Indonesia Targetkan Emisi Nol Bersih Pada 2060
JAKARTA – baliprawara.com
Pandemi Covid-19 telah membawa berbagai permasalahan dan kesulitan di berbagai negara di dunia. Meski demikian, pandemi juga memberikan kesempatan untuk melihat kembali kebijakan iklim di dunia. Sejak awal pandemi, topik mengenai keberlanjutan telah hangat dibicarakan di ranah bisnis dan ekonomi.
Untuk itu, ICAEW (The Institute of Chartered Accountants in England and Wales), Kementerian Keuangan Republik Indonesia, dan Universitas Katolik Parahyangan bersama-sama menyelenggarakan konferensi bertajuk “The Indonesia International Conference for Sustainable Finance and Economy”. Konferensi ini diadakan selama dua hari untuk menyoroti perspektif tentang perubahan iklim dan keberlanjutan dari sektor pemerintah, bisnis, kebijakan publik, dan lingkungan.
Konferensi ini juga menandai upaya kolaborasi antara Inggris dan Indonesia, melanjutkan diskusi COP26 di Glasgow yang berakhir pada 13 November lalu. Diskusi dalam konferensi ini menampilkan para pemimpin bisnis dan pakar internasional yang ahli di bidangnya untuk berbagi wawasan, pengalaman, dan praktik terbaik tentang topik terkait keberlanjutan untuk menginspirasi pemangku kepentingan utama di Indonesia. Diskusi panel mencakup topik-topik seperti ‘The Quest for Better ESG Data and Reporting’, ‘Accounting for Nature: Time to Think About a New Type of Capital’, ‘Energy Transition and Green Finance’, dan ‘Race to Net Zero: Financing the Transition’.
Sepanjang konferensi ini, seluruh diskusi dan paparan berfokus pada bagaimana tren konsumen dan investor yang kini semakin menilai bisnis berdasarkan kredensial lingkungan mereka, dan bagaimana para investor saat ini sangat mempertimbangkan aspek Environment, Social, dan Governance (Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola – ESG) dalam membuat keputusan bisnis. Konferensi ini menghasilkan konsensus bahwa pemerintah, akademisi, dan badan otoritas harus memberikan arahan guna membantu organisasi bisnis lainnya untuk dapat beradaptasi dan mendorong perubahan sistemik yang diperlukan. Para pembicara juga sepakat bahwa UN Sustainable Development Goals (SDG) dapat memberikan kerangka kerja untuk mencapai dunia yang lebih baik, lebih adil, dan lebih hijau.
Michael Izza, Chief Executive of ICAEW, memberikan kata sambutan pertama pada konferensi ini mengatakan, pihaknya senang dapat berbicara dengan Anda hari ini, atas nama ICAEW. Kami sangat bangga telah menyelenggarakan konferensi ini bersama Kementerian Keuangan Indonesia dan Universitas Katolik Parahyangan, dan saya ingin mengucapkan terima kasih atas semua kerja keras semua pihak yang bertindak sebagai Co-Organizing Committee dalam konferensi hari ini. “Kami sangat bangga para pakar ahli dari bidang keuangan, bisnis, kebijakan publik, dan sektor lingkungan dapat berpartisipasi. Saya berharap acara dalam dua hari ini akan menjadi katalis untuk menginspirasi kita semua; baik dalam kehidupan profesional dan pribadi kita; untuk melanjutkan dan mempercepat upaya kita bersama menuju masa depan yang lebih berkelanjutan,” ujarnya.
Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani Indrawati mengatakan, konferensi internasional tentang keuangan berkelanjutan ini menurutnya diadakan di waktu yang sangat tepat. Karena para pemimpin dunia baru saja kembali dari UN Climate Change Conference of the Parties atau COP26 yang baru saja diadakan di Glasgow. “Seperti yang kita semua tahu, peristiwa cuaca ekstrem terkait dengan perubahan iklim; termasuk gelombang panas, banjir dan kebakaran hutan; saat ini semakin intensif. Setiap peningkatan suhu global akan menyebabkan peningkatan korban jiwa, mata pencaharian dan kerusakan ekosistem. Satu dekade terakhir adalah yang terpanas dalam catatan sejarah dan pemerintahan dunia setuju bahwa tindakan bersama sangat diperlukan,” katanya.
Lebih lanjut dikatakan, Indonesia memiliki peran penting terkait dengan kebijakan iklim. Saat ini Indonesia telah menetapkan target untuk mencapai emisi nol bersih paling lama tahun 2060, serta target bersyarat untuk menghentikan penggunaan batubara secara bertahap paling lama tahun 2040. Sementara sumber energi campuran masih bergantung pada batubara. “Kami berkomitmen untuk tidak menambah pembangkit listrik tenaga batu bara baru untuk mencapai carbon net sink pada tahun 2030. Hal ini sangat penting karena sektor ini menyumbang 60% dari emisi Indonesia,” tambah Sri Mulyani Indrawati.
Dirinya juga menyebutkan peranan pemerintah Indonesia yang baru-baru ini menetapkan penerapan pajak karbon dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), telah berkomitmen untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang ramah lingkungan yang sejalan dengan UN SDG. Kebijakan tersebut diharapkan dapat mendorong dan meningkatkan implementasi ESG dalam bisnis dan perekonomian Indonesia. Kebijakan ini juga bertujuan untuk mencapai target Nationally Determined Contributions (Kontribusi yang Ditentukan Secara Nasional – NDC) pada tahun 2030, mengurangi 29 persen emisi gas rumah kaca secara mandiri dan 41 persen dengan dukungan internasional.
Mewakili Pemerintah Inggris, HM Economic Secretary to the Treasury of the United Kingdom, John Glen juga mendukung dan berterima kasih kepada ICAEW atas upaya kolaboratif dan penyelenggaraan konferensi bersama antara kedua negara ini, “Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada ICAEW, Kementerian Keuangan Republik Indonesia, dan Universitas Katolik Parahyangan, yang telah menyatukan kita untuk dapat berpikir kreatif tentang bagaimana kita dapat menjawab tantangan dalam bidang keberlanjutan. Acara ini dilakukan hanya berselang dua minggu setelah pertemuan COP26, dan ini memberikan kesempatan yang sempurna bagi kita untuk memikirkan lebih lanjut hasil dari acara tersebut. Jelas bahwa untuk mencapai tujuan bersama kita, maka kemajuan di bidang keuangan, baik publik maupun swasta menjadi sangat penting. Itulah sebabnya kami bersama-sama meluncurkan paket inisiatif yang substansial untuk membuka miliaran pendanaan untuk negara-negara berkembang.Inggris memainkan peran utama dalam menciptakan paket termasuk program senilai lebih dari 3 miliar Pound untuk membantu membiayai tujuan dan kebutuhan iklim negara berkembang dan untuk mendukung transisi ke masa depan yang lebih hijau dan lebih berkelanjutan,” ucapnya.
Mewakili dunia akademis, Mangadar Situmorang, Rektor Universitas Katolik Parahyangan mengatakan, saat ini, para pemimpin dunia terutama yang berada di bawah negara-negara G20 dan organisasi dan lembaga internasional, terus mengambil inisiatif dan berusaha untuk menemukan solusi yang efektif di tingkat nasional, bilateral, trilateral atau multilateral. “Hal ini sangat patut dihargai dan hasil positifnya sangat diharapkan. Dalam konteks inilah konferensi internasional yang digagas dan diselenggarakan oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Institute of Chartered Accountants in England and Wales (ICAEW), dan Universitas Katolik Parahyangan harus dipandang secara setara, relevan, dan signifikan dengan yang dilakukan oleh para pemimpin politik dunia,” ucapnya.
Selain diskusi yang bermanfaat seputar keberlanjutan, ekonomi, dan upaya kolaboratif antara negara dan industri untuk mengatasi tantangan yang akan datang, konferensi ini juga menjadi pembuka Presidensi G20 Indonesia yang akan diselenggarakan pada tahun 2022. Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani Indrawati menambahkan, “Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Indonesia akan menjadi tuan rumah Presidensi G20. Penyerahan estafet G20 Presidensi Indonesia 2022 telah dilakukan melalui konferensi pers bersama di Rome Summit pada 30-31 Oktober 2021 lalu, dari Presidensi 2021 Italia. Ke depan, Indonesia harus memainkan peran penting selama Presidensi G20. Indonesia telah menetapkan tema Presidensi G20: Recover Together, Recover Stronger, mencerminkan harapan dan kesiapan Indonesia untuk berpartisipasi dalam kemitraan global untuk mengatasi dampak pandemi Covid-19 dan sekaligus meningkatkan kepercayaan secara global.
“Mencari pemecahan masalah adalah hal utama yang kami, para akuntan lakukan. Kami adalah profesi yang selalu berusaha menemukan solusi, dan perubahan iklim ini bisa dibilang masalah terbesar yang pernah dihadapi dunia. Dan kita harus bekerja sama, berkolaborasi dengan profesi lain, masyarakat sipil, LSM dan pemerintah untuk memecahkanya. Terima kasih semua telah bergabung hari ini, dan sekali lagi terima kasih kepada mereka yang telah menyelenggarakan dan berkontribusi pada acara penting ini,” tutup Michael Izza. (MBP/r)