Dari Rakortekrenbang 2024 di Surabaya, Pertumbuhan Ekonomi Bali 2025 Ditarget Tinggi, Kemiskinan Rendah

 Dari Rakortekrenbang 2024 di Surabaya, Pertumbuhan Ekonomi Bali 2025 Ditarget Tinggi, Kemiskinan Rendah

Kepala Bappeda Provinsi Bali I Wayan Wiasthana Ika Putra, saat menghadiri Rakor Teknis Perencanaan Pembangunan Nasional Tahun 2024, Senin 4 Maret 2024 di Hotel Vasa, Surabaya. (ist)

SURABAYA – baliprawara.com

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menargetkan laju pertumbuhan ekonomi (LPE) Bali Tahun 2025 tumbuh tinggi pada kisaran 6,68-6,83 persen. Sementara angka kemiskinan ditarget rendah pada kisaran 2,23-2,73.

Target pertumbuhan ekonomi tinggi tersebut dimaksudkan sebagai andil Bali dalam menopang laju pertumbuhan ekonomi nasional pada kisaran 5,3-5,6% dan menurunkan angka kemiskinan nasional dari kisaran 9% tahun 2024 ini menjadi 6,0-7,0 persen tahun depan.

Dalam desk indikator makro Rapat Koordinasi Teknis Perencanaan Pembangunan Nasional Tahun 2024 yang diselenggarakan bersama oleh Kementerian Dalam Negeri dengan Kementerian PPN/Bappenas Senin malam, 4 Maret 2024 di Hotel Vasa, Surabaya, Jawa Timur terungkap, capaian pembangunan Bali pada masa pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19 menjadi salah satu dasar perhitungan penentuan target tersebut.

“Capaian pertumbuhan ekonomi Bali tahun 2022 – 2023 sangat mengesankan, yakni sebesar 6,77 persen,” menurut pernyataan Bappenas.

Kepala Bappeda Provinsi Bali I Wayan Wiasthana Ika Putra, perwakilan BPS Provinsi Bali I Made Muriadi Wirawan, dan perwakilan BI Provinsi Bali Wahyu Wijayanto, memberikan argumentasi panjang atas penetapan target tersebut. 

Ika Putra mengemukakan, pemasangan target LPE pada kisaran 6,68-6,83 persen dan angka kemiskinan pada kisaran 2,23-2,73 persen bagi Bali itu terlalu jauh lebih tinggi daripada target yang ditetapkan Bali. Pemprov Bali memasang target LPE tahun 2025 pada kisaran 5,25-6,25 persen dan target angka kemiskinan 4,06 persen, sedikit lebih rendah daripada angka kemiskinan tahun 2024 yang sebesar 4,25 persen. “Menaikkan LPE dan menurunkan angka kemiskinan seperti yang ditargetkan Bappenas itu tidak mudah. Rasanya sulit untuk dicapai,” kata Ika Putra.

Meski demikian, menurutnya, perlu usaha ekstra keras, kerjasama yang kuat dari seluruh pemangku pembangunan Bali termasuk intervensi dari pemerintah pusat, dan harus ada dukungan kebijakan yang kuat untuk mewujudkannya,” imbuh IkaPutra.

See also  Prodi Teknologi Pangan FTP Unud Gelar Pendampingan Penyusunan RPS

Ketua Tim Neraca Wilayah BPS Provinsi Bali I Made Muriadi Wirawan yang hadir mewakili BPS Provinsi Bali mengemukakan, berdasarkan analisis data BPS, target penurunan angka kemiskinan Bali dari 4,25 persen tahun 2024 ini menjadi berkisar antara 2,23-2,73 persen tahun depan, sangat sulit dicapai. Demikian juga dengan LPE sebesar 6,68-6,83 persen.

Hal itu disebabkan capaian penurunan angka kemiskinan pasca pandemi Covid-19 yang mencapai level 6 persen bukan merupakan gambaran capaian pada kondisi normal seperti sebelum pandemi. Capaian 6 persen itu adalah capaian di saat pemulihan ekonomi pasca pandemi, yang antara lain ditandai dengan pertumbuhan ekonomi tinggi di Badung dan Denpasar yang di atas 6 persen, namun tidak dibarengi oleh daerah lain yang masih berkisar antara 4-6 persen.

Kadek Muriadi menyebutkan, pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Badung dan Denpasar itu ditunjukkan oleh pertumbuhan sektor pariwisata saja, tidak dibarengi oleh sektor lain terutama sektor primer seperti pertanian, peternakan dan lainnya. Jika ingin LPE Bali lebih tinggi, maka pemerintah harus mendorong pertumbuhan sektor selain pariwisata, sekaligus menjalankan transformasi.

Muriadi juga mengingatkan, data BPS mencatat, angka kemiskinan terendah yang pernah dicapai Bali adalah 3,61 persen pada tahun 2019. Belum pernah ada catatan angka kemiskinan Bali ada pada kisaran 2 persen, sehingga penetapan target angka kemiskinan pada kisaran 2 persen merupakan penetapan yang terlalu optimis.

Wahyu Wijayanto dari BI Provinsi Bali mengatakan,pengaruh pandemi Covid-19 terhadap perekonomian Bali masih akan tetap dirasakan hingga tahun depan, khususnya pada sektor jasa, perdagangan, akomodasi, makanan dan minuman, perhubungan dan konstruksi yang belum kembali kepada pola normal.

See also  Eko Sri Yuni Astuti  Raih Gelar Doktor Berkat Kaji Potensi Sisik Ikan Barakuda Dalam Mengatasi Permasalahan Karies Gigi Pada Anak

Bahwa di tahun 2023 LPE Bali tumbuh sebesar 5,71 persen itu bukan cerminan pertumbuhan Bali dalam kondisi normal. Pertumbuhan itu didasarkan pada dasar perhitungan LPE yang rendah pada tahun sebelumnya. Disamping itu, total LPE yang 5,71 persen itu masih didominasi oleh sektor pariwisata saja.

Lebih lanjut Wahyu Wijayanto mengemukakan, pada sektor pariwisata Bali, sekitar 56 persen masih belum pulih dibandingkan sebelum pandemi covid-19. Terdapat Perubahan perilaku dari para pelaku pariwisata, yakni melakukan efisiensi kapasitas untuk mendatangkan wisatawan untuk tujuan secara keuntungan mendapatkan yang lebih tinggi. Jadi, harus melihat lebih detail pertumbuhan karakteristik perekonomian Bali pascapandemi.

Soal kemiskinan, Wahyu mengemukakan, banyak factor yang berpengaruh di Bali. gelombang cuaca El-Nino yang mempengaruhi sektor pertanian perlu diperhitungkan. Demikian juga pertumbuhan total kredit di Bali yang masih jauh dibawah nasional dengan pertumbuhan sekitar 6% dibandingkan nasional yang 9-10 persen. Konsumsi masyarakat hanya sekitar 4% dan belum pulih. “Secara konsumsi, Bali masih memerlukan perhatian khusus, jangan sampai menjadi beban fixed cost, meskipun pertumbuhan sudah 5,71 persen,”pungkas Wahyu.

Berdasarkan diskusi alot tersebut, dua indikator makro pembangunan Bali, yakni angka kemiskinan yang semula target antara 2,23-2,73 persen pada tahun 2025 dan laju pertumbuhan ekonomi yang semula ditarget pada kisaran 6,68-6,83 oleh Bappenas, direvisi menjadi 3,57-3,93 persen untuk angka kemiskinan dan kisaran 5,5-6,5 persen untuk laju pertumbuhan ekonomi, untuk dibahas lebih lanjut.

Desk indikator makro pembangunan ini membahas 31 indikator. Ke-31 indikator makro tersebut adalah: (1) Indeks Ketimpangan Gender; (2) Pembentukan Modal Tetap Bruto; (3) Koefisien Variasi Harga Antar Wilayah Tingkat Provinsi; (4) Ekspor Barang dan Jasa; (5) Indeks Pembangunan Teknologi Informasi dan Komunikasi; (6) Konsumsi Listrik Per Kapita; (7) Indonesia Blue Economy Indeks; (8) Kontribusi PDB Industri Pengolahan; (9) Rasio PDRB Penyedia Akomodasi Makan dan Minum; (10) Jumlah Tamu Wisatawan Mancanegara (Hotel Berbintang); (11) Proporsi PDB Ekonomi Kreatif; (12) Indeks Reformasi Hukum; (13) Indeks Integritas Nasional; (14) Indeks Demokrasi Indonesia; (15) PDRB per Kapita; (16) Tingkat Kemiskinan; (17) Rasio Gini; (18) Cakupan Kepesertaan Jamsostek Provinsi; (19) Persentase Penyandang Disabilitas Bekerja diSektor Formal; (20) Kontribusi PDRB Provinsi; (21) Indeks Modal Manusia; (22) Penurunan Intensitas Emisi Gas Rumah Kaca; (23) Laju Pertumbuhan Ekonomi; (24) Tingkat Pengangguran Terbuka; (25) Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja; (26) Indeks Pelayanan Publik; (27) Indeks Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik; (28) Rasio Pajak Daerah terhadap PDRB; (29) Tingkat Inflasi; (30) Prevalensi Ketidakcukupan Konsumsi Pangan; dan (31) Indeks Pembangunan Kualitas Keluarga. (MBP/r)

See also  Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Provinsi Bali, Serahkan Hadiah Lomba

 

redaksi

Related post