Kerobokan Festival 2025, Dari Tradisi Ngerobok Menuju Panggung Kreativitas Desa Adat
Pemuda Desa Adat Kerobokan, menyiapkan penjor berukuran besar, serangkaian Kerobokan Festival 2025.
MANGUPURA – baliprawara.com
Desa Adat Kerobokan, Kabupaten Badung, kembali menggeliat dengan semangat baru melalui Kerobokan Festival 2025, ajang budaya yang melibatkan 52 banjar se-Desa Adat Kerobokan. Festival ini merupakan transformasi dari tradisi lomba penjor Ngerobok, yang kini dikemas lebih modern dan beridentitas kuat sebagai kebanggaan masyarakat Kerobokan.
Ketua Yowana Desa Adat Kerobokan, I Gede Mahardika, menjelaskan bahwa perubahan nama bukan sekadar kosmetik, tetapi upaya memperkuat citra budaya Kerobokan agar lebih dikenal luas. “Kami ingin setiap kegiatan tradisi membawa nama Desa Adat Kerobokan ke depan, bukan hanya dikenal secara lokal, tapi juga sebagai bagian dari wajah budaya Bali,” ujarnya, Jumat 21 November 2025.
Walau konsep utama lomba masih berfokus pada kreativitas pembuatan penjor, sistem penilaiannya kini diperbarui. Jika dulu terdapat sistem pengurangan poin yang sering memicu perdebatan, kini panitia menggunakan sistem penambahan poin bagi banjar yang menonjolkan potensi lokalnya. “Kami ingin memberikan ruang apresiasi, bukan pembatasan,” tambah Mahardika.
Potensi lokal tersebut mencakup sinergi antara sekaa teruna (pemuda banjar), krama istri yang menggarap sarana upakara, serta pemanfaatan bahan dan tenaga lokal. Panitia bahkan melakukan dua kali sidak untuk memastikan proses pembuatan penjor sesuai aturan. “Antusias masyarakat luar biasa. Banyak penjor tahun ini yang tampil megah dan penuh detail artistik,” tuturnya.
Meski tanpa dukungan dana langsung dari panitia, semangat gotong royong antar banjar tetap tinggi. Setiap kelompok menanggung biaya pembuatan penjor berkisar Rp15 juta hingga Rp 20 juta, melalui kas banjar dan hasil swadaya anggota.
Rangkaian festival dimulai Sabtu 22 November 2025 dengan pemasangan penjor sekaligus penilaian sore hari. Acara puncak digelar Minggu 23 November 2025 di Pura Desa lan Puseh, Desa Adat Kerobokan, bertepatan dengan karya Padudusan Alit, disertai pertunjukan seni dan atraksi tradisi.
Selama acara berlangsung, akses utama menuju pusat Kerobokan akan dialihkan sementara untuk memberi ruang pada aktivitas festival. “Rekayasa lalu lintas sudah jadi hal rutin setiap upacara besar, jadi masyarakat sudah terbiasa,” ujar Mahardika.
Sebagai festival perdana dengan format baru, Mahardika berharap kegiatan ini berkembang menjadi ruang kolaborasi antara tradisi dan modernitas. “Ke depan, kami ingin festival ini tidak hanya menonjolkan budaya, tapi juga jadi ajang kreativitas, musik, pameran, atau lomba lain yang melibatkan generasi muda,” tandasnya. (MBP)