FIB Unud Gelar SNBSB 2025, Hilmar Farid: Humaniora Bawa Manusia pada Kemanusiaan

SEMINAR – FIB Unud melaksanakan Seminar Nasional Bahasa, Sastra, dan Budaya 2025 secara hybrid dari Aula Widyasabha Mandala FIB Unud Jumat 12 September 2025.
DENPASAR – baliprawara.com
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana (FIB Unud) melaksanakan Seminar Nasional Bahasa, Sastra, dan Budaya (SNBSB) 2025 secara hybrid dari Aula Widyasabha Mandala FIB Unud Denpasar, Jumat 12 September 2025. Seminar bertema “Bahasa, Sastra, dan Budaya dalam Perspektif Humaniora Digital” tersebut membincangkan isu-isu humaniora dalam dunia digital.
Seminar nasional tahunan tersebut menghadirkan narasumber kunci, Hilmar Farid, Ph.D. Sementara itu, narasumber utama terdiri dari tiga orang pakar dari bidang bahasa, sastra, dan budaya. Mereka adalah Gede Primahadi Wijaya Rajeg, Ph.D. (pakar linguistik), Dr. I Putu Ari Suprapta Pratama, S.S., M.Hum. (pakar sastra), dan Dr. Ni Ketut Puji Astiti Laksmi, S.S., M.Si. (pakar epigrafi). Selain itu, panitia juga menerima 53 makalah yang membicarakan tentang isu-isu termutakhir seputar bahasa, sastra, dan budaya.
Ketua Panitia, I Ketut Eriadi Ariana, S.S., M.Hum., mengatakan humaniora digital sebagai isu yang sangat penting dalam wacana kajian kebudayaan dewasa ini. Dunia digital adalah keniscayaan yang beririsan langsung dengan studi-studi terkini tentang kebudayaan, baik sebagai alat maupun objek studi kebudayaan.
“Kegiatan ini adalah salah satu bentuk kontribusi FIB Unud dalam pemajuan kebudayaan nasional berbasis digital melalui kajian-kajian akademis, yang tidak menutup kemungkinan dimuarakan dalam bentuk produk maupun pengabdian masyarakat di kemudian hari,” katanya.
Ia mengatakan, Undang-undang No. 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan telah mengamanatkan upaya kolektif dalam memajukan kebudayaan nasional. “Satu yang dapat dilakukan adalah dengan memanfaatkan teknologi digital, baik dalam upaya pelindungan, pemanfaatan, dan pemajuan kebudayaan nasional, sehingga kebudayaan dapat menjadi haluan pembangunan nasional seutuhnya,” katanya.
Dekan FIB Unud, Prof. I Nyoman Aryawibawa, S.S., M.A., Ph.D, mengatakan SNBSB 2025 dilaksanakan dalam rangka Hari Ulang Tahun (HUT) ke-67 dan Badan Kekeluargaan (BK) ke-44 FIB Unud. Wacana humaniora digital yang diangkat dinilai sangat penting dalam menyikapi dinamika kajian sosial-humaniora saat ini. “Kegiatan ini sangat penting dan relevan dalam pengembangan digital humanities FIB Unud yang dimulai tahun ini,” katanya.
Lebih lanjut dikatakan bahwa secara khusus SNBSB 2025 dihadirkan untuk memfasilitasi publikasi dosen-dosen, khususnya di lingkungan FIB Unud, untuk capaian IKU di bidang publikasi karya ilmiah. Secara praktis, kegiatan dilaksanakan sebagai laku nyata dalam merealisasikan cita-cita pendirian Fakultas Ilmu Budaya yang diresmikan tahun 1958 sebagai Fakultas Sastra Udayana.
“SNBSB 2025 adalah upaya kami merealisasikan cita-cita atau kata-kata wasiat para pendiri Fakultas Sastra Udayana atau FIB Unud saat ini, yang mengamanatkan insan-insan akademis FIB Unud sebagai ‘kunci wasiat’ untuk membuka secara ilmiah kebudayaan Bali,” tandasnya.
Kembali ke Akar Humaniora
Sejarawan, Hilmar Farid, dalam SNBSB 2025 mengatakan humaniora merupakan kunci penting dalam menjawab tantangan dunia saat ini. Menurut sejarahnya, humaniora lahir di abad pertengahan sebagai jalan bagaimana memahami manusia dan kemanusiaan. Oleh karena itu, humaniora dinilai bisa membawa manusia “kembali ke akar”.
“Refleksi terhadap banjir yang terjadi di Bali saat ini saya kira bukan kebetulan hanya cuaca, tetapi karena perubahan iklim yang telah berjalan selama 50 tahun. Krisis iklim adalah ulah manusia, oleh prilaku manusia. Oleh karena itu, Bali harus kembali ke akar, dan humaniora bisa membawa ke arah itu,” katanya.
Dalam hal tersebut ia menekankan bahwa humaniora juga harus kembali ke akar, dengan mempelajari manusia ke sejarah masa lalu untuk memahami manusia. Jawabannya tidak bisa hanya menekankan satu disiplin ilmu, tetapi bagaimana penerapan multidisiplin sebagai esensi awal humaniora.
“Pada masa ini muncul krisis dan risiko yang nyata. Ancamannya real, jawaban tidak bisa hanya menekankan satu disiplin ilmu saja. Kita perlu resourcer kebudayaan masa lalu. Ini ada di dalam humaniora,” tegasnya.
Terkait dengan humaniora digital, Direktur Jenderal Kebudayaan 2015-2024, mengatakan humaniora digital memiliki definisi ganda. Pada satu sisi humaniora digital adalah bagaimana menggunakan alat digital pada studi kasik, sementara pada sisi lainnya juga merupakan studi kritis atas budaya digital seperti algoritma, arsitektur data, dan media sosial.
“Humaniora digital bukan soal menyelamatkan teks atau artefak, tetapi menyelamatkan makna, terutama ketika hidup diguncang krisis,” katanya.
Ia menambahkan, humaniora digital juga menjembatani warisan dengan kebijakan, budaya dengan data, dan ilmu dengan tindakan. “Dalam konteks Indonesia adalah menjahit kearifan lokal ke dalam jaringan pengetahuan global,” tandasnya. (MBP2)