Karya Tawur Agung Mapadanan di Pura Gunung Lebah, Digelar Setiap 10 Tahun Sekali untuk Harmoni Alam Semesta

 Karya Tawur Agung Mapadanan di Pura Gunung Lebah, Digelar Setiap 10 Tahun Sekali untuk Harmoni Alam Semesta

Prosesi Karya Mapadudusan Agung, Mapaselang, Tawur Panca Walikrama Lan Mapadanan, di Pura Gunung Lebah, Jumat 7 Februari 2025.

GIANYAR – baliprawara.com

Bertepatan dengan hari Sukra, Kliwon Watugunung, Jumat 7 Februari 2025, Puri Agung Ubud bersama ratusan krama, mengikuti prosesi Karya Mapadudusan Agung, Mapaselang, Tawur Panca Walikrama Lan Mapadanan, di Pura Parahyangan Jagat Payogan Gunung Lebah Tjampuhan Ubud, Gianyar. Sejak pagi, ratusan krama dari berbagai daerah, memadati area parkir Pura Payogan Agung Gunung Lebah, untuk mengikuti prosesi karya.

Hadir pada kesempatan tersebut, Pj. Gubernur Bali, S.M. Mahendra Jaya, Pangelingsir Puri dari berbagai daerah, dan undangan lainnya. Upacara ini diawali dengan prosesi nedungan Ida Bhatara, dan petapakan Ida Bhatara, Karya Mapadudusan Agung, Mapaselang, Tawur Panca Walikrama Lan Mapadanan ini, dipuput oleh 13 Sulinggih. Upacara ini merupakan upacara yang digelar setiap 10 tahun sekali, dengan sarana berupa 3 ekor kerbau sebagai persembahan.

Pangelingsir Puri Agung Ubud, Prof. Dr. Ir. Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati, M.Si., (Cok Ace) yang juga Pangempon Pura mengatakan, sesuai loka dresta, di Pura ini setiap setahun sekali digelar upacara yang disebut nyatur. Kemudian untuk setiap 5 tahun sekali, digelar upacara paselang dengan sarana upacara satu ekor kerbau.

Sedangkan, setiap 10 tahun sekali, Ida Bhatara katurang tawur agung dengan sarana upacara berupa 3 ekor Kerbau. Sementara untuk setiap 30 tahun sekali, digelar upacara dengan sarana 13 ekor Kerbau.

Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati, M.Si. (kiri) bersama Prof. Dr. Tjokorda Gde Raka Sukawati, S.E., M.M. dan Drs. Tjokorda Gde Putra Sukawati.

Untuk upacara kali ini, merupakan upacara yang digelar setiap 10 tahun sekali, dengan sarana upacara berupa 3 ekor kerbau. “Upacara ini merupakan upacara yang digelar setiap 10 tahun sekali yang disebut tawur agung pedanan, dengan sarana 3 ekor kerbau,” kata Cok Ace saat ditemui usai prosesi.

Lebih lanjut dikatakan, karya yang digelar ini cukup besar. Sebagai pangempon pihaknya banyak dibantu oleh krama Desa Ubud dan krama dari berbagai daerah. Untuk itu, pada kesempatan tersebut, pihaknya menyampaikan terimakasih kepada krama desa yang sudah ngaturang ayah. Ada sebanyak 27 Desa Adat yang terlibat, ada dari Tegalalang, Ubud, ada juga dari Bangli, Klungkung, Batur.

See also  Tips dan Langkah-Langkah Agar Kredit Tidak Bermasalah

“Ada sebanyak 27 Desa Adat yang terlibat dalam upacara kali ini. Dan ada sebanyak 40 tapakan Barong yang tedun pada upacara ini. Sekali lagi, kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak semoga semua masyarakat mendapat kerahayuan kerahajengan,” ucapnya, sembari mengatkaan,untuk rangkaian upacara selanjutnya, puncak karya akan digelar pada tanggal 12 Februari 2025.

Hal senada disampaikan, Prof. Dr. Tjokorda Gde Raka Sukawati, S.E., M.M. Menurutnya, hari ini merupakan rangkaian dari karya padudusan agung tawur panca Wali Krama Pedanan Paselang. Upacara hari ini kata dia memiliki dua makna. Pertama adalah untuk tawur panca wali krama yang memiliki makna dalam konsep bagaimana membangun hubungan harmoni antara alam semesta. Yang kedua adalah pedanan, yang kaitannya adalah manusia.

“Inilah secara substansi upacara yang digelar hari ini. Yang juga sebagai konsep tri hita karana. Konsep keseimbangan keharmonisan membangun kebahagiaan. Mudah-mudahan sesuai harapan bisa mewujudkan kebahagiaan,” harapnya, didampingi Drs. Tjokorda Gde Putra Sukawati.

u

Lebih lanjut dijelaskan, berdirinya Pura Parahyangan Jagat Payogan Gunung Lebah Tjampuhan Ubud, berawal dari perjalanan suci Rsi Markandeya pada tahun 800 an atau abad ke 8, yang mengadakan perjalanan suci dari jawa tengah tepatnya Gunung Dieng. Saat itu Rsi Markandeya datang ke pulau Bali hendak memulai peradaban baru, tanpa melakukan sesuatu upacara untuk memohon izin kepada alam semesta. Sehingga semua pengikutnya yang berjumlah 400an orang saat itu terkena wabah.

Melihat kejadian itu, akhirnya Rsi Markandeya kembali ke Jawa dan mencari petunjuk di Gunung Raung. Disana sang Rsi mendapat petunjuk kalau akan membawa peradaban baru ke Bali, harus melalui upacara yadnya. Atas petunjuk itulah, Rsi kembali ke Bali, yang kemudian dilakukanlah penempatan panca datu di Besakih. Setelah penempatan panca datu tersebut, barulah dimulai melakukan perabasan atau pembukaan hutan. “Setelah dilakukan upacara Yadnya tersebut, tidak terjadi kejadian-kejadian aneh seperti sebelumnya,” katanya.

See also  Pengawasan Pangan Menjelang Nataru oleh BBPOM, Didominasi Temuan Produk Kadaluarsa

Di lokasi gunung lebah ini, terdapat lereng atau bukit kecil yang memanjang dari utara ke selatan. Di sebelah barat dan timur bukit ini, mengalir dua aliran sungai yang jernih yang mengitari bukit, yang disebut Tukad Yeh Wos Lanang dan Tukad Yeh Wos Wadon.

Kedua sungai ini bertemu di selatan Gunung Lebah, yang kemudian pertemuan air sungai tersebut disebut Campuhan. Di Gunung lembah ini kata dia, dulunya tumbuh banyak tanaman obat. Sesuai dengan isi lontar Markandeya Purana, “Wos atau Uos ngaran Usadi, Usadi ngaran Usada, dan Usada ngaran Ubad”. Dari kata “Ubad” inilah kemudian ditranskripsikan menjadi “Ubud”, yang menjadi nama desa di Gianyar. (MBP)

 

redaksi

Related post