Daya Beli Turun, Ekonomi Jadi Lesu

Oleh Prof. Dr. Ida Bagus Raka Suardana, S.E.,M.M.
Tahun 2025 ini menandai periode yang unik bagi Indonesia dengan berdekatan jatuhnya dua hari raya besar, yaitu Hari Raya Nyepi pada 29 Maret dan Idul Fitri pada 31 Maret. Secara tradisional, perayaan keagamaan semacam ini diharapkan dapat mendorong aktivitas ekonomi melalui peningkatan konsumsi dan mobilitas masyarakat. Namun, realitas yang terjadi menunjukkan bahwa geliat ekonomi selama periode ini tidak sekuat yang diharapkan.
Salah satu faktor utama yang mempengaruhi lesunya aktivitas ekonomi adalah penurunan daya beli masyarakat. Daya beli dipengaruhi oleh tingkat pendapatan, inflasi, harga barang, serta kebijakan ekonomi yang diterapkan oleh pemerintah. Ketika pendapatan meningkat dan harga barang stabil, daya beli cenderung menguat, mendorong pertumbuhan ekonomi melalui konsumsi yang tinggi. Sebaliknya, jika harga kebutuhan pokok naik sementara pendapatan stagnan atau menurun, daya beli melemah dan masyarakat lebih berhati-hati dalam membelanjakan uangnya. Inflasi yang tinggi sering kali menjadi penyebab utama melemahnya daya beli, karena kenaikan harga barang tidak sebanding dengan kenaikan upah.
Kebijakan Moneter
Selain itu, kebijakan moneter seperti suku bunga juga berpengaruh, karena kredit yang mahal dapat menghambat konsumsi dan investasi. Kondisi daya beli yang kuat mencerminkan ekonomi yang sehat, di mana masyarakat mampu memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa tekanan finansial yang berlebihan. Sebaliknya, daya beli yang melemah dapat berdampak pada penurunan konsumsi, perlambatan ekonomi, serta meningkatnya ketidakpastian di sektor bisnis. Oleh karena itu, stabilitas daya beli menjadi faktor penting dalam menjaga pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Berdasarkan data yang terpublish, daya beli masyarakat pada bulan Maret 2025 mengalami penurunan yang cukup signifikan. Kebijakan efisiensi anggaran yang diterapkan pemerintah menyebabkan berkurangnya belanja negara, yang berdampak pada rendahnya peredaran uang di masyarakat. Harga kebutuhan pokok seperti beras, minyak goreng, dan gula mengalami kenaikan, sementara pendapatan masyarakat tidak mengalami peningkatan yang sepadan.
Menurut proyeksi beberapa lembaga riset, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2025 diperkirakan mencapai 5,1 persen, sedikit lebih rendah dari target BI sebesar 5,2 persen, atau sangat jauh dari yang diharapkan Presiden sebesar 8 persen. Kondisi ini mencerminkan tantangan ekonomi domestik yang dihadapi, termasuk ketimpangan ekonomi dan tingkat pengangguran yang masih tinggi, yang pada akhirnya mempengaruhi daya beli masyarakat. Meskipun pemerintah telah menetapkan cuti bersama yang cukup panjang, yaitu dari 28 Maret hingga 7 April 2025, banyak masyarakat yang memilih untuk tidak memanfaatkan liburan ini untuk bepergian atau berbelanja secara signifikan. Hal ini disebabkan oleh kekhawatiran akan kondisi ekonomi yang tidak menentu, sehingga masyarakat cenderung lebih fokus pada penghematan dan pengelolaan keuangan yang lebih ketat.
Di Bali, yang biasanya mengalami peningkatan konsumsi menjelang Hari Raya, situasi serupa juga terjadi. Meskipun BI Bali mengakui potensi pertumbuhan konsumsi selama periode ini, realisasi di lapangan menunjukkan bahwa pertumbuhan tersebut tidak sekuat tahun-tahun sebelumnya. Hal ini mengindikasikan bahwa meskipun ada dorongan dari perayaan keagamaan, faktor-faktor ekonomi makro tetap memainkan peran penting dalam menentukan tingkat konsumsi masyarakat.
Penyebab dari penurunan daya beli, berupa kehati-hatian dalam pengeluaran, dan fokus pada aspek non-ekonomi selama perayaan keagamaan, menyebabkan geliat ekonomi yang biasanya menyertai hari raya menjadi tidak sekuat yang diharapkan pada tahun 2025 ini. Situasi ini menegaskan pentingnya kebijakan ekonomi yang dapat meningkatkan kepercayaan dan daya beli masyarakat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih stabil dan berkelanjutan. (*)
Penulis, Dekan Fakultas Ekonomi & Bisnis (FEB) Undiknas