Imigrasi Perketat Pengawasan Penyalahgunaan Izin Tinggal
MANGUPURA – baliprawara.com
Pulau Bali kembali menunjukkan geliat pariwisatanya melalui peningkatan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara sepanjang tahun 2025. Hingga September 2025, tercatat total 5.297.869 orang asing masuk ke Bali melalui berbagai pintu kedatangan internasional. Angka tersebut membuat banyak pihak meyakini bahwa jumlah kunjungan dapat menembus angka 7 juta wisatawan di akhir tahun.
Peningkatan kunjungan ini membawa angin segar bagi sektor pariwisata dan perekonomian lokal. Pelaku usaha, terutama yang bergerak dalam industri perhotelan, kuliner, dan transportasi, menyatakan bahwa tren kenaikan wisatawan berdampak langsung pada pertumbuhan omzet dan lapangan pekerjaan.
Namun, peningkatan yang besar ini juga menghadirkan sejumlah tantangan yang harus ditangani secara serius oleh pemerintah, khususnya dari sisi pengawasan orang asing.
Di lapangan, aparat menemukan beragam permasalahan yang muncul bersamaan dengan pertumbuhan arus kunjungan. Tantangan tersebut meliputi penyalahgunaan izin tinggal, pelanggaran hukum, pelanggaran adat istiadat, hingga persoalan overstay yang semakin sering ditemui.
Plt. Dirjen Imigrasi Yuldi Yusman menjelaskan bahwa kemudahan akses dan fasilitas yang diberikan bagi wisatawan, meski bertujuan mendukung sektor pariwisata, tidak jarang dimanfaatkan pihak tertentu untuk melakukan aktivitas di luar ketentuan izin tinggal mereka.
Yuldi Yusman menyebutkan bahwa terdapat dua kelompok orang asing yang kini berada dalam sorotan utama Imigrasi. Kelompok pertama adalah para Digital Nomads atau Nomaden Digital. “Mereka adalah pekerja asing yang beraktivitas secara daring dari Bali, namun banyak di antaranya memasuki Indonesia menggunakan visa turis tanpa izin kerja yang sah,” katanya dalam keterangan tertulisnya, Selasa 2 Desember 2025.
Aparat menemukan sejumlah praktik yang dianggap mengganggu ekosistem ekonomi lokal, seperti menawarkan kelas yoga, jasa pemandu wisata dadakan, hingga berbagai layanan profesional lainnya yang seharusnya dilakukan oleh tenaga kerja lokal. “Aktivitas tersebut menciptakan area abu-abu dalam penegakan hukum karena dilakukan secara tidak terbuka, namun berdampak pada pendapatan masyarakat,” bebernya.
Di kalangan pelaku UMKM, muncul kekhawatiran bahwa praktik semacam ini menggerus potensi pendapatan mereka. Imigrasi menyebut fenomena tersebut sebagai bentuk aktivitas ekonomi yang tidak sesuai ketentuan dan berpotensi masuk ke kategori bisnis predator.
Kelompok kedua yang menjadi perhatian adalah warga asing yang masuk ke Bali akibat eksodus geopolitik terutama dari Rusia dan Ukraina. Konflik berkepanjangan di kedua negara itu membuat Bali menjadi salah satu tujuan relokasi sementara maupun permanen bagi warganya.
Sebagian besar dari mereka datang secara legal dan mematuhi aturan. Meski demikian, lonjakan jumlah pendatang menuntut aparat untuk memperkuat kemampuan analisis risiko, terutama terkait kemungkinan adanya individu dengan status khusus seperti pencari suaka atau pihak yang berkaitan dengan dinamika politik di negara asalnya.
Imigrasi menegaskan bahwa saat ini terdapat tiga bentuk pelanggaran yang paling sering ditemukan di Bali dan dianggap mengancam ketertiban serta kedaulatan hukum.
Pertama, penyalahgunaan visa untuk bekerja. Tidak sedikit warga asing yang masuk menggunakan Visa Kunjungan (VoA/B211) kemudian menjalankan usaha atau mencari penghasilan tanpa memiliki dokumen yang mewajibkan seperti Izin Mempekerjakan Tenaga Asing (IMTA).
Kedua, kasus overstay kronis. Meski telah dikenakan denda sebesar Rp1.000.000 per hari, masih terdapat wisatawan asing yang dengan sengaja melanggar batas izin tinggal. Bagi sebagian warga asing dengan pendapatan tinggi, sanksi tersebut dianggap tidak terlalu membebani sehingga diperlukan strategi pengawasan yang lebih ketat.
Ketiga, pelanggaran norma sosial dan budaya lokal. Imigrasi menerima berbagai laporan terkait perilaku tidak sopan di area suci, tindakan asusila, hingga perilaku lain yang bertentangan dengan nilai budaya Bali. Insiden semacam ini dinilai mengganggu kenyamanan masyarakat dan merusak citra pariwisata budaya.
Selain itu, muncul pula persoalan investasi asing ilegal, terutama melalui skema nominee atau pinjam nama. Praktik ini tidak hanya merugikan warga negara Indonesia, tetapi juga mengindikasikan adanya pelanggaran prinsip kedaulatan ekonomi di daerah.
Untuk merespons berbagai tantangan tersebut, Imigrasi mengembangkan strategi baru bertajuk “Smart Immigration”. Pendekatan ini berfokus pada digitalisasi layanan seperti E-Visa dan e-VoA, serta peningkatan proses pemeriksaan latar belakang warga asing dengan memanfaatkan basis data intelijen. Sistem Autogate dan teknologi biometrik mulai diperluas penggunaannya dan dirancang untuk terintegrasi dengan data kependudukan serta catatan kriminal secara real time.
Langkah tersebut diharapkan dapat meminimalkan peluang penyalahgunaan izin tinggal serta meningkatkan kualitas pengawasan di seluruh pintu masuk dan area wisata Bali. Meski demikian, Yuldi Yusman menegaskan bahwa pemanfaatan teknologi tidak cukup untuk menyelesaikan seluruh kompleksitas masalah.
Ia menyatakan bahwa diperlukan kerja sama strategis dengan perguruan tinggi untuk mendukung kebijakan berbasis riset.
Universitas Udayana dipandang memiliki peran penting sebagai mitra akademik. Kampus, dengan berbagai program studi yang relevan, dapat menyediakan analisis, riset, dan masukan kebijakan berdasarkan kajian ilmiah.
Mahasiswa juga disebut memiliki potensi membantu dalam patroli siber, terutama dalam memantau berbagai platform digital yang sering digunakan oleh nomaden digital dan pelaku usaha asing. Melalui pemantauan tersebut, Imigrasi dapat lebih cepat mendeteksi dugaan bisnis ilegal yang dilakukan tanpa izin.
Di akhir penjelasannya, Yuldi menyampaikan bahwa sinergi ini diharapkan mendorong transformasi Imigrasi Bali dari lembaga yang hanya bersifat defensif menjadi institusi yang cerdas, proaktif, dan beroperasi berdasarkan data serta pengetahuan yang akurat. (MBP)