Anak dan Remaja, Menjadi Kelompok dengan Peningkatan Jumlah Perokok Paling Signifikan

Sekretaris Daerah Provinsi Bali, Dewa Made Indra.(ist)
DENPASAR – baliprawara.com
Jumlah perokok aktif di Indonesia, diperkirakan mencapai sebanyak 70 juta orang, berdasarkan hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Dari total jumlah itu, ada sebanyak 7,4% di antaranya, merupakan perokok berusia 10-18 tahun.
Jumlah ini bahkan sudah mulai menyebar ke anak-anak usia dini, yaitu umur 5 tahun. Dari data tersebut, kelompok anak dan remaja, merupakan kelompok dengan peningkatan jumlah perokok yang paling signifikan.
Untuk pengendalian agar anak-anak terhindar dari rokok, Sekretaris Daerah Provinsi Bali, Dewa Made Indra, mengajak semua pihak baik dari Keluarga, Sekolah, Pemberi Izin dan Pemerintah harus memperkuat instrumen, baik dari segi regulasi ataupun yang lainnya.
Keluarga dalam hal ini, menjadi paling penting untuk melakukan pengendalian termasuk sekolah. Anak-anak sekolah kata dia, perlu diberikan edukasi secara intensif terkait bahaya rokok.
“Atau bisa dilakukan tes paru kepada anak-anak yang merokok, jadi mereka bisa melihat hasilnya bagaimana dan hal tersebut difasilitasi oleh sekolah. Selain itu warung-warung depan sekolah yang berjualan rokok harus diatur radiusnya, sehingga tidak terlalu dekat dengan sekolah,” kata Dewa Indra, saat menghadiri acara Bali High Level Meeting For Healthy Cities dengan Tema “Pengendalian Dampak Bahaya Rokok Terhadap Kesehatan Masyarakat” bertempat di Hotel Prime Plaza Sanur, Denpasar, Jumat 28 Juni 2024.
Ia berharap, seluruh pemangku kepentingan, bekerja sama untuk menghindari anak-anak dari bahaya rokok, karena anak-anak merupakan generasi penerus bangsa. “Jadi seluruh pihak harus meningkatkan edukasi, penegakan aturan kawasan tanpa asap rokok, dan perijinan juga harus tegas untuk tidak memberikan izin berjualan rokok di area sekolah,” harapnya.
Sementara itu, Perwakilan dari Kementerian Kesehatan RI, dr. Benget Saragih melalui zoom meeting mengatakan, kelompok anak dan remaja merupakan kelompok dengan peningkatan jumlah perokok yang paling signifikan. Berdasarkan data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) pada 2019, prevalensi perokok pada anak sekolah usia 13-15 tahun naik dari 18,3% (2016) menjadi 19,2% (2019).
Sementara itu, data SKI 2023 menunjukkan bahwa kelompok usia 15-19 tahun merupakan kelompok perokok terbanyak (56,5%), diikuti usia 10-14 tahun (18,4%).
Dalam upaya melindungi masyarakat dari bahaya produk tembakau, pemerintah telah menetapkan UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Salah satu aturan yang diamanatkan UU Kesehatan, yakni pengamanan zat adiktif, termasuk produk tembakau dan rokok elektronik.
Sebagai tindak lanjut UU tersebut, pemerintah sedang melakukan penyusunan draf peraturan pemerintah (PP) mengenai zat adiktif. Saat ini, penyusunan PP tersebut sudah menyelesaikan proses pembahasan, uji publik, serta pleno dengan kementerian dan lembaga terkait. Dalam waktu dekat, PP yang menjadi aturan turun dari UU Kesehatan segera disahkan.
Selain itu, pemerintah melindungi hak anak melalui sistem pembangunan kabupaten/kota Layak Anak. Dasar aturan dari kebijakan tersebut adalah UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, khususnya pasal 21.
“Kami mendorong kabupaten/kota itu sebagai Kawasan Tanpa Rokok. Kebijakan ini sudah ditindaklanjuti juga oleh Kemenkes sebagai kementerian teknis yang langsung membuat banyak aturan di daerah,” tuturnya.
“Kami juga mengupayakan bagaimana bahwa di dalam rumah juga harus bebas rokok, karena banyak sekali rokok dimulai dari konsumsi rumah tangga, hal ini bisa menyebabkan banyak dampak termasuk dampak pertumbuhan anak. Uangnya habis untuk beli rokok tapi tidak untuk beli telur, daging atau ayam,” imbuhnya. (MBP)