Kejarlah Artha untuk Laksanakan Dharma

Ida Pandita Mpu Jaya Brahmananda
TABANAN – baliprawara.com
Ada sesuatu yang menarik dan istimewa dalam acara Rapat Akhir Tahun (RAT) paripurna Koperasi Danakita di Rumah Makan Nami Rasa, Buruan, Tabanan, Selasa (25/2). Dalam RAT ke-18 tahun buku 2024, koperasi beralamat di Desa Apuan, Baturiti, Tabanan yang dinahkodai Drs. I Wayan Sarwa, M.Si. ini, selain mengundang pimpinan instansi terkait, juga menghadirkan Ida Pandita Mpu Jaya Brahmananda sebagai keynote speaker untuk memberikan pencerahan tentang betapa pentingnya artha bagi kehidupan.
Ida Pandita Mpu Jaya Brahmananda yang saat walaka meparab Prof. Dr. Ir. I Gede Pitana, M.Sc. membawakan materi berjudul “Kejarlah Artha untuk Melaksanakan Dharma”. Apa saja itu? Berikut pandangan Ida Pandita Mpu Brahmananda yang juga anggota kehormatan Koperasi Danakita.
Kata Ida Pandita Mpu, di masyarakat banyak ada ungkapan bahwa kita tidak perlu mengejar artha, karena “pipis sing kal bekelang mati”. Mengejar artha seakan menjadi sesuatu yang tabu. Daripada mengejar artha, banyak orang mengatakan bahwa kita harus memfokuskan diri mengejar dharma.
Dalam sikap ini, artha dan dharma diposisikan sebagai sesuatu yang berlawanan atau dikotomis atau diperlawankan.
Namun, pikiran dikotomis ini tidak sepatutnya dianut.
Berpikirlah secara komprehensif, tidak mempertentangkan artha dengan dharma.
Dalam konsep rwa bhineda, tidak diartikan dua hal yang bertentangan, melainkan dua hal yang
berbeda, yang saling melengkapi. Karena itu Ida Pandita Mpu justru mengajak kita mengejar artha, tetapi didasarkan atas dharma dan digunakan untuk melaksanakan dharma.
Lebih lanjut disampaikan, Hindu mengenal empat tujuan hidup yang disebut dengan ajaran Catur Purusa Artha, yaitu Dharma (kebenaran), Artha (kekayaan), Kama (keinginan atau kenikmatan), dan Moksa (kelepasan atau kebahagiaan sejati).
Ibaratkan tangga, Catur Purusa Artha tersebut merupakan urutan dari bawah ke atas, mulai dari dharma, kemudian artha, lalu kama, dan yang paling atas adalah moksa.
Dharma yang berarti kebenaran, tuntunan, atau hukum, harus menjadi landasan dalam mewujudkan tujuan yang di atasnya. Dengan senantiasa tegak menjalankan swadharma di
jalan dharma, maka akan memperoleh kebahagiaan dan selalu berada dalam lindungan Sang Hyang Widhi Wasa.
Dharma adalah perahu yang menyeberangkan kita dari penderitaan menuju pulau kebahagiaan.
“Ikang dharma ngaranya, hetuning mara ring swarga ika, kadi gatining parahu, an
henuning banyaga nentasing tasik.” Yang disebut dengan Dharma adalah jalan mengantarkan seseorang menuju sorga (kebahagiaan), seperti perahu yang digunakan untuk menyeberangi samudra (Sarasamuscaya14).
Dharma juga berarti kewajiban dan kebenaran. Dharma menjadi kunci utama, menjadi landasan dalam melakukan kewajiban menuju kebahagiaan. Artha (kekayaan) adalah sarana yang harus diperoleh dengan cara yang benar, berlandaskan
pada dharma dan digunakan untuk dharma.
Artha yang peroleh dengan cara yang tidak benar, akan sia-sia. Dengan kata lain, artha
(bekal hidup) harus diperoleh dengan berlandaskan dharma. Dengan artha kita bisa
melaksanakan dharma dan memenuhi kama.
Maka, kejarlah artha.
Kama disebutkan sebagai salah satu pintu dari tiga pintu menuju neraka, di samping krodha
dan loba. Namun kama tidak selalu berarti hal-hal yang negatif. Kama justru sangat
penting, karena kama membuat seseorang bergairah dalam hidup, tumbuh, dan berkembang. Kama dapat mengantarkan pada kemuliaan. Bagaimana manusia bisa mengembangkan
keturunan, kalau tidak ada kama? Tujuan hidup tertinggi adalah moksha, yang berarti membebaskan atau melepaskan, yaitu
kebebasan dari samsara. Menurut Sarasamucaya 398, moksa adalah bebasnya pikiran dari
hawa nafsu dan kekotoran.
“Apan ikang manah prasidhaning sangsara, yan karaketan ragadi mala, yapwan nirmala,
tan kakenan wikalpa, ri hilangning ragadi klesa, sira wastuning kamoksan, prasidha ning mentasing bhawarnawa. ”
Sebab pikiranlah sesungguhnya yang membuat sengsara, jika pikiran itu dicemari oleh hawa nafsu dan kekotoran. Sebab apabila pikiran itu suci dan tidak terhinggapi
kekacauan, dengan lenyapnya hawa nafsu dan kemarahan, itulah merupakan hakikat
moksha, berhasilnya menyeberangi lautan kematian.
Jadi moksha bukanlah semata-mata bersatunya Atman dengan Brahman, tetapi bagaimana
kita dapat mengendalikan pikiran dalam segala keadaan. Moksa jangan diartikan hanya setelah meninggal (niskala). Ada moksa di dalam kehidupan (sekala). Moksa di dalam
konteks niskala adalah menyatu dengan Brahman. Dalam konteks sekala atau dunia nyata,
moksa berarti mendapatkan kebahagiaan yang tinggi (jiwan mukti).
Sarasamuscaya menyebutkan bahwa artha dapat dikatakan sebagai bekal atau sarana berupa harta benda atau kekayaan, tetapi juga artha dalam pengertian luas
meliputi kesehatan, pengetahuan, keahlian, kebijaksanaan, sahabat, bahkan kemampuan dalam mengendalikan diri.
Artha bukan sesuatu yang harus ditabukan atau ditolak dengan wacana-wacana munafik.
Bagaimana cara mendapatkan artha, dan bagaimana menggunakan artha, diuraikan dengan
cukup detail dalam Sarasamuccaya mulai Sloka 261 sampai Sloka 271.
Artha sebagai bekal ini harus diperoleh dengan cara yang benar, berlandaskan pada dharma, dan
juga digunakan untuk hal-hal yang sesuai dengan dharma.
Pentingnya artha sangat jelas disebutkan dalam tujuan kita sebagai manusia Hindu, yaitu: “Moksartham Jagadhita ya ca iti Dharma”. Artinya, mencapai kesejahteraan hidup di dunia maupun mencapai kebahagiaan di akhirat dengan berlandaskan dharma. Kita selalu berharap
agar bisa berkehidupan dengan jagadhita.
Contoh simple saja:
Bagaimana kita bisa sembahyang ke Besakih kalau tidak punya artha untuk sewa mobil atau beli bensin?
Bagaimana kita bisa melaksanakan melaksanakan Panca Yadnya kalau tidak punya artha?
Bagaimana bisa membantu orang miskin tanpa memiliki artha?
Maka, kejarlah artha untuk bisa melaksanakan dharma.
Artha harus didapatkan dengan jalan dharma. Sarasamuccaya sloka 12 menyebutkan sbb:
“Yan paramārthanya, yan arthakāma sādhyan, dharma juga lĕkasakĕna rumuhun, niyata
katĕmwaning arthakāma mĕne tanparamārtha wi katemwaning arthakāma dening anasar
sakeng dharma”.
Artinya :
Pada hakikatnya, bila artha dan kama yang ingin didapatkan, hendaknya dharma yang dilakukan lebih dahulu. Tidak perlu ragu, karena artha dan kama itu pasti akan
didapatkan. Apabila Artha dan kama diperoleh dengan cara yang tidak sesuai dengan dharma maka akan tidak berguna.
Lalu, bagaimana menggunakan artha?
Artha hendaklah dibagi tiga (Sarasamuscaya 262). Sadhana ri kasidaning dharma, sebagai sarana untuk melaksanakan dharma, seperti dana punia, pelaksanaan panca yadnya.
Sadhana ri kasidhaning kama, sebagai sarana untuk memenuhi kama atau memenuhi
kebutuhan hidup dan kesenangan, seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, berwisata, hiburan.
Sadhana ri kasidhaning artha, sebagai sarana berinvestasi, melakukan kegiatan usaha dalam
bidang ekonomi, agar artha itu berkembang kembali, atau agar kekayaan yang dimiliki dapat berkembang.
Apa yang kita bagi tiga kalau kita tidak punya artha? Agar ada yang dibagi, maka kejarlah artha.
Dana punia merupakan puncak dari kehidupan beragama dalam zaman kali.
Manawa Dharmasastra menyebutkan: “Tapah para, kerta yuge.
Tretayam jnana mucyate
Dvapare yadnya vaivahur.
Daana mekam kali yuge. (Manawa Dharmasastra I.86)
Artinya: Pada zaman Kerta puncak beragama adalah dengan Tapa.
Pada Zaman Treta dengan Jnyana.
Upacara Yadnya pada zaman Dwapara.
Sedangkan pada zaman Kaliyuga adalah dengan dana punia.
Walaupun artha yang didapatkan dengan cara yang baik, tapi kalau tidak didermakan bisa membawa ke jurang penderitaan. Manawadharmasastra IV. 193 menyebutkan:
triswapye tesu dattam hi widhina apyarjitam dhanam, datur bhawatyan arthaya paratra daturewa ca.
Artinya: Walaupun harta itu diperoleh sesuai dengan dharma tetapi bila tidak didermakan kepada yang layak, akan membawa seseorang terbenam ke kawah neraka (Manawadharmasastra IV. 193).
Pentingnya melakukan dana punia dilukiskan dalam Atharva Veda. III.24.5:
“Hendaknya bekerjalah kamu seperti dengan seratus tanganmu dan mendermakan
hasilnya dengan seribu tanganmu. Bila kamu bekerja dengan kesungguhan dan kejujuran,
hasil yang diproleh akan berlimpah ruah beribu kali. Bagi yang mendermakannya, sesuai
dengan keperluannya, Tuhan akan memberikan anugrah.”
Pertanyaannya, bagaimana kita bisa berdana punia bila kita sendiri tidak punya?
Maka, kejarlah artha untuk bisa berdana punia sebagai jalan dharma.
Tetapi berdana punia juga harus selektif, tidak sekadar memberikan.
Atharva Veda.III.15.6
menyebutkan:
“berdermalah untuk tujuan yang baik dan jadikanlah kekayaanmu bermanfaat. Kekayaan
yang didermakan untuk tujuan luhur tidak pernah hilang. Tuhan memberikan jauh lebih
banyak kepada yang mendermakan kekayaan untuk kebaikan bersama”.
Berdarma haruslah memiliki tujuan yang baik, dengan ketulusan. Inilah yang disebut sebagai satwika dana.
Bagaimana kalau dana punia dilakukan dari hasil korupsi? Apakah dosa bisa hilang apabila hasil
korupsi di-dana-puniakan?
Sarasamuccaya Sloka 264 menyebutkan sbb:
Jika ada orang mencari artha dari tindakan-tindakan adharma dan jahat, lalu ia mendermakannya untuk tujuan-tujuan baik; lebih baik jangan melakukan usaha itu walau dengan tujuan-tujuan mulia; sebab keberadaannya sama saja dengan mencemari sesuatu
yang bersih dengan sesuatu yang kotor.
Jadi, Catur Purusa Artha menjadi landasan moral dalam mewujudkan ajaran agama, yang memadukan secara berkeseimbangan antara dharma, artha, dan kama, serta berusaha mencapai moksha. Tidak boleh ekstrem hanya berfokus pada salah satu dari Catur Purusa Artha. Jika hanya berfokus pada artha, maka hidup akan terasa semu dan tidak bermakna. Jika hanya berfokus pada moksa, maka hidup akan sulit untuk menjalankan dharma. Jika hanya berfokus pada kama, maka sulit mengembangkan artha; dan seterusnya.
“Kesimpulannya, mari kita hidup dalam keseimbangan. Tidak mempertentangkan antara dharma, artha, dan kama. Kejarlah artha. Untuk bisa melaksanakan dharma,” pungkasnya. (MBP2)