Gung Ama : Tangkap Jati Diri Lewat Afgan Kamera
DENPASAR – baliprawara.com
Afgan Box Camera mungkin asing bagi kita, tetapi bagi pecinta fotografi, benda ini adalah sejarah. Kamera berbentuk kotak kayu besar ini, sebelum ada kamera digital seperti sekarang adalah rajanya. Lahir di Afganistan sesuai dengan namanya di tahun 1950an, kamera ini menggunakan proses fotografi dasar yang diperkenalkan Henry Fox Talbot pada tahun 1840-an.
Didalam kotak kayu ini terdapat kamera dan ruangan gelap menjadi satu, tidak membutuhkan listrik tetapi menggunakan sinar matahari alami untuk mengekspos kertas gelatin perak di dalamnya. Subjek duduk diam di kursi di depan tirai hitam, sementara proses foto berlangsung lumayan lama.
Di Bali sendiri ada satu Afgan Box Camera yang aktif digunakan oleh fotografer muda Bali yang bernama I Gusti Agung Wijaya Utama atau yang akrab disapa Gung Ama. Di dunia fotografi Bali nama Gung Ama sudah tidak asing lagi. Gung Ama serius menekuni konsep Old Photografi dengan nama Rekonstruksi Bali 1930 dengan slogan “Makenyem Sube Biasa”.
“Afgan Box Camera ini merupakan satu – satunya di Bali, kalau di Indonesia saya kurang tau. Afgan ini dulu adalah kamera yang dipakai oleh fotografer jalanan di negaranya,” kata Gung Ama.
Ia tertarik dengan Afgan kamera ini karena memiliki teknologi kuno dan hasil fotonya berbentuk fisik bukan file seperti kamera digital. “Saya bisa bersentuhan dengan fisiknya langsung. Dari negatifnya ada proses menjadi sebuah foto. Nah proses ini yang saya sangat nikmati dan old fotografi ini membuat saya melatih rasa saya dalam photografi,” terangnya.
Ia menambahkan, dengan Afgan ia memotret dengan pelan, memikirkan segala aspeknya, memikirkan pencahayaan, memikirkan pose model. “Berkomunikasi dengan objek itu sangat melatih rasa dalam motret ini sangat – sangat menyenangkan bagi saya, ini seperti terapi bagi saya dalam dunia photografi. Cukup menarik, saya banyak belajar dan masih tetap berproses bersama Afgan kamera ini. Ini juga sebagai salah satu bentuk keseriusan saya dalam project Rekonstruksi Bali 1930,” ujarnya.
Gung Ama menambahkan, ia tertarik dengan foto Bali tahun 1930 karena menurutnya tahun 1930 merupakan tahun spesial. Karena tahun ini menurutnya adalah awal Bali dieksploitasi secara pariwisata. Karena di tahun ini Gung Ama melihat semua foto-foto sudah terkonsep, seperti foto wanita bertelanjang dada, Raja-raja dengan para punggawa berkostum megah, penari, dan anak-anak. “Foto tahun 1930 adalah keseriusan pemerintah kolonial Belanda untuk menjual Bali. Tahun inilah Bali secara resmi masuk ke industri pariwisata,” jelas Gung Ama.
Sayangnya pariwisata Bali berkembang terlalu pesat, sehingga banyak korban dari sisi sosial dan lingkungan. Dengan Rekonstruksi Bali 1930 Gung Ama berharap bisa menangkap aset asli Bali, yaitu kepercayaan diri sebagai Nak Bali melalui foto portrait dengan Afgan Kamera. Karena foto portrait adalah foto yang paling jujur, karena menampilkan wajah seutuhnya tanpa senyum yang dibuat – buat.
Menarik juga jika kita difoto dengan kamera bersejarah ini. Bagi yang ingin difoto dengan Afgan Kamera bisa menghubungi Gung Ama di IG @gungama_gama. (MBP)