Annual Southeast Asia Forum on Sustainable Capture Fisheries, Bahas Kejahatan Lintas Nasional

 Annual Southeast Asia Forum on Sustainable Capture Fisheries, Bahas Kejahatan Lintas Nasional

Dari Kiri ke kanan: CEO Indonesia Ocean Justice Initiative Dr. Mas Achmad Santosa, Senior Advisor, FIHRRST Dinna Prapta Raharja, Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi, Kemenko Marves Basilio Dias Araujo, dan Duta Besar/Perwakilan Tetap Indonesia ke ASEAN Derry Aman.

MANGUPURA – baliprawara.com

Saat ini, tantangan yang masih dihadapi oleh negara-negara di Asia Tenggara, meliputi perikanan ilegal, perdagangan barang dan jasa ilegal, dan kejahatan lintas nasional. Pasalnya, seperti diketahui, Asia Tenggara merupakan regional dengan keragaman laut terbesar di dunia dengan sekitar 1.600 spesies ikan.

Aktivitas perikanan yang melanggar hukum, unreported and unregulated (IUU) fishing, menjadi agenda penting kemaritiman dan industri perikanan. Selain itu trend permintaan produk perikanan dunia serta perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) para pekerja kapal ikan menjadi penting untuk perikanan  berkelanjutan.

Sebagai langkah dalam mengatasi kegiatan perikanan yang melanggar hukum atau illegal, unreported and unregulated (IUU) fishing, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi bersama Foundation for International Human Rights Reporting Standards (FIHRRST) mengadakan acara Annual Southeast Asia Forum on Sustainable Capture Fisheries (ASEAF-SCF) di Bali. Bertempat di Nikko Hotel, Tanjung Benoa, Kuta Selatan, Badung, Bali, kegiatan yang berlangsung tanggal 22-23 Juni 2022 ini, mengusung tema ‘Leveraging Southeast Asia Business Competitiveness through Combating IUU Fishing and Protecting Human Rights in Fisheries’. Forum ini menjadi platform bagi pemerintah, perusahaan perikanan tangkap, organisasi masyarakat, dan akademisi untuk bertukar informasi dan merumuskan rekomendasi kebijakan terkait langkah-langkah peningkatan daya saing produk perikanan tangkap di Asia Tenggara.

Menurut Senior Advisor, FIHRRST Dinna Prapta Raharja, dalam forum yang digelar selama dua hari ini, pembicara dari berbagai negara dan latar belakang profesi mendiskusikan berbagai topik mulai dari kondisi dan tren perikanan berkelanjutan di Asia Tenggara sampai pada masalah yang dihadapi oleh industri perikanan kecil.”Kawasan ASEAN menjadi perhatian khusus karena ASEAN merupakan pemasok seperempat kebutuhan ikan dunia. Di sisi lain negara-negara pembeli seperti Jerman, Belanda atau Uni Eropa pada umumnya menetapkan standard ketat dari sisi keberlanjutan dan hak asasi pekerja,” ucapnya.

See also  Terseret Ombak Saat Berenang di Pantai Saba, WN Rusia Hilang

 

Sementara itu, Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi, Basilio Dias Araujo menyampaikan, praktik eksploitasi tenaga kerja dan praktik penyelundupan masih sering ditemukan dalam bisnis perikanan di tanah air. Bahkan kata dia, mendekati praktik perbudakan modern. 

Lebih lanjut pihaknya menyampaikan, memang kalau dilihat dari beberapa pengalaman, sempat ditemukan terkait kasus perbudakan di Indonesia. Yang mana, ada aktivitas  perikanan yang mempekerjakan orang, tidak hanya dari Indonesia namun ada juga dari negara lain, yang bekerja bertahun-tahun, namun  tidak digaji dan tidak pernah pulang. 

“Ternyata di dalam kegiatan penangkapan ikan, ada praktek lain seperti pekerjanya tidak digaji dan mereka seperti dipenjara. Ini tentu tergolong praktek perbudakan.Selain itu ada pekerja dibawah umur yang dipekerjakan. lebih jauh lagi, ada juga praktek seksual yang terlibat disitu,” ujarnya.

Basilio berharap baik perusahaan perikanan, akademisi, masyarakat sipil dan pemerintah khususnya wilayah Asia Pasifik perlu duduk bersama menangani masalah ini. Pasalnya praktek buruk bisnis perikanan memberikan multiplier efek termasuk ekonomi.

CEO Indonesia Ocean Justice Initiative Dr. Mas Achmad Santosa menambahkan, ada 2 wilayah penting kerja sama dengan ASEAN, mencegah IUU Fishing. Modal ASEAN ini sudah ada dengan gagasan Asean Network Combating IUU Fishing agar dimanfaatkan betul. Misalnya dengan patroli bersama penguatan SDM, dan mencegah pelanggaran HAM terhadap ABK (anak buah kapal) di tengah laut. 

See also  Bangunan Rumah di Darmasaba Ambles, Diduga Akibat Kesalahan Konstruksi

 

Pada hari pertama kegiatan ASEAF-SCF, diawali dengan sesi pleno tingkat tinggi yang dipimpin oleh Prof. Dr Ir. Dwisuryo Indroyono Soesilo, M.Sc. dan dihadiri oleh perwakilan beberapa negara ASEAN. Sesi ini membahas upaya-upaya yang sudah dilakukan oleh negara-negara di ASEAN untuk mencegah IUU fishing dan pelanggaran HAM di industri perikanan. Selanjutnya Prof. Dr. Ir. Dwisuryo Indroyono Soesilo, M.Sc. memulai sesi dengan pemaparan kekayaan laut di Asia Tenggara beserta tantangan yang dihadapi.

Forum dilanjutkan dengan dua sesi diskusi yang masing-masing dimoderasi oleh Bahtiar Manurung, Direktur Operasional FIHRRST, dan Assoc. Prof. Dinna Prapto Raharja, Ph.D., Penasihat Kebijakan Senior FIHRRST. Panel pertama mendiskusikan isu uji tuntas hak asasi manusia dalam mencegah pelanggaran HAM di industri perikanan.

Lebih jauh lagi, panelis membahas tentang tren kenaikan permintaan dari konsumen terhadap produk perikanan yang berkelanjutan serta dari investor yang mulai memprioritaskan investasi ke perusahaan yang mempunyai indeks ESG atau lingkungan, sosial, dan tata kelola yang bagus. (MBP)

 

redaksi

Related post