Lakukan Penyesuaian dengan Perda 4 tahun 2019, Desa Adat Kedonganan Sahkan Awig-awig
MANGUPURA – baliprawara.com
Desa Adat Kedonganan, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Bali, melakukan pengesahan terhadap awig-awig, Minggu 7 November 2021, di Pura Puseh Desa Setempat. Pengesahan ini dilakukan setelah dilakukannya revisi awig-awig melalui proses yang cukup panjang.
Keberadaan Awig-awig atau aturan hukum (adat) yang berfungsi untuk mengatur kehidupan masyarakat Desa Adat, sangat penting sebagai dasar hukum dalam melakukan kegiatan di Desa. Namun dengan perkembangan kebutuhan serta kondisi di masyarakat saat ini, perlu dilakukan sejumlah penyesuaian terhadap awig-awig yang dimiliki. Apalagi dengan hadirnya perda 4 tahun 2019 tentang Desa Adat, tentu awig-awig harus mengacu pada perda tersebut.
Menurut Bendesa Adat Kedonganan, dr. I Wayan Mertha, SE., MSi., proses revisi dimulai dari pembentukan tim kecil, untuk mereview isi dari awig-awig yang ada. Dari review tersebut, akhirnya dilakukan penyesuaian baik itu parahyangan, pawongan, dan palemahan. “Sebelumnya sudah dilakukan perbaikan terhadap aturan untuk parahyangan, pawongan yang sebelumnya strukturnya masih kurang pas kini mulai disesuaikan. Tentu mengacu pada Perda Desa Adat no 4 tahun 2019,” katanya.
Lebih lanjut kata dia, pihak desa selanjutnya membentuk tim finalisasi awig-awig. Tim ini kemudian bertugas membahas kembali draft awig-awig yang telah diperbaiki oleh tim kecil. Setelah semua proses yang dilakukan selesai dan sudah difinalisasi, Minggu, akhirnya awig-awig ini disahkan, yang diawali dengan persembahyangan bersama di pura Puseh desa setempat. Pengesahan tersebut dilakukan dihadapan perwakilan krama, disaksikan Pemangku, Lurah Kedonganan, Prajuru dan pihak terkait. “Pada proses finalisasi tersebut, melibatkan sejumlah pihak. Yakni wakil-wakil terbaik dari masing-masing banjar, Anggota Saba Desa, kerta desa, dan tokoh masyarakat yang lain, serta perwakilan dari Universitas Warmadewa,” katanya menambahkan.
Sebenarnya, secara prinsip tidak ada perubahan yang signifikan antara awig-awig yang sebelumnya dengan yang sudah direvisi ini. Perubahan yang dilakukan hanya berkaitan dengan penyesuaian dengan perda 4 tahun 2019. Setelah resmi disahkan, awig-awig ini akan dibuat dalam.bentuk format bahasa indonesia dan aksara Bali bahkan disiapkan dalam bahasa Inggris. Hal itu menurutnya karena Desa Kedonganan yang berada di kawasan pariwisata, tentu juga banyak warga negara asing yang tinggal di sana. Pihaknya berharap, mereka juga bisa memahami isi dari awig-awig ini
“Selanjutnya, dengan disahkannya Awig-awig ini, maka ini bisa menjadi acuan dasar hukum, apa saja yang akan dilaksanakan oleh prajuru Desa kedepan. Sementara, dengan dibuat dalam bahasa indonesia maupun bahasa inggris ,tentunya nanti siapapun bisa mempelajari awig-awig ini begitu juga peraremnya,” terangnya.
Sementara itu, terkait dengan pengaturan krama tamiu, tamiu, diatur dalam perarem. Yang mana dari aturan yang ada, krama tamiu, tamu ini juga memiliki hak dan kewajiban. Tentu dalam pelaksanaan, merujuk perda 4 tahun 2019 juga diatur apa kewajiban mereka. Seperti bersama-sama menjaga keamanan dan ketertiban yang ada di Desa. Selain itu ada juga kewajiban yang harus diikuti sepeti gotong royong, termasuk menjaga kebersihan. Tentu harapannya mereka bisa menjalankan tugas-tugas dari tanggung jawab mereka. “Dari awig-awig ini, apa yang akan dilakukan prajuru, ini bisa menjadi payung hukum dalam menjalankan kegiatan desa. Ini kata dia duga akan disosialisasikan baik itu melalui setiap paruman maupun melalui media sosial,” bebernya.
Menurut Ketua Tim Finalisasi, Drs. I Ketut Yutamana Slamet, MSi, proses dan mekanisme saat pembahasan revisi awig-awig, berjalan alot dan penuh dinamika. Namun demikian, pada akhirnya semua mencari solusi, karena kesadaran mereka, komitmen terhadap awig-awig sangat kuat “Karena Ibarat manusia yang kekurangan darah, begitu juga Desa, kalau tanpa adanya awig-awig, tentu kurang efektif. Untuk itu, dengan telah disahkannya awig-awig ini, tertu kurang efektif. (MBP1)