“Megandu”, Bernostalgia dan Atmosfir Keceriaan Masa Kecil

DENPASAR – baliprawara.com
Suasana pagi di Lapangan Timur UPTD Monumen Perjuangan Rakyat Bali, Sabtu (5/7/2025), tiba-tiba riuh oleh tawa, sorak, dan derap kaki belasan remaja. Sebanyak 14 peserta—7 laki-laki dan 7 perempuan—dari Sanggar Buratwangi, Banjar Ole, Desa Marga Dauh Puri, Tabanan, memukau penonton lewat atraksi permainan tradisional sawah, Megandu, dalam ajang Jantra Tradisi Bali 2025, rangkaian Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-47.
Bola-bola jerami yang disebut gandu, tali guntung, dan pelepah pisang kering jadi pusat perhatian. Gerak lincah peserta yang penuh semangat berhasil membetot minat warga dan wisatawan yang tengah beraktivitas pagi di kawasan pusat pemerintahan dan rekreasi Bali itu. Tak hanya sekadar tontonan, permainan ini menyuguhkan atmosfer nostalgia dan keceriaan masa kecil di desa.
“Megandu adalah permainan rakyat yang sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia tahun 2023. Penampilannya kali ini sebagai murtirupa atau demonstrasi budaya bertujuan memperkenalkan kembali permainan ini ke masyarakat luas,” ungkap Ni Made Wiyarsani, Pamong Budaya Ahli Muda Dinas Kebudayaan Provinsi Bali.
Permainan Jerami Penuh Makna
Ketua Sanggar Buratwangi, I Wayan Suprananda CP, menjelaskan bahwa Megandu merupakan permainan warisan para petani Banjar Ole, yang biasa dimainkan anak-anak usai musim panen. Sisa jerami dibentuk menjadi bola, diletakkan di sekitar tonggak, dan permainan pun dimulai dengan memilih penjaga gandu lewat jamprit atau sut. Tantangannya? Menjaga bola agar tidak dicuri oleh peserta lain yang berlari mengelilingi tonggak—seru dan menghibur!
“Permainan ini sarat nilai—memupuk solidaritas, menyama braya, dan tentu saja hiburan yang membumi,” ucap Suprananda.
Ia menyebut bahwa permainan ini sempat “tidur”, namun dibangkitkan kembali pada 1983 oleh seniman lokal, I Wayan Weda. Sejak itu, Megandu beberapa kali tampil di ajang PKB, bahkan diangkat menjadi film pendek Tung Tung Uma oleh mahasiswa ISI Bali awal 2025.
Tradisi yang Terus Bergerak
Usai demonstrasi Megandu, kemeriahan Jantra Tradisi Bali berlanjut dengan lomba olahraga tradisional Megala-gala (Hadang) yang diikuti 9 tim dari kabupaten/kota se-Bali. Kali ini khusus untuk kategori putri usia 13–15 tahun. “Untuk keseimbangan gender, tahun ini megala-gala hanya untuk perempuan, sedangkan lomba Tajog dan Deduplak diikuti peserta laki-laki,” tambah Wiyarsani.
Permainan Megandu telah menapaki banyak panggung, mulai dari PKB 1998 hingga pentas kolaboratif tahun 2018 yang memadukan Megandu dengan silat, megender dan cecimpedan. Pengakuan budaya semakin kuat setelah Megandu meraih Sertifikat Kekayaan Intelektual Komunal (KIK) dari Kemenkumham RI pada 2021.
Dari permainan sawah yang sederhana, Megandu kini menjelma menjadi ikon warisan budaya yang tidak hanya menghibur, tetapi juga mempererat akar identitas Bali. Dan hari itu, di tengah hiruk pikuk Denpasar, semangat jerami itu kembali bergulir—menyapa masa lalu, menyemai masa depan.(MBP2)