Batas Wewidangan Desa Pemogan-Kuta, Masih Menjadi Polemik

 Batas Wewidangan Desa Pemogan-Kuta, Masih Menjadi Polemik

Dialog terkait pembangunan Gapura di salah satu titik ruang milik jalan, Jalan Griya Anyar, Kuta, Senin (10/4/2023).

MANGUPURA – baliprawara.com

Permasalahan batas wewidangan atau wilayah, antara Desa Adat Kuta, Badung dengan Desa Adat Pemogan, Denpasar, hingga kini masih menjadi polemik. Bahkan, terbaru, di kawasan Jalan Griya Anyar, Kuta, sedang dibangun gapura berbahan batu bata.

Camat Kuta beserta Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), Kepala Bagian (Kabag) Tata Pemerintahan (Tapem) Kabupaten Badung, bersama unsur TNI Polri, Senin 10 April 2023, melakukan pengecekan aktivitas pembangunan gapura, di salah satu titik ruang milik jalan, Jalan Griya Anyar, Kuta. Pengecekan ini dilakukan, mengingat lokasi tersebut, merupakan wilayah administrasi Kabupaten Badung. 

Tapi ternyata, kehadiran rombongan kedinasan itu seolah menjadi hal yang tidak diharapkan oleh warga Pemogan. Dengan alasan bahwa yang dibangun itu, adalah penanda batas wewidangan desa adat. Sehingga penyelesaiannya dipandang harus antar desa adat, bukan antara dinas dengan adat. Sejumlah tokoh masyarakat dan Warga Pemogan, utamanya Gelogor Carik, menuntut untuk segera dipertemukan dengan Desa Adat Kuta guna membahas soal itu. 

Adu argumen pun tidak terelakkan. Namun mempertimbangkan kondusivitas wilayah, rombongan dari Badung akhirnya bertolak tanpa melakukan penghentian pekerjaan pembangunan ataupun pembongkaran.

Camat Kuta, D Ngurah Bhayudewa, membenarkan adanya tindak lanjut terhadap aktivitas pembangunan itu. Menurutnya, saat itu dirinya hadir bersama dengan Kasi Trantib dan Satpol PP BKO Kuta, serta Kabag Tapem Badung, juga diatensi pihak TNI dan Polri.

Ia menegaskan, kehadiran pihaknya ke lokasi pembangunan gapura tersebut, lantaran aktivitas ada di wilayah Kabupaten Badung. Apalagi, aktivitas tersebut diketahui sudah mulai dilakukan sejak Minggu 9 April 2023. 

See also  Gempabumi Tektonik M6,1 di Laut Jawa, Dirasakan Hingga Denpasar  

“Kami turun untuk menegakkan aturan, karena adanya aktivitas pembangunan di wilayah administrasi Kabupaten Badung. Jadi bukan soal membangun tapal batas adat yang kami persoalkan. Yang kami tindaklanjuti adalah adanya aktivitas pembangunan di ruang milik jalan yang notabene memanfaatkan tanah negara. Jadi bukan hanya karena yang dibangun itu adalah tapal batas adat, tapi apapun yang dibangun memanfaatkan tanah negara, itu wajib untuk minta izin terlebih dahulu ke pemerintah daerah,” katanya. 

Didasarkan atas regulasi berlaku, Ngurah Bhayudewa mengatakan bahwa sesungguhnya pemberhentian aktivitas ataupun pembongkaran bisa saja langsung dilakukan. Namun karena mempertimbangkan kondusifitas wilayah, langkah tersebut tidaklah dilakukan. “Hasil di lapangan sudah saya sampaikan bersama Kabag Tapem kepada Pak Sekda (Sekretaris Daerah). Sebagai tindak lanjut, katanya akan melakukan pembahasan terlebih dahulu bersama Forkopimda (Forum Koordinasi Pimpinan Daerah),” bebernya.

Sementara, Sekda Badung I Wayan Adi Arnawa yang dikonfirmasi terpisah, tidak memungkiri adanya laporan tersebut. Dari laporan yang diterima, Adi Arnawa menilai bahwa pembangunan gapura sebagai batas wewidangan merupakan hal yang berlebihan. Bahkan menurut dia, penanda batas wewidangan adat, tidak perlu sampai memanfaatkan ruang milik jalan. Ia menegaskan bahwa Pemerintah Kabupaten Badung tentu keberatan atas hal tersebut. “Sebenarnya tidak mesti harus membuat gapura. Cukup penanda kecil saja, apalagi memanfaatkan rumija yang mengganggu lalulintas jalan,” katanya. (MBP)

 

redaksi

Related post