Kenaikan PBB P2, Sosialisasi yang Kurang

 Kenaikan PBB P2, Sosialisasi yang Kurang

Prof. IB Raka Suardana

Oleh: Prof. Dr. IB Raka Suardana, S.E.,M.M.
(Guru Besar FEB Undiknas Denpasar)

KENAIKAN Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) belakangan ini menjadi perhatian publik karena dianggap memberatkan sebagian besar masyarakat.
Dasar hukum kenaikan PBB P2 diatur dalam UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menetapkan tarif serta besaran pajak sesuai dengan potensi wilayah masing-masing. Kenaikan tersebut berlandaskan pada penyesuaian nilai jual objek pajak (NJOP) yg terus meningkat seiring perkembangan harga tanah dan properti.

Pemerintah daerah berargumen bahwa penyesuaian tersebut diperlukan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) yang nantinya dapat digunakan dalam pembangunan infrastruktur, pelayanan publik, dan program-program sosial yang langsung menyentuh masyarakat.

Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa kenaikan drastis di sejumlah daerah menimbulkan rasa ketidakadilan, terutama bagi masyarakat menengah ke bawah yang penghasilannya terbatas. Banyak warga mengeluhkan bahwa pajak yang dibayarkan tidak sebanding dangan kemampuan mereka, sehingga dikhawatirkan akan menambah beban hidup.
Di sisi lain, pemerintah daerah berupaya menunjukkan bahwa distribusi pendapatan dari PBB P2 akan diarahkan pada sektor yang benar-benar memberi manfaat, mulai dari perbaikan jalan, fasilitas kesehatan, pendidikan, hingga penyediaan ruang publik. Dangan kata lain, PBB P2 diharapkan menjadi instrumen keadilan fiskal, di mana masyarakat yang memiliki tanah dan bangunan dangan nilai tinggi memberikan kontribusi lebih besar untuk kepentingan bersama.

Kebijakan yang meringankan sebenarnya telah diambil oleh beberapa pemerintah daerah, termasuk sejumlah kabupaten/kota di Bali, misalnya dangan memberikan pengurangan, pembebasan, atau penundaan pembayaran bagi wajib pajak tertentu.

Kategori yang mendapat keringanan biasanya mencakup masyarakat miskin, pensiunan, veteran, atau pemilik tanah warisan yang tidak dimanfaatkan secara komersial, serta lahan-lahan yang memang harus dilindungi seperti sawah dan perkebunan yang produktif dan wajib dilindungi untuk keberlanturan. Hal itu menjadi bentuk kompromi antara kebutuhan meningkatkan pendapatan daerah dan menjaga rasa keadilan sosial.
Dalam konteks ini, pemerintah perlu lebih aktif melakukan sosialisasi agar masyarakat memahami dasar kenaikan PBB P2 dan ke mana hasilnya dialokasikan.

See also  Anomali Pereknomian: Ekonomi Melesu, Tapi Harga-harga Naik

Transparansi pengelolaan dana harus diperkuat agar kepercayaan publik tumbuh. Selain itu, skema keringanan perlu diperluas agar tidak ada warga yang merasa terbebani secara berlebihan.
Masyarakat juga diharapkan lebih sadar bahwa pajak adalah bagian dari tanggungjawab bersama untuk membiayai pembangunan, namun mereka berhak meminta akuntabilitas dari pemerintah agar dana pajak benar-benar digunakan untuk kepentingan publik. Dengan sinergi antara kebijakan yang adil dan partisipasi masyarakat, kenaikan PBB P2 dapat diterima sebagai instrumen pembangunan yang membawa manfaat luas. (*)

Redaksi

Related post