Listrik Desa Dorong Pertumbuhan Ekonomi, Akademisi Bali Serukan Pemerataan dan Reformasi Regulasi
Diskusi kebijakan energi di Denpasar Kamis 6 November 2025. (ist)
DENPASAR – baliprawara.com
Akses listrik di tingkat desa kembali mendapat sorotan setelah sejumlah akademisi di Bali menyambut positif langkah pemerintah untuk memperluas elektrifikasi hingga ke wilayah paling terpencil. Salah satu pengamat yang angkat bicara adalah I Gede Nandya Oktora, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis di Universitas Udayana. Menurut Nandya, program listrik desa bukan sekadar penerangan, melainkan fondasi bagi aktivitas sosial-ekonomi yang lebih dinamis.
“Listrik mendorong aktivitas ekonomi, bisnis lebih mudah dibangun, masyarakat lebih produktif, dan kegiatan sosial-ekonomi berjalan lebih lancar,” ujarnya saat ditemui usai diskusi kebijakan energi di Denpasar Kamis 6 November 2025.
Nandya menambahkan bahwa program tersebut, yang menargetkan wilayah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) memiliki makna strategis demi pemerataan energi nasional. Ia mengungkapkan bahwa bila akses listrik dan infrastruktur pendukung seperti jalan telah tersedia, maka pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut dapat meningkat secara signifikan.
Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menegaskan bahwa belum semua desa di Indonesia mendapat akses listrik. Menurut data, masih ada sekitar 5.700 desa dan 4.400 dusun yang belum teraliri listrik. Pemerintah pun menetapkan target untuk menyelesaikan elektrifikasi ini pada rentang waktu 2029-2030.
Selebihnya, data dari PT PLN (Persero) menyebutkan bahwa hingga akhir 2024, rasio desa berlistrik telah mencapai sekitar 99,92 %. Program ini juga diarahkan untuk menjangkau rumah tangga di wilayah 3T sebanyak sekitar 1,2 juta rumah tangga sampai periode 2025-2029.
Selain memperluas akses, akademisi Bali juga menyoroti pentingnya pemanfaatan energi terbarukan. Menurut Nandya, potensi lokal seperti tenaga surya, air, maupun angin sebaiknya dimaksimalkan agar sistem kelistrikan lebih ramah lingkungan. “Potensi setiap daerah berbeda-beda. Pemerintah perlu mendorong sumber energi yang sesuai dengan kondisi lokal,” imbuhnya.
Sejalan dengan itu, I G.N. Erlangga Bayu, pendiri BTI Energy dan dosen di Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas), menilai bahwa elektrifikasi desa adalah langkah strategis untuk memperkecil ketimpangan energi nasional. Ia mengapresiasi langkah Menteri ESDM yang meresmikan proyek mikro hidro di Sulawesi Utara sebagai bagian dari program tersebut.
Meski begitu, Erlangga mengingatkan bahwa energi terbarukan (EBT) tidak dapat menjadi satu-satunya solusi karena sifatnya yang terkadang bersifat intermittent (tak menentu). Ia menyatakan bahwa lembaga seperti PLN masih diperlukan sebagai “backbone” jaringan listrik desa. “Kalau semua harus full EBT, saya rasa agak berat. Kita tetap butuh backbone energi konvensional, meskipun porsinya kecil, PLTU atau diesel tetap diperlukan sebagai backup,” jelasnya.
Tak hanya aspek teknis dan investasi yang penting, aspek komunikasi pemerintah-masyarakat juga menjadi kunci. Dalam hal ini, Ni Made Adi Novayanti, dosen dari Fakultas Ilmu Komunikasi dan Bisnis di Universitas Dwijendra, menekankan bahwa keberhasilan program ini juga sangat bergantung pada transparansi dan komunikasi yang baik.
Menurut Novayanti, program yang langsung dirasakan manfaatnya di desa akan lebih sukses jika pemerintah serta pihak terkait secara konsisten menyampaikan kemajuan dan hasilnya ke masyarakat. Ia menambahkan bahwa masyarakat di tingkat desa juga perlu memahami sistem energi baru agar tidak timbul kebingungan. “Pemerintah harus bisa menjelaskan kemudahan dan efisiensinya agar tidak muncul kebingungan di tingkat bawah,” ujarnya.
Beberapa tantangan masih terlihat dalam pelaksanaan program ini: Infrastruktur ke wilayah terpencil memiliki biaya tinggi dan teknis sulit, seperti pemasangan tiang dan jaringan di daerah pedalaman. Meskipun rasio desa berlistrik sudah tinggi, masih ada segmen rumah tangga atau dusun kecil yang belum terjangkau jaringan utama. Pemanfaatan EBT perlu disesuaikan dengan kondisi lokal dan disertai sistem backup agar layanan listrik tetap andal. Komunikasi yang kurang baik bisa menyebabkan masyarakat kurang memahami program dan manfaatnya, sehingga kurang optimal.
Program elektrifikasi desa yang digulirkan pemerintah melalui Kementerian ESDM bersama PLN dinilai memiliki potensi besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, terutama di wilayah 3T. Akademisi di Bali menyambut baik langkah ini sekaligus menyerukan agar aspek pemanfaatan energi terbarukan dan komunikasi publik tidak diabaikan. Pemerintah menargetkan bahwa seluruh desa akan teraliri listrik paling lambat pada 2029-2030 sebagai wujud kehadiran negara dalam pemerataan energi nasional. (MBP)