“Giant Octopus” Karya Seniman Putrayasa : Satire Simbolik dari Gurita Berkepala Sembilan Itu makin Nyata

Patung instalasi “Giant Octopus” karya seniman Ketut Putrayasa tahun 2019 di Pantai Berawa.
BADUNG – baliprawara.com
Lima tahun telah berlalu sejak instalasi seni “Giant Octopus” atau Gurita Raksasa karya seniman I Ketut Putrayasa dipajang di pesisir Pantai Berawa pada Mei 2019. Kala itu, banyak yang menganggapnya sekadar karya dekoratif untuk memeriahkan Berawa Beach Arts Festival II. Namun, hari ini, di tengah masifnya pembangunan hotel dan vila yang tak terhenti, pesan simbolik dari gurita berkepala sembilan itu terasa semakin menjadi kenyataan yang menakutkan: Bali sedang dicengkeram oleh kekuatan modal yang menggurita dan dugaan praktik alih fungsi lahan yang “gila-gilaan.”
Satire Simbolik
Putrayasa, sang penggagas, telah meletakkan sebuah alarm yang jelas bagi para penentu kebijakan. Instalasi Giant Octopus yang cerdas—merefleksikan biota laut tercerdas dengan sembilan otak—adalah metafora visual. Ia bukan sekadar hiasan, melainkan satire simbolik tentang bagaimana kepentingan kapitalis yang masif dan terstruktur rapi (menggurita) mulai mencengkeram Bali, terutama dari kawasan pesisirnya.
Pantai Berawa, yang kini nyaris rapat dikepung infrastruktur turistik, menjadi simpul kecil dari fenomena yang lebih besar. Perkembangan industri pariwisata yang pesat di Kuta Utara, khususnya Berawa dan Canggu, telah memicu laju alih fungsi lahan pertanian yang drastis.
Data terbaru di Kabupaten Badung menunjukkan bahwa laju alih fungsi lahan semakin mencemaskan. Tercatat, luasan alih fungsi lahan mencapai ratusan hektar dalam beberapa tahun terakhir, dengan laporan adanya lonjakan drastis. Peningkatan ini berjalan beriringan dengan tingginya Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor pajak, menciptakan sebuah dilema klasik antara pundi-pundi daerah vs kelestarian lingkungan dan kedaulatan pangan.
Cengkeraman gurita ini tidak hanya terlihat dari beton dan baja yang menggantikan sawah subak, tetapi juga dari laporan adanya pembangunan yang mengabaikan regulasi. Di wilayah Berawa/Canggu, aparat telah menemukan bangunan yang didirikan terindikasi tanpa memiliki kelengkapan dokumen legalitas seperti Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Sertifikat Standar OSS, bahkan izin lingkungan seperti AMDAL.
Ketiadaan izin ini mengindikasikan bahwa kekuatan modal telah beroperasi dengan impunitas, menembus batas-batas hukum.
Dampak dari alih fungsi lahan yang tak terkendali ini sudah mulai dirasakan masyarakat Badung. Konversi lahan yang masif telah mengurangi area resapan air, yang pada akhirnya berkontribusi pada bencana banjir bandang di beberapa wilayah Badung dan Denpasar.
Pesisir Bali, yang seharusnya menjadi sumber kekuatan Blue Culture (nilai budaya bahari), Blue Economic (ekonomi kelautan), dan Blue Spirit (spiritualitas laut), kini seolah tak berdaya menghadapi tentakel-tentakel kapitalis.
Hari ini, patung Giant Octopus mungkin telah menghilang dari pantai. Namun, pertanyaannya tetap menggema: Apakah Gurita Raksasa itu masih ada di Pulau Dewata? Atau, seperti yang diungkapkan sang seniman, ia telah menjelma menjadi entitas lain, lebih licik, lebih masif, dan terus melahap Bali dari dalam.
Pesan moral dari karya seni ini harusnya menjadi dorongan bagi aparat penegak hukum dan penentu kebijakan untuk menanggalkan kepentingan sesaat, mengusut tuntas dugaan praktik curang dalam alih fungsi lahan, dan memprioritaskan keberlanjutan Pulau Bali di atas keuntungan para pemodal.(MBP2/r)