sekecil apapun hukuman yang diambil Asprov NTT.

Brasil boleh saja mengklaim sepak bola adalah agama kedua mereka, namun tidak ada bukti fisik yang menguatkan premis itu. Berbeda dengan musuh bebuyutannya, Argentina. Seperti dilansir kompas (25/11/2020) di Kota Rosario, Argentina, para fans Mega Bintang Armando Maradona memperlihatkan kecintaan terhadap Maradona sungguh berlebihan. Pada 30 Oktober 1988, Hector Campomar, Alejandro Veron, dan Hernan Amez  mendirikan sebuah agama baru untuk memuja Maradona, yang dinamakan Gereja Maradoniana (Iglesia Maradoniana). Saat itu, pengikutnya sekitar 30-an orang, tapi tahun 2020 jumlah “umatnya” diperkirakan 120.000 – 200.000 orang tersebar di 130 negara. Uniknya, tanggal kelahiran Maradona 30 Oktober ditetapkan sebagai “Hari Natal”, sedangkan tanggal 22 Juni saat Maradona mencetak 2 gol ke gawang Inggris pada Piala Dunia 1986 di Mexico ditetapkan sebagai “Hari Paskah”. 

Sihir sepak bola bisa membuat orang tergila-gila. Termasuk saya. Itulah maka ketika Tim Perseftim tiba di Lembata dan disambut begitu meriah oleh masyarakat Flores Timur di Lembata, saya berinisiatif memberitakan Perseftim secara Indepth News, dengan setting tahun 1969  pertama kali El Tari Cup (ETC) digelar yang dimenangkan oleh Perseftim,  El Tari Memorial Cup (ETMC) ketika Hengky Hallan dkk menjadi campiun di Bajawa hingga squad ETMC Lembata, yang di dalamnya dua keponakan saya, Yohanes Baga Sidu dan Indra April Sili Boli. Sekaligus mau  mengangkat sekelumit kisah dua punggawa muda Ago Tugu Pepageka tersebut  dan Hengky Hallan – teman lama di Bali – yang dipercayakan menjadi Coach Perseftim, begitu juga “Eloco Cholid (asisten) bersama Frans Sabon yang menjadi motor Ago Tugu FC sukses merajai Kolilanang Open .  Sayangnya Hengky Hallan tak merespon sama sekali pesan singkat saya sehingga urung diterbitkan. Tapi sudahlah.  Saya menikmati empat pertandingan sebelumnya meski dengan sedikit was-was.  Sebab, Perseftim ibaratnya Tim Panser Jerman. Lambat panas. Meski begitu saya sangat menikmati tingkah suporternya yang sungguh menggoda dan menghibur berangkat dari Flores Timur, Solor, Adonara hingga Tana Lembata dan  mendapat pujian di mana-mana. Saya berharap Perseftim semakin panas dan mampu  “tenggelamkan Danau  Kelimutu”. Ternyata kita kebobolan duluan. Tetapi semangat anak-anak di lapangan tak pernah luntur hingga detik-detik petaka itu datang. Mereka terus berjuang, minimal bisa menyamakan kedudukan tetapi kita malah membuat mereka bertekuk lutut.  Bukan karena “Sampe Dopi Kepo Kae” juga kita tetap kalah, melainkan ulah suporter di luar lapangan.  Tagline Sampe Dopi Kepo akhirnya tak berguna. Kita telah membunuh masa depan 22 anak muda kita, jika Asprov NTT melarang Perseftim tampil di semua event sepak bola NTT beberapa tahun ke depan. Itu artinya tak ada lagi “Kasim Botan” baru yang lahir dari Tanah Lamaholot dalam waktu dekat. 

See also  Buka Kesempatan Magang, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan Unud Terima Audiensi Tim Nutrifood Indonesia

Tragedi Gelora 99 Lembata 23 September 2022 adalah pelajaran berharga bagaimana sebuah tim dapat mengelola suporternya secara profesional. Begitu juga bagaimana panitia mengamankan suporter- terutama perempuan-lebih humanis agar sebuah pertandingan sepakbola menjadi enak ditonton. Mohon maaf dan salam hormat buat warga Lepan Bata. Buat Perseftim tak perlu menangis. Teringat pepatah Inggris: it’s no use crying over spilled milk. Tak ada gunanya meratapi susu yang tertumpah. (MBP)

 

redaksi

Related post