Kremasi: Antara Kebutuhan dan Pelestarian Adat Budaya
Sukarsa
Oleh:Ir. I Wayan Sukarsa, M.M.A.
Adat istiadat merupakan warisan tak benda dilestarikan sampai sekarang. Adat istiadat tumbuh berkembang sejak kehidupan agraris, berpijak pada pola permisif, tenggang rasa, sosial, religius dan kebersamaan, yang telah diwarisi dari generasi ke generasi. Adat istiadat merupakan alkulturisasi budaya, norma agama dan kehidupan dalam masyarakat sesuai zaman dengan memanfaatkan pranata-pranata sosial menjadi cikal bakal pembentukan budaya Bali. Keberadaan budaya yang didasari kenyakinan, falsafah hidup masyarakat Bali, lambat laun beradaptasi, bahkan sulit diubah dengan mudah ke dalam kehidupan zaman globalisasi, memunculkan budaya industri yang identik dengan tanda-tanda zaman kaliyuga– mempengaruhi prilaku masyarakat menjadi komersialisasi, konsumeristik, materialistik, mengutamakan waktu, uang, profesional, mandiri dan individualisme.
Perbedaan fundamental dari kedua mazab ini, dihadapkan pada persaingan ketat dengan intensitas tinggi, dan menjunjung tinggi asas profesional, kerja keras, cermat dan kerja cerdas, kurang sejalan dengan pijakan budaya Bali yang tumbuh dari budaya agraris.
Budaya industri mengubah tatanan kehidupan terutama pada daerah perkotaan, daerah urban dan generasi Gen Z. Mereka dihadapkan pada persaingan ketat dengan intensitas tinggi, sebagian dapat bertahan dan eksis mengikuti gelombang perubahan, dan sebagian lagi terhempas gelombang perubahan, sehingga tersisih dari tata atau pola kehidupan baru.
Salah satu perubahan budaya yang terjadi belakangan ini yakni munculnya tempat pelaksanaan upacara pitra yadnya (ngaben) secara mudah, praktis dan efisien yang dianggap sebagai solusi pada zaman budaya industri, yakni kremasi di krematorium.
Kremasi telah menjadi pilihan bagi beberapa agama dan budaya, termasuk Hindu, dikutip dari situs e-journal.uajy.ac.id.
Ngaben adalah upacara pembakaran jenazah dilakukan oleh umat Hindu di Bali bertujuan untuk mengembalikan unsur Panca Mahabhuta (5 unsur alam) ke asalnya, serta membantu roh menuju ke tempat peristirahatan terakhir atau alam pitra.
Secara fungsi, kremasi memiliki tujuan dan makna yang sama menurut sastra dresta, tetapi pemanfaatan pranata-pranata budaya yang berpijak pada dresta tidak dijalankan sesuai dengan adat dan budaya, sehingga menimbulkan polemik atau kontroversi di masyarakat dan desa adat, utamanya pada lintas generasi antara kelompok illiterate dan kelompok intelektual yang berpikir berdasarkan logika objektif yang dipengaruhi budaya industri.
Ada kelompok yang menganggap kremasi sebagai inovasi yang sah dan dapat meringankan beban ekonomi, adaptasi dengan perubahan zaman, tidak berarti pengkhianatan terhadap tradisi. Kremasi menawarkan solusi praktis dan ekonomis, terutama bagi mereka yang tidak mampu, keterbatasan waktu atau tidak ingin melakukan ngaben secara konvensional. Kremasi menciptakan sirkulasi ekonomi lokal melalui berbagai kebutuhan upacara, seperti jasa layanan, upakara, dan uparengga. Kremasi dianggap sah dan sesuai dengan ketentuan agama Hindu.
Kelompok lain melihat kremasi sebagai pelanggaran terhadap tradisi dan tatanan adat yang telah ada sejak lama, mengurangi makna ritual ngaben sebagai prosesi yang melibatkan gotong royong dan kebersamaan antar masyarakat, melanggar aturan desa, menyebabkan hilangnya tradisi ngaben yang eksotik dan mitos kepercayaan bahwa krematorium dapat mengganggu keseimbangan alam dan menyebabkan masalah bagi warga desa.
Sejak era sebelum Adam Smith, David Ricardo, Marx, Engels sampai era Clifford Geertz, Antonny Giddens, Kellner, perubahan tidak bisa dihindari. Orang harus mampu beradaptasi dengan perubahan, kendatipun tidak semua perubahan kita terima. Begitu pula tidak semua perubahan kita tolak (Dasi Astawa dan Sedana, 2017).
Tidak semua desa adat memiliki aturan yang sama terkait kremasi, beberapa desa adat menerima kremasi, sementara yang lain melarangnya.
Bagimanakah posisi adat dan budaya Bali kekinian dan ke depan menghadapi perubahan dan polemik yang tejadi? Memang, bagaikan makan buah simalakama; antara tuntutan hidup dan kelestarian budaya yang ada dimasing masing desa adat di Bali.
Menjaga kelestarian adat dan budaya di tengah zaman modern sesuai kondisi nyata, sisi negatif era milenial dan sifat gelap kaliyuga, sebagai alat intropeksi, perlu dipertimbangkan cara yang baik karena menyangkut keyakinan dan perubahan zaman.
Pemerintah dan desa adat sebagai regulator dan operator, bagaimana agar upacara ngaben tidak mahal. Bukan adat yang diubah, akan tetapi biaya ngaben yang ditekan supaya tidak mahal. Termasuk upakara lainnya supaya adat dan budaya Bali tidak tergerus.
Dialog dan Diskusi
Menjembatani polemik tersebut perlu dicarikan solusi yang dapat diterima semua pihak. Orang bijak mengatakan ibarat menangkap ikan di dalam kolam yang dipenuhi bunga teratai, ikan didapat air tidak keruh dan bunga teratai tetap segar dan lestari. Solusinnya, perlu dialog dan diskusi melibatkan pandita, pinandita, MDA, budayawan dan pihak terkait selaku operator, untuk menghasilkan sebuah norma dan kebijakan, dengan mempertimbangkan secara komperehensif keuntungan dan kerugian dari kremasi dengan pelaksanaan secara konvensional tanpa mengesampingkan tradisi, adat dan budaya, dan adaptasi dengan perubahan zaman sesuai filsafat yadnya. Termasuk makna, fungsi, dan dampaknya dalam kehidupan manusia (tatwa, etika dan upacara) pitra yadnya, serta tetap menjaga nilai-nilai adat dan budaya berpegangan pada falsafah Tri Kona (upeti, stiti dan pralina). Sehingga demikian demikian, adat dan budaya bisa seiring sejalan dengan perubahan zaman tanpa ada yang merasa dirugikan. (*)
Penulis adalah Analis Kebijakan pada Badan Riset dan Inovasi Daerah Kabupaten Badung.