Bali tak Butuhkan Kehadiran Ormas dengan Tindakan Premanisme dan Kekerasan

DENPASAR – baliprawara.com
Penyelenggaraan keamanan dan ketertiban di Bali sudah ditangani oleh lembaga negara yaitu Kepolisian dan TNI. Selain itu, Bali telah memiliki Sistem Pengamanan Lingkungan Terpadu Berbasis Desa Adat (Sipandu Beradat) dan Bantuan Keamanan Desa Adat (Bankamda), yang terdiri atas unsur Pacalang, Linmas, Bhabinkamtibmas, dan Babinsa, yang diatur dengan Peraturan Gubernur Bali Nomor 26 Tahun 2020 sebagai pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat di Bali.
Sipandu Beradat diluncurkan secara resmi oleh Kapolri Jenderal Polisi Drs. Listyo Sigit Prabowo, M.Si., Jumat, 28 Januari 2022 di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Denpasar.
Dengan dua institusi tersebut, yaitu oleh negara dan lembaga berbasis Adat, penanganan keamanan dan ketertiban di wilayah (wewidangan) Desa Adat se-Bali sudah terbukti sangat memadai. Bahkan mampu menangani keamanan kegiatan-kegiatan berskala internasional di Bali, yang diselenggarakan sejak dahulu sampai saat ini.
“Oleh karena itu, Bali tidak membutuhkan kehadiran Ormas yang berkedok menjaga keamanan, ketertiban, dan sosial dengan tindakan premanisme, tindak kekerasan, dan intimidasi masyarakat, sehingga menimbulkan ketegangan di tengah-tengah masyarakat Bali yang sudah sangat kondusif,” tegas Gubernur Bali Wayan Koster saat jumpa pers di Gedung Jaya Sabha, Senin 12 Mei 2025.
Menurut Gubernur asal Sembiran Buleleng ini, kehadiran Ormas seperti ini justru akan merusak citra pariwisata Bali, yang dikenal sebagai destinasi wisata dunia yang paling aman dan nyaman dikunjungi.
Tetapi, sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bali sangat terbuka dan toleran terhadap keberadaan warga pendatang, namun semua warga yang tinggal atau menetap di Bali berkewajiban berperilaku baik, bekerja sesuai profesinya dengan baik, produktif, serta berkontribusi untuk membangun Bali, menghormati nilai-nilai budaya Bali, dan mentaati kebijakan Pemerintah Provinsi Bali, seperti kata orang bijak “di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung”.
Sebagaimana yang sudah ada selama ini, warga pendatang di Bali sangat baik membentuk wadah berupa Paguyuban, seperti Paguyuban Sunda, Paguyuban Banyuwangi, Paguyuban Minang, Paguyuban Batak, dan sejenisnya, yang bertujuan untuk mengembangkan suasana kekeluargaan dan keakraban, persatuan dan kesatuan, serta berkontribusi positif bagi pembangunan Bali.
Jadi, Gubernur Bali bersama Ketua DPRD Provinsi Bali, Pangdam IX/Udayana, Kepala Kepolisian Daerah Bali, Kepala Kejaksaan Tinggi Bali, Ketua Pengadilan Tinggi Denpasar, Komandan Korem 163/ Wira Satya, dan Kepala Badan Intelijen Negara Daerah Bali sepakat mengambil sikap untuk menindak dengan tegas Ormas yang melakukan tindakan premanisme dan kriminalitas, serta meresahkan masyarakat.
Tindakan tegas tersebut sangat diperlukan dalam rangka mewujudkan kehidupan masyarakat Bali yang tertata, tertib, aman, nyaman, damai, sejahtera, dan bahagia, serta mewujudkan kepariwisataan Bali yang berbasis berbudaya, berkualitas, dan bermartabat.
Gubernur Koster mengapresiasi, menyambut baik, dan mendukung penuh aspirasi masyarakat Bali yang menolak munculnya Ormas yang terindikasi melakukan tindakan premanisme dan kriminalitas, serta meresahkan di Gumi Bali.
“Saya mengajak seluruh komponen masyarakat di Bali untuk guyub, kompak, bersatu padu, bahu-membahu, bersama-sama, dan bergotong-royong membangun Bali niskala-sakala dengan menjaga keamanan, ketentraman, dan ketertiban, serta kenyamanan setiap orang di Bali berlandaskan nilai-nilai kearifan lokal Bali: gilik-saguluk, paras paros, salunglung-sabayantaka, sarpana ya (seiya sekata, seiring sejalan, bekerjasama dengan sama-sama bekerja),” katanya.
Memang, Ormas merupakan bagian dari kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat, sebagai salah satu hak asasi manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun, Ormas berkewajiban memelihara nilai agama, budaya, moral, etika, dan norma kesusilaan, serta menjaga ketertiban umum dan terciptanya kedamaian dalam masyarakat.
Pun, keberadaan Ormas secara khusus diatur dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2016 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Dalam pasal 8 ayat (2) dan pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 58
Tahun 2016, mengatur bahwa Pengurus Ormas yang ada di daerah wajib melaporkan keberadaan kepengurusannya kepada Pemerintah Daerah setempat melalui perangkat daerah yang melaksanakan urusan pemerintahan di Bidang Kesatuan Bangsa dan Politik Provinsi atau Kabupaten/Kota.
Lanjut Koster, sampai saat ini, di Provinsi Bali sudah terdaftar sebanyak 298 Ormas yang telah mendapat Surat Keterangan Terdaftar (SKT). Sejumlah Ormas tersebut bergerak di bidang sosial, kemanusiaan, kepemudaan, kebudayaan, lingkungan, dan kebangsaan.
Gubernur Bali sebagai Kepala Daerah, yang merupakan unsur penyelenggara pemerintahan daerah memiliki kewenangan untuk tidak menerbitkan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) Ormas, dengan pertimbangan kondisi di wilayah Provinsi Bali. Berkaitan dengan keberadaan Ormas di wilayah Provinsi Bali yang belum atau tidak melakukan kewajiban sebagaimana diatur dalam peraturan dimaksud, maka Ormas bersangkutan belum diakui keberadaannya dan tidak dapat melakukan kegiatan operasional di wilayah Bali. (MBP2)