Film “Roots” Sarat Edukasi dan Refleksi tentang Bali, Jango: Jangan Mengutuk Kegelapan, Mari Nyalakan Lilin
FILM – Suasana usai pemutaran Film Roots di Jango Creative House, Minggu (2/11/2025).
DENPASAR – baliprawara.com
Jango Creative House di Jalan Veteran Gang IV No. 3 Denpasar ramai dikunjungi orang dari berbagai kalangan, Minggu (2/11/2025) malam. Mereka datang dengan satu tujuan— menonton film “Roots” karya Michael Schindhelm, seorang penulis, pembuat film dan kurator ternama keturunan Swiss-Jerman, tinggal di Ticino, Swiss.
Selain Michael Schindhelm, hadir Made Bayak, seniman yang terlibat banyak dalam pembuatan film Roots, dan kurator seni Yudha Bantono.
Hadir pula sejumlah awak media, seniman, budayawan, perupa, pelaku pariwisata, dan sebagainya. Mereka disambut hangat sang pemilik rumah, Jango Pramartha, seniman karikatur yang namanya telah mendunia.
Setelah saling sapa, mereka kemudian serius menonton film Roots yang berdurasi sekitar dua jam itu. Di tengah suasana hening menonton film, ada yang berbisik, “Film ini bagus, terutama otokritik tentang kondisi Bali kini. Jauh berbeda dengan kondisi Bali 100 tahun lalu ketika seniman Walter Spase pertama kali menginjakkan kaki di Bali”.
Ya, memang film Roots ini bercerita tentang kisah 100 tahun Walter Spase, seniman Jerman, untuk pertama kalinya berkunjung ke Bali.
Ketika Walter Spies datang pertama kali, Bali betul-betul Pulau Surga. Lingkungan bersih, air sungai jernih tanpa limbah dan sampah plastik. Kondisi yang demikian tentu sangat berbeda dengan Bali kini.
Dalam film Roots ini ada pesan mendalam yang mengajak kita untuk melakukan introspeksi dan repleksi tentang Bali kini.
Pemutaran film Roots ini sungguh menarik. Di ujung acara, ada sesi diskusi mengupas Roots, film yang dinilai sarat pesan dan otokritik tentang Bali. Berbagai kritik dan masukan terlontar, khususnya terkait kondisi Bali saat ini, seperti kemacetan, masalah sampah dan dampak pariwisata lainnya. Bahkan ada penonton film yang menyebut wajah Bali kini sudah bopeng dan tak punya masa depan cemerlang lagi.
Tapi, kondisi itu tak boleh dibiarkan makin parah. Masing-masing individu mesti berbuat untuk masa depan Bali lebih baik. Harus ada aksi nyata menyelamatkan alam dan budaya Bali.
”Jangan mengutuk kegelapan, mari kita nyalakan lilin. Harapan itu tetap ada, jikalau kita berbuat,” kata Jango Pramartha, pemilik Jango Creative House.
Kurator seni, yang juga Project Manager Pameran Roots di ARMA Museum, Mei 2025 lalu, Yudha Bantono menyampaikan, film Roots telah diputar di beberapa tempat di Bali dan mendapat apresiasi yang sangat bagus dari berbagai kalangan. Roots sebagai film dokumenter fiksi menuturkan kisah yang belum terungkap secara sinematik tentang Bali, kebangkitannya menjadi Eldorado pariwisata global, dan upaya gigih masyarakatnya untuk melestarikan identitas budaya mereka di tengah gempuran globalisasi.
Seratus tahun yang lalu setelah pelukis Walter Spies mengunjungi Bali untuk pertama kalinya menjadi pembuka melihat realita Bali setelahnya. Dalam film ini “arwah” Walter Spies kembali bangkit ke pulau ini. Kemudian menghubungkan Spies yang pada kenyataannya membawa pariwisata dan modernitas ke Pulau Bali, menjadi pertanyaan penting apa yang telah terjadi di Bali. Michael dengan pendekatan yang sangat dalam, memotret kembali realita yang terjadi itu. Melibatkan lebih dari seratus pendukung dari seniman multi genre, benar-benar mampu mengangkat realita yang ingin ditunjukkan pada publik secara luas.

Melihat Masa
Depan Bali
Jango Pramartha dari Jango Creative House dan Bog Bog memandang film Roots bukan hanya sebuah kritik bagi Bali dan perkembangannya, namun juga bagaimana melihat masa depan Bali. Jango juga menilai melihat Bali di zaman yang serba terbuka di media sosial, seolah kita disuguhi masalah yang terus ada di setiap waktu. “Film Roots adalah sarana bagaimana membangun ingatan secara kolektif dari apa yang terjadi untuk melihat dan berbuat yang terbaik di masa depan”, tambahnya.
Kata Jango, Denpasar telah memiliki sejarah panjang dalam perkembangan pariwisata di Bali, bahkan Bali Hotel sebagai sarana pariwisata terlengkap dan termewah di zamannya, hadir menjadi penanda bagaimana kota ini menjadi episentrum penting dalam perkembangan budaya. “Melalui pemutaran film Roots karya Michael Schindhelm catatan itu telah dihadirkan kembali. Jango Creative Hause berharap kegiatan dan ruang-ruang dialog budaya seperti ini dapat menstimulasi gerakan-gerakan budaya yang mewakili bahkan mengikuti gerak lintas generasi yang ada”, kata Jango.
Yudha Bantono menambahkan, Michael Schindhelm dalam lawatannya ke Bali kali ini juga menyempatkan waktu untuk memutar dua filmnya yaitu The Chinese lives of Uli Sigg dan In the Mood of Art di Universitas Warmadewa Denpasar. Pemutaran kedua film ini diprakarsai oleh Popo Danes Architect, bekerjasama dengan Kecunduk Institute dan Jimbaran Hijau.
Michael Schindhelm juga mengunjungi kawasan Jimbaran Hub sebagai pusat laboratorium kebudayaan baru di daerah Bali selatan, serta bertemu dengan para seniman Bali untuk berdiskusi dan berdialog serta berbagi pengalamannya tentang proyek seninya “After the Deluge” yang membayangkan tenggelamnya kota Basel Swiss untuk mengajak audience menyumbangkan gagasan dalam menyelamatkan kotanya.

Dr. Putu Agung Prianta dari Jimbaran Hijau Foundation, salah seorang yang juga menginisiasi mendatangkan Michael Schindhelm dalam proyek seni masa depan, memandang sangat penting dan berterimakasih banyak atas kehadiran Michael Schindhelm untuk berbagi pengetahuan, timbang rasa, serta membangun networking dalam menempatkan seni, arsitektur, desain serta berbagai gerakan-gerakan penyelamatan dan kepedulian Bali bagi masa depan.
Karya Spase
Sebagai Model
Sementara itu Michael Schindhelm mengatakan, seratus tahun yang lalu, Walter Spies mengunjungi Bali untuk pertama kalinya. Tak lama kemudian Bali menjadi rumah barunya hingga ia meninggal pada tahun 1942 saat usianya 47 tahun.
Spies telah berteman dengan banyak seniman penting di Jerman. Ia pernah mengadakan pameran di Berlin dan Amsterdam, dan terlibat dalam pembuatan film horor pertama di dunia yaitu Nosferatu. Kenyataannya, ia hampir terlupakan dalam sejarah seni Barat.
Namun, di Bali, banyak orang masih mengingatnya hingga saat ini. Para seniman menjadikan gaya realisme magisnya sebagai model. Sebagai penari dan koreografer Spies berperan dalam pengembangan tari lokal yang mungkin paling populer yakni Kecak. Para kolektor dan pemilik galeri menghormati dirinya atas inisiatif terbentuknya Pita Maha.
Walter Spies cukup terkenal selama hidupnya, Charlie Chaplin mengunjunginya di daerah tropis, seperti halnya Barbara Hutton, seorang wanita terkaya di Amerika saat itu. Penulis Vicky Baum tinggal bersamanya, dan antropolog Margaret Mead dapat melanjutkan studinya di pulau itu bersama suaminya Gregory Bateson juga berkat bantuan Spies.
Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa Spies juga terlibat dalam proyek pariwisata pertama di Bali pada tahun 1920-an dan 1930-an. Seperti kemudian, di banyak bagian belahan dunia, warisan budaya lokal dihadirkan sebagai daya tarik bagi para pelancong dari negeri-negeri jauh. Selama krisis ekonomi global, ketika koloni-koloni Hindia Belanda juga mengalami kesulitan, pariwisata ditemukan sebagai sumber pendapatan baru. Saat ini, Bali menjadi penerima manfaat sekaligus korban dari pariwisata massal global.
Ketika mulai meneliti Spies tentang Bali sekitar enam tahun lalu, Michael menyadari membutuhkan bantuan seniman Bali untuk memahami dan menceritakan kisah tersebut. Berkat saran dan dukungan Horst Jordt di Jerman, ia pertama kali bertemu dengan Agung Rai, yang mengetahui Walter Spies Society di Bali. Agung Rai memperkenalkan dan memfasilitasi dengan jaringan orang-orang yang berkecimpung di sektor budaya di Ubud dan tempat-tempat lain di Bali.
Film Roots ini mulai dibuat tahun 2017, kemudian karena pandemi covid-19, film ini baru bisa diliris 2023. “Film Roots sudah ditayangkan di sejumlah negara. Selain di Bali, film ini nantinya akan dibawa napak tilas ke Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Surabaya, ” imbuh Yudha Bantono. (MBP2)