Masupati Sesuhunan Dewa Ayu Desa Jimbaran Digelar Setiap 2,5 Tahun Sekali untuk Menetralisir
Sesuhunan Ida Bhatara Dewa Ayu Desa Adat Jimbaran, sebelum mesuci ke Pura Uluwatu.
MANGUPURA – baliprawara.com
Tradisi mepinton atau mesuci ngiring sesuhunan Ida Bhatara Dewa Ayu Desa Adat Jimbaran dari Pura Ulun Siwi, Jimbaran, untuk mengikuti prosesi masupati di Pura Uluwatu, digelar, Minggu 11 Mei 2025. Sebanyak puluhan ribu warga, tumpah ruah memenuhi jalur sepanjang jalan menuju Pura Uluwatu.
Menurut Sekretaris Sekaa Barong Desa Adat Jimbaran, Ketut Sutarja, upacara masupati yang digelar di Pura Uluwatu ini, biasanya dilakukan setiap ada petangian Sesuhunan. Yang mana untuk periode petangian kata dia, biasanya tidak ada batasan waktu.
Meski demikian, dari desa Jimbaran memiliki kesepakatan untuk batasan petangian yakni setiap 5 kali galungan, atau 2,5 tahun, dan paling cepat 2 tahun sekali. Selain itu yang kedua bisa juga apabila ada pawuwus atau pawisik dari atas walaupun belum dua tahun atau 2,5 tahun, akan lakukan petangian.
Lebih lanjut disampaikan, untuk prosesi petangian, diawali pada H-50 galungan dilakukan matedunan, nunas baos ring sang sunia. Prosesi ini dilakukan karena di Desa Adat Jimbaran, menyungsung dua pelawatan, yakni Hyang Alitan dan Hyang Duwuran.
Matedunan ini kata dia, dilakukan bertujuan untuk nunas baos, mana yang bersedia ngadeg, apakah Hyang Alitan atau hyang Duwuran. Kemudian setelah proses matedunan, dilanjutkan prosesi berikutnya pada umanis Galungan yakni Mepajar Ageng atau Ngilab. Setelah ngilab, karena di Jimbaran ada kahyangan tiga, Pura Dalem, Pura Puseh, Pura Desa.
Di ketiga pura ini, pelawatan Ida Bhatara Sesuhunan Dewa Ayu metangi, dilakukan prosesi mapinton (memperkenalkan diri) ngaturang sembah karena akan napak pertiwi. Metangi itu adalah penyomyan buta kala untuk kestabilan tau penetralisir. Jelas ini adalah keseimbanga penyomia grubug.
Untuk di Desa Jimbaran, juga nyungsung Tapel Grubug. “Kalau misalnya tidak napak pertiwi atau tidak metangi, terjadi Grubug (wabah) di desa Jimbaran, biasanya kita nedunang dan nyolahang Ida Bhatara itu melalui prosesi penyalonarangan. Yang akan medal itu adalah tapel grubug. Prosesi ini tentu sebagai makna untuk menetralisir,” ucapnya.
Untuk tradisi berjalan kaki menuju Pura Uluwatu menurut Sutarja, menjadi tradisi yang masih dipertahankan hingga saat ini. Pasalnya, dulu pernah direncanakan untuk menggunakan mobil menuju Uluwatu. Namun saat itu ada kejadian yang tidak masuk akal. Berkaca dari itu akhirnya penglingsir di Jimbaran memutuskan untuk tidak lagi melanjutkan rencana menggunakan mobil, dan kembali dengan tradisi berjalan kaki.
“Kalau dilihat, berjalan kaki ini tentu berkaitan sesuai dengan subakti dengan Ida Sesuhunan. Di zaman modern yang serba gampang saat ini, tradisi berjalan kaki ini menjadi kebanggaan karena kita bisa mempertahankan sebuah tradisi di era modern. Ini kebanggaan kita tentu ini nilainya luar biasa,” ucapnya.
Lebih lanjut dijelaskan, untuk prosesi berjalan ke pura Uluwatu, sebelum ngiring dilakukan persembahyangan di pura Ulun Siwi. Ada sekaa barong sendiri yang akan melaksanakan tugas khusus untuk barong dan rangda itu.
Tradisi berjalan ke Pura Uluwatu tersebut, dimulai saat galang kangin atau saat matahari terbit. Karena belum melakukan pasupati, dalam perjalanan ke Pura Uluwatu, hanya dilakukan ngaturang uning untuk melewati jalan di masing-masing pura yang dilewati. Nantinya, pelawatan akan menuju pura Parerepan, Pecatu, untuk mesandekan atau istirahat sejenak.
Kemudian, rombongan kembali melakukan perjalanan menuju Pura Uluwatu. Selama di Pura Uluwatu, akan dilakukan prosesi masupati. “Setelah selesai prosesi di pura dalem uluwatu, saat mepamit semua sudah penjiwaannya tinggi, maka sepanjang perjalanan akan ada tradisi ngunying atau ngurek sampai ida betara melinggih di pura Parerepan, Pecatu,” bebernya.
Selama di pura Parerepan, akan ada beberapa rangkaian prosesi salah satunya matedunan, apakah nanti ini akan dilanjutkan setelah nyineb atau seperti apa. Setelah prosesi tersebut, dilanjutkan dengan penyalonarangan di lapangan Kuruksetra Pecatu sebagai pengujian seberapa hebat anugerah yang diberikan kepada Sesuhunan. “Kemudian pada Senin hari saat galang kangin, Ida Sesuhunan kembali ke pura Ulun Siwi, Jimbaran,” ucapnya.
Pihaknya berharap melalui prosesi ini, situasi desa mikro dan makrokosmos, lebih damai, lebih tentram, lebih makmur. karena esensi dari barong rangda itu adalah penyomian atau penetralisir. (MBP1)