Ari Dwipayana: Perkuat Arus Tengah dalam Masyarakat Multikultur
JAKARTA – baliprawara.com
AAGN Ari Dwipayana, Koordinator Staf Khusus Presiden menjadi salah satu narasumber dalam Rapat Koordinasi Dirjen Bimas Hindu dengan Tokoh-Tokoh Umat Hindu di Jakarta, Senin, (22/2). Karena suasana pandemi, rapat hanya dihadiri perwakilan 36 tokoh dari Majelis Umat Hindu, Organisasi Masyarakat dan Kepemudaan Hindu serta pejabat Dirjen Bimas Hindu secara langsung, sebagian lainnya hadir secara virtual.
Dirjen Bimas Hindu, Tri Handoko Seto dalam sambutannya menekankan pentingnya membangun kesamaan pandangan tentang moderasi beragama baik dengan kalangan eksternal, maupun internal antar umat Hindu sendiri.
Menurutnya setidaknya ada empat indikator keberhasilan moderasi beragama yang harus terus diupayakan seluruh stakeholder Kementerian Agama dan masyarakat yaitu komitmen kebangsaan, anti kekerasan, toleransi dan penerimaan terhadap tradisi. Menurut Seto, Menteri Agama terus menggelorakan semangat moderasi beragama karena sehebat apapun program-program pemerintah, jika tidak dijiwai moderasi beragama akan menimbulkan kerusakan-kerusakan yang kerusakannya bisa melebihi kecepatan pembangunannya sendiri.
Tantangan Masyarakat Multikultur
Dalam acara tersebut, Ari menekankan pentingnya penguatan arus tengah khususnya disaat banyak negara sedang menghadapi tantangan atas kondisi masyarakat yang heterogen. Jerman atau Eropa yang dulu sangat homogen, saat ini juga berhadapan dengan tantangan baru yang disebabkan kondisi masyarakatnya yang sekarang sangat heterogen. Pada saat yang sama, banyak negara yang juga mulai bergeser dari monokultur menjadi multikultur.
Ditengah kondisi tersebut, maka kebhinekaan, baik intra-agama dan antar agama menjadi keniscayaan.
Kebhinekaan adalah anugerah istimewa yang harus terus kita jaga dan rawat bersama-sama, salah satunya dengan memperkuat gerakan arus tengah keberagamaan kita.
Dalam paparan yang berjudul “Memperkuat Arus Tengah”, Ari menjelaskan, ukuran keberhasilan literasi beragama bukanlah pada seberapa besar kita dapat memahami teks kitab suci, namun sejauh mana kita mampu melakukan perubahan atau transformasi etik berdasarkan pemahaman yang kita miliki. Dengan demikian, kita akan melihat kemeriahan beragama tegak lurus dengan perubahan-perubahan etik dalam masyarakat, yang tergambar dari semakin membaiknya entitas sosial dan kesadaran sosial. Literasi tanpa perubahan etik masyarakat, akan memunculkan banyak persoalan baru, tanpa ada titik kemajuan.
Moderasi adalah hal yang fundamental dalam suatu peradaban. Tanpa moderasi, tidak akan ada dialog, tidak akan ada satu konsensus untuk membangun sinergi. Moderasi dalam berbagai hal, termasuk dalam politik, dalam beragama adalah cara kita untuk menemukan titik temu.
Bahaya Ekstrimisme
Lebih lanjut Ari menyampaikan, tentang bahaya ekstrimisme dan radikalisme, yang dapat menimbulkan konflik tajam bahkan berakhir dengan kekerasan. Ekstrimisme dan radikalisme bisa muncul di semua agama yang umumnya dimulai dari sikap intoleransi yang tidak diantisipasi sejak dini.
Dalam kondisi tersebut, gerakan-gerakan ekstrimisme umumnya, “re-claim the state”. Klaim-klain tersebut semakin kuat, karena didukung era post truth yang membuat klaim tersebut tersebar secara cepat dan luas. Disisi lain, trend post-truth juga membuat warganet yang berpikiran dangkal menangkap pesan tersebut tanpa berpikir kritis.
Spektrum bahaya ekstrimisme semakin mengkhawatirkan dengan dimainkannya politik identitas dan sentimen agama yang terkonsolidasi dengan parameter perbedaan suku, ketimpangan ekonomi. Sehingga tidak sepenuhnya bisa dilihat sebagai faktor agama sebagai variabel tunggal.
Kolaborasi Dan Dialog
Arus tengah harus dikuatkan dan dijaga, karena memiliki kekuatan yang sangat besar. Mayoritas silent majority dan sikap moderat, merupakan potensi arus tengah yang sangat besar dan kuat. Sikap moderat, memudahkan dialog dan kerjasama untuk memperkuat keberagaman dan mengoptimalkan upaya-upaya merawat common platform: NKRI, kebhinekaan, dan menjaga Pancasila serta UUD 1945.
Doktor Politik UGM ini juga menegaskan, pentingnya menghidupkan dialog tanpa terjebak pada formalitas dan seremonial. Dialog sejati harus sampai pada akar rumput.
Disamping dialog yang efektif, kerjasama dan kerja bersama juga sangat penting. Sinergi antar agama terkait berbagai isu bersama seperti kemiskinan, lingkungan hidup, kebodohan, keterbelakangan, ketimpangan sosial sudah saatnya dicarikan solusi bersama.
Terakhir, Tokoh Puri Kauhan Ubud ini menyampaikan, bahwa pandemi covid-19 yang menimpa semua umat beragama dengan dampak yang sangat dahsyat, hendaknya juga dipandang sebagai momentum yang menyatukan, momen konsolidasi politik dan sosial untuk melakukan pemulihan ekonomi. Kunci menghadapi pandemi adalah sinergi dan kolaborasi.
Rapat koordinasi yang berlangsung sehari penuh ini, menghadirkan beberapa narasumber diantaranya DR. AAGN Ari Dwipayana selaku Koordinator Staf Khusus Presiden RI, Mayjen TNI (Purn) Wisnu Bawa Tenaya Ketua PHDI Pusat, Drs. I Ketut Donder dan Sugi Lanus. Rapat diharapkan menghasilkan rumusan dokumen yang akan digunakan sebagai pedoman para tokoh dan umat Hindu dalam mengimplementasikan moderasi beragama. (MBP)