Jangan Maklum Dengan Pikun, Kenali Gejala dan Upaya Mengurangi Risiko Demensia
DENPASAR – baliprawara.com
Demensia, atau lebih dikenal dengan istilah Pikun, sering dialami oleh para lanjut usia (lansia). Yang mana, demensia ini biasanya ditunjukkan dengan berbagai gejala penurunan fungsi otak dibandingkan sebelumnya, meliputi gangguan memori, emosi, pengambilan keputusan dan fungsi-fungsi yang lain, bukan semata-mata sering lupa saja.
Menurut dr.Tania Marini Setiadi, M.Biomed (AAM), Research and Science Coordinator Alzheimer Indonesia Chapter Netherlands, dari data yang dirilis Alzheimer Disease International tahun 2015, secara global, setiap 3 detik ada 1 orang terdiagnosa demensia. Sedangkan data di Indonesia tahun 2016, diperkirakan ada 1,2 juta orang dengan demensia dan di tahun 2030, diperkirakan angka itu naik menjadi 1,9 juta orang.
“Memang kalau melihat angka, sangat kecil jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia. Namun jangan salah, demensia bukan hanya menjadi masalah untuk orang yang mengalami demensia, namun efeknya ke keluarga sangat luas sekali. Contohnya, saat orang tua kita mengalami demensia, anak yang akan merawat, dan kalau dia bekerja, seringkali sampai harus kehilangan pekerjaan karena merawat orang dengan demensia harus dilakukan setiap saat,” kata dr. Tania, yang juga Center Manager Hovi Assisted, RS Kasih Ibu, Saba, Gianyar, Selasa 29 Maret 2022.
Menurut dr.Tania, demensia ini penyebabnya banyak, yang paling sering adalah penyakit Alzheimer. Dikatakan dr.Tania, Alzheimer ini menyebabkan kerusakan sel-sel otak yang tidak dapat disembuhkan. “Demensia Alzheimer ini, sayangnya sampai sekarang belum ada obatnya, meski sudah banyak ada penelitian,” ucapnya.
Untuk itulah, saat ini, yang perlu dipahami adalah mengenali apa saja gejala-gejala demensia. Karena semakin dini kita bisa mendeteksi gejala-gejala demensia, tentunya kita dapat melakukan sesuatu supaya bisa memperlambat progresivitasnya, agar tidak bertambah parah dengan cepat.
Selama ini, orang awam seringkali saat bercanda mengatakan kalau orang tua yang mulai lupa itu pikun. Padahal sebenarnya, tidak semua orang tua itu pasti pikun. “Intinya “Jangan Maklum Dengan Pikun”, karena tidak semua orang tua itu mengalami demensia. Ada yang namanya gangguan memori atau lupa yang normal sesuai dengan penurunan usia, dimana saat usia kita makin bertambah kadang-kadang ada gangguan konsentrasi sehingga fokus kita berkurang,” bebernya.
Perbedaan lupa “normal” dibandingkan lupa pada orang dengan demensia atau pikun contohnya, kalau lupa biasa, saat lupa menaruh barang lalu dicoba diingat-ingat, ternyata bisa mengingat kembali. Namun beda dengan demensia, meski dicoba diingat-ingat, tetap saja lupa, bahkan nama barangnya pun mereka lupa. Apabila semakin parah, orang dengan demensia menjadi semakin kebingungan, jadi mudah curiga, suka menuduh orang mencuri barangnya, bahkan ada juga yang mengalami gangguan visuo-spasial misalnya saat jalan, nabrak-nabrak, jatuh atau misalnya saat menuang teh atau membuat sesuatu sering tumpah-tumpah.
Untuk itu, upaya mengurangi risiko demensia jangan hanya dimulai pada saat sudah tua, namun sebaiknya dimulai sejak dini. Hal yang penting dilakukan adalah olahraga, konsumsi nutrisi yang baik, tetap aktif, menjaga gaya hidup sehat. Yang tidak kalah penting adalah aktivitas sosial. “Untuk tetap bisa aktif secara sosial seringkali menjadi masalah untuk orang tua. Meskipun tinggal bersama keluarga, terkadang mereka kurang aktivitas sosial dan merasa kesepian karena mungkin anak-anaknya mempunyai kesibukan masing-masing. Kesepian menjadi salah satu faktor risiko yang besar untuk terjadinya demensia,” jelasnya. Jadi sebenarnya untuk orang tua yang masih ingin beraktivitas, sebisa mungkin kalau memungkinkan jangan dilarang. “Dengan populasi lansia yang semakin besar di dunia maupun di Indonesia sekarang, kita ingin supaya lansia-lansia kita tetap sehat, aktif dan produktif,” harapnya.
Sampai sekarang belum ada yang dapat menjamin 100% kita tidak mengalami demensia. Berbagai penelitian masih berupaya untuk mempelajari berbagai faktor yang dapat menyebabkan kerusakan otak, baik genetik maupun gaya hidup. Tapi setidaknya, dengan gaya hidup yang baik seperti pola makan yang sehat, tidak merokok, olahraga, itu dapat mengurangi faktor risiko terkena demensia sampai 40%.
Setelah terdiagnosa demensia, lansia dan keluarga dapat bergabung dalam komunitas untuk meningkatkan kualitas hidup seperti Alzheimer Indonesia. Ada banyak aktivitas yang dapat membuat lansia ini melatih otaknya kembali, mulai dari senam otak, olahraga, aktivitas melukis, isi TTS, membaca, main musik, dan banyak hal lain yang disenangi. Inilah yang dilakukan di Hovi Assisted sebagai tempat lansia beraktivitas. Selama ini stigma di masyarakat, menitipkan lansia di nursing home adalah “menelantarkan” lansia tidak melakukan aktivitas apa-apa. Namun di Hovi Assisted, ada berbagai aktivitas menyenangkan yang bertujuan untuk merehabilitasi baik fisik, memori, dan sosial. (MBP)