Krisis Air Bersih di Kutsel Dipastikan Rampung Akhir Tahun 2025, Bupati Adi Arnawa Dorong Teknologi SWRO

Bupati Badung I Wayan Adi Arnawa.
MANGUPURA – baliprawara.com
Krisis air bersih di wilayah Kuta Selatan (Kutsel), khususnya Desa Pecatu yang telah berlangsung bertahun-tahun, nampaknya akan segera teratasi. Bahkan dipastikan, krisis air bersih ke kawasan pariwisata ini, akan tuntas pada akhir tahun 2025 ini. Hal tersebut ditegaskan Bupati Badung, I Wayan Adi Arnawa, di hadapan masyarakat Desa Adat Pecatu saat menghadiri puncak Karya di Pura Bangbang Beji, Senin 8 September 2025.
Dikatakan Bupati Adi Arnawa, upaya penanganan krisis air bersih ini akan dilakukan melalui berbagai upaya, baik itu dengan penambahan jaringan baru, termasuk juga penerapan teknologi pengolahan air laut untuk mengatasi semakin berkurangnya pasokan air baku permukaan.
“Terkait masalah air di Kuta Selatan, saya sudah berproses, mudah-mudahan akhir tahun ini air ke bukit lancar. Sebab, sekarang saya telah menambah jaringan yang sebelumnya air yang dibawa ke bukit dialirkan ke Nusa Dua dulu, sekarang sudah dipotong dibuatkan khusus ke Nusa Dua, dan jaringan yang ke Pecatu khusus,” katanya.
Lebih lanjut dikatakan, selain membangun jaringan distribusi baru, pihaknya di Pemkab Badung juga telah meminta pihak PDAM Badung untuk mulai melakukan diversifikasi atau melakukan alih teknologi dengan menerapkan air laut untuk diolah menjadi air tawar, dengan teknologi sea water reverse osmosis (SWRO).
Hal itu menurutnya sangat penting karena melihat pembangunan di Badung Selatan yang semakin masif, tentunya untuk memenuhi kebutuhan air bersih, tidak cukup hanya memanfaatkan air permukaan. Dikatakan, untuk air permukaan diperkirakan hanya mampu memenuhi selama 5-7 tahun saja.
Untuk itu, kedepan pihaknya meminta kepada PDAM agar segera memulai pemanfaatan air laut untuk air bersih. Nantinya hotel-hotel seperti di bandara dan tempat-tempat komersil, akan didorong untuk memanfaatkan SWRO. Sedangkan air tawar dari air permukaan,akan didistribusikan ke masyarakat karena harganya lebih rendah. “Air bersih dari air permukaan, kita akan distribusikan langsung ke masyarakat, biar full masyarkat menikmati,” ujarnya.
Ia menambahkan, rencana ini sekaligus membuka peluang penerapan sistem subsidi silang. Air permukaan tetap disalurkan ke rumah tangga dengan tarif terjangkau, sementara air hasil desalinasi dialokasikan untuk kebutuhan industri pariwisata.
“Dengan biaya pengolahan sekitar Rp30.000 per meter kubik, desalinasi lebih mahal dibandingkan sumber air permukaan. Namun, jika difokuskan untuk sektor komersial seperti hotel, bandara, dan restoran, maka beban tarif tidak akan memberatkan masyarakat,” katanya. (MBP)