Menjaga Arja agar Tak Mati

Prof. Dibia
Oleh:
Prof. Dr. I Wayan Dibia
Arja adalah sebuah kesenian klasik tradisional yang menyangga keberlangsungan dari berbagai unsur kebudayaan Bali. Tembang macepat, bahasa, dan sastra Bali adalah tiga unsur kebudayaan Bali yang diintegrasikan serta disangga kuat oleh dramatari berdialog tembang ini.
Kepunahan bahkan kematian dari dramatari ini akan mengancam eksistensi dan keberlangsungan dari unsur-unsur budaya Bali yang ada di dalamnya. Oleh sebab itu, setiap upaya, sekecil apapun untuk menjaga Arja jangan sampai mati perlu diapreasia.
Pementasan Arja Lingsar, di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Denpasar, 24 Juni 2025, dalam rangka Pesta Kesenian Bali ke 47, yang diprakarsai oleh teman-teman jurnalis perduli seni budaya Bali, patut diapresiasi.
Pertunjukan Arja dengan format mini ini, yang digarap secara apik, mampu memukau penonton walaupun sajian ini masih perlu disempurnakan.
Arja adalah salah satu kesenian klasik Bali yang hingga kini masih digemari di kalangan masyarakat Bali. Sering dijuluki sebagai ”operatari Bali” Arja merupakan produk budaya Bali Klasik yang menjadi populer di awal abad XIX.
Dalam perkembangannya, Arja bukan saja mengalami masa pasang surut melainkan juga mengalami transformasi bentuk dengan munculnya beberapa jenis Arja seperti Arja Doyong yang disajikan oleh satu orang tanpa gamelan pengiring, Arja Muani dengan para pelaku semuanya laki-laki, Arja Gaguntangan (Arja yang menggunakan iringan gamelan Gaguntangan), Arja Roras dengan pemeran utama berjumlah 12 orang, Arja Gong yang menggunakan iringan gamelan Gong Kebyar, dan Arja Mini yang melibatkan para pemain dengan jumlah kecil (antara 5-6 orang). dan lain sebagainya.
Selama ini banyak yang memandang Arja sebagai sebuah kesenian yang berbau feodal. Pandangan seperti ini semata-mata disebabkan oleh lakon-lakon yang digunakan yang pada umumnya diambil dari cerita Panji atau Malat dengan kisah yang berkisar kepada kehidupan keluarga istana seperti Daha, Jenggala, Metaun, Pejarakan, dan lain-lain, dengan segala lika likunya.
Baru kemudian muncul cerita-cerita rakyat seperti Pakang Raras, Linggar Petak, yang sedikit banyak masih diilhami oleh cerita Panji, kecuali cerita Basur, Sampik Ingtai, dan Dukuh Suladri, yang sudah lepas dari pengaruh cerita Panji. Namun jika disimak lebih jauh, lakon-lakon Arja ini sejatinya mengungkap nilai-nilai kehidupan masyarakat kebanyakan. Kemelut rumah tangga, cinta segi tiga, perebutan hak waris, merupakan pokok-pokok persoalan hidup yang banyak diungkap dalam pertunjukan Arja.
Satu hal yang perlu diingat bahwa walaupun konon Arja lahir di istana, namun hingga sejauh ini belum ada bukti-bukti yang menyatakan bahwa kesenian ini pernah hidup atau dipelihara oleh kalangan istana. Arja merupakan kesenian yang hidup dan berdegup di kalangan masyarakat luar istana.
Pengemban Tembang Macepat
Arja adalah satu-satunya dramatari Bali yang berdialog tembang macepat. Salah satu prinsip estetik dari Arja adalah ”ngigelin tembang” atau ”nembangin igel” yang esensinya menari sambil menembang atau menembang sambil menari. Tidak ada dramatari lainnya di Bali yang pertunjukannya dipenuhi dengan alunan tembang macepat. Dalam pertunjukan Arja, hampir semua peran tampil ke atas pentas sambil nembang. Kemampuan nembang, lebih dari kemampuan menari dan berakting, menjadi syarat utama dari pada para penari Arja. Jika diperhatikan, banyak penari Arja yang tidak bisa menari, atau dengan bekal teknik tari yang pas-pasan, tetapi memiliki kemampuan nembang yang hebat.
Dalam pertunjukan Arja, tembang macepat digunakan dalam tiga bagian penting. Ketiga bagian yang dimaksud adalah, pengalang atau pembukaan, ketika para penari menyanyi bersama-sama di dalam rangki; bagian papeson atau pengenalan karakter, dan bagian panyarita atau dialog.
Tembang Pangalang
Sudah menjadi kebiasaan para penari Arja di masa lalu, terutama Arja Sebunan (berasal dari satu banjar atau desa), untuk menyanjikan tembang pangalang (pemanasan) yang dilakukan sebagai pemanasan vokal di belakang layar atau di dalam rangki. Di awal pertunjukan, para penari, terutama penari wanita, menyanyi bersama-sama di dalam rangki. Salah satu tembang yang biasa digunakan adalah Ginanti yang berlaras Slendro.
Tembang Papeson. Tembang papeson (pesu = keluar) pada dasarnya dinyanyikan sebagai pengenalan karakter. Ketika menyanyikan tembang papeson, setiap peran melakukan ragam-ragam geraknya sesuai jumlah baris tembang yang dinyanyikan. Tiga hal yang selalu dilakukan penari Arja ketika menyanyikan tembang papeson adalah mungkah lawang, ngigelin langse ngawan ngebot, dan matanganan.
Setiap peran utama dalam Arja memiliki tembang papeson yang berbeda-beda. Condong atau Inya menggunakan tembang papeson berupa pupuh Galuh atau Sari menggunakan pupuh Dandang atau Adri, Limbur atau permaisuri menggunakan tembang Sinom, Desak (Klatir), dan Liku menggunakan pupuh Dandang, Mantri Manis menggunakan pupuh Sinom, dan Mantri Buduh menggunakan pupuh Durma. Penasar kelihan (Punta), baik yang manis maupun buduh, menggunakan tembang Durma, dan panasar cenikan (Wijil, Kartala) menggunakan pupuh Mas Kumambang atau tembang cecantungan.
Pada umumnya, para penari Arja menggunakan tembang papeson sebagai ruang untuk mempertontonkan kemampuan nembang terbaik mereka.
Tembang Panyarita. Ketika memasuki bagian dialog, para penari Arja mulai menyanyikan tembang-tembang panyarita, yaitu tembang-tembang yang digunakan untuk menyampaikan jalan cerita, baik dalam bentuk monolog maupun dialog. Pemilihan tembang disesuaikan dengan suasana dramatik seperti tenang atau damai, bahagia, roman, tegang, dan sedih yang akan digambarkan. Di antara tembang-tembang yang biasa digunakan dalam panyarita adalah Sinom atau Ginanti untuk suasana tenang, damai, dan bahagia, Sinom dan Ginada untuk roman, Durma untuk tegang, Semarandana dan Ginada untuk sedih.
Setiap tembang, baik untuk pangalang dan papeson maupun panyarita tembang di atas diiringi tabuh dengan irama yang berbeda-beda. Misalnya tembang pengalang pada umumnya diiringi dengan tabuh dua yang bertempo lambat, tembang papeson pada umumnya dengan tabuh besi, sedangkan iringan tembang panyarita disesuai suasana dramatik yang disajikan. Sebagai contoh, suasan tegang dengan tabuh batel, suasana roman dengan tabuh besik, dan suasana sedih dengan tabuh dua.
Arja Pengemban Bahasa Bali
Dominannya penggunaan bahasa Bali dalam pertunjukan Arja menjadikan seni drama ini menjadi kesenian pengemban bahasa Bali. Dengan ini dimaksudkan bahwa Arja merupakan ajang dan ruang bagi masyarakat untuk mempelajari dan mengetahui penggunaan Bahasa Bali dengan berbagai tingkatannya. Konsekwensinya, ketika Arja menjadi pengemban bahasa Bali, banyak penonton yang berharap bisa belajar bahasa Bali melalui pertunjukan seni drama ini. Oleh sebab itu, para pemain Arja dituntut agar mampu menggunakan bahasa Bali yang baik dan benar sesuai tata krama, tata titi, dan anggah-ungguh kruna bahasa Bali, sesuai peran yang dibawakan dan seturut dengan suasana dramatik dari sebuah lakon yang dibawakan.
Sebagai perbandingan, sebagaimana telah disinggung di atas, Arja sering dikatakan sebagai seni drama pengemban tembang macapat. Hal ini tiada lain disebabkan oleh penggunaan tembang macapat yang begitu dominan dalam pertunjukan Arja. Hampir semua peran menggunakan tembang dengan pupuh yang berbeda-beda. Bahasa yang digunakan dalam tembang-tembang Arja dominan bahasa Bali, baik yang alus dan madya, maupun kasar yang di sana sini diperkaya, bahkan dituakan, dengan kata-kata bahasa Kawi.
Dalam Drama Gong, bahasa Bali digunakan dalam bahasa sehari-hari, bukan dalam bentuk tembang, namun dengan cara ungkap dan percakapan beretorika tertentu.
Dalam pertunjukan Arja, sesuai peran yang dibawakan, dan sesuai suasana dramatik yang digambarkan, para pelaku menggunakan bahasa Bali dengan ketiga tingkatannya yang biasa dikenal dengan Bahasa Bali alus, madya, dan kasar dengan berbagai tingkatannya. Dalam mengucapkan bahasa-bahasa ini para pemain menggunakan bahasa gerak sesuai peran yang dibawakan.
Secara umum dapat dikatakan bahwa Bahasa Bali alus digunakan untuk berkomunikasi atau menyebutkan orang-orang atau tokoh yang patut ditinggikan atau dihormati dengan menggunakan kata-kata Bali alus.
Biasanya bahasa alus diucapakan dalam suasana formal atau tenang, dengan iringan tabuh-tabuh yang tenang dan agung seperti legod bawa, atau bapang gede. Dalam suasana seperti ini, ketika seorang abdi mempersilahkan seorang patih, atau orang yang belum dikenal untuk makan digunakan kata ngajengang, untuk raja digunakan ngerayunang.
Menyebut makanan untuk patih atau orang yang tidak dikenal digunakan kata ajengan, untuk raja digunakan rayunan.
Bahasa Bali madya digunakan untuk berkomunikasi atau menyebutkan orang-orang atau tokoh yang setingkat atau sejajar, termasuk orang yang tidak dikenal. Raja dengan permaisuri, abdi dengan sesama abdi, atau dengan orang yang belum dikenal, menggunakan bahasa Bali madya yang menggunakan kata-kata Bali madya. Biasanya bahasa madya diucapakan dalam suasana tenang dan ceria dengan iringan tabuh-tabuh yang tenang dan gembira seperti bapang atau gegaboran. Dalam suasana biasa dan tenang, ketika seorang abdi mempersilahkan abdi lainnya untuk makan maka kata medaar yang digunakan, untuk duduk kata negak yang digunakan, untuk tidur digunakan kata pules. Untuk panggilan kamu, maka kata cai atau nyai biasa digunakan. Untuk memanggil orang yang belum dikenal biasa digunakan kata jero.
Bahasa Bali kasar digunakan untuk berkomunikasi atau menyebutkan orang-orang atau tokoh yang dianggap lebih rendah, atau yang ingin direndahkan bahkan dinistakan. Biasanya bahasa madya diucapakan dalam suasana tegang dan mencekam dengan iringan tabuh-tabuh yang bersuana seperti batel atau kale. Contohnya, seorang abdi yang dengan marah dan kecewa menyuruh abdi lainnya untuk makan, yang bisa saja menggunakan kata ngamah, ngleklek, pantet dan lain-lain. Ketika seorang raja menyebutkan mulut abdinya, ia bisa saja menggunakan kata bungut. Sudah biasa, tokoh raja berwatak keras (mantri buduh) minta kedua abdinya, untuk melaporkan sesuatu dengan mengatakan: ”Punta Wijil aturang bungute.” Atau ketika seorang raja yang marah lalu menghardik abdinya bisa saja menggunakan kata-kata cicing cai, bangken kuluk, atau jelema matemah cai, dan lain-lain.
Uraian di atas menunjukkan bahwa dalam pertunjukan Arja, begitu juga drama-drama tradisional Bali lainnya, dalam kondisi tertentu, sesuai alur dramatik, bahasa kasar tetap bisa digunakan. Jadi, penggunaan Bahasa Bali kasar sudah biasa dan tidak ditabukan dalam seni pertunjukan. Berdasarkan pentunjuk para seniman dan tetua di masa lampau, ungkapan memisuh adalah ujaran yang tidak pantas diungkapkan di depan umum atau ruang publik seperti kalangan tempat pertunjukan.
Pada dasarnya memisuh, yang berbeda dengan bahasa kasar, adalah ujar kata yang menggunakan kata-kata kotor dalam Bahasa Bali. Kata-kata pisuhan seperti endas keleng, sakit gede, bangsat dan lain-lain. Para seniman tua tidak membolehkan para muridnya memisuh di atas pentas karena ungkapan kotor seperti ini bisa menodai kesucian kalangan sebagai sebuah tempat yang sudah disucikan dengan sesaji prayascita. Di samping itu, memisuh diyakini bisa mengotori sajian seni sebagai ciptaan Tuhan.
Arja Pengemban Sastra Bali
Arja merupakan sebuah dramatari klasik Bali yang banyak membawakan lakon yang bersumber dari gaguritan dan satua. Gaguritan adalah sebuah karya sastra yang ditulis menggunakan metrum tembang macepat, berbeda dengan satua yang merupakan jalinan kisah yang dituturkan secara lisan.
Banyak Gaguritan yang menjadi sumber lakon dari dramatari Arja. Ketika sebuah lakon diangkat dari Gaguritan, biasanya isi Gaguritan diolah kembali untuk disesuaikan dengan tokoh-tokoh utama yang ada dalam Arja. Beberapa contoh Gaguritan yang banyak dijadikan lakon Arja adalah Gaguritan Tamtam, Gaguritan Jayaprana, Gaguritan Sampik, Gaguritan Basur, Gaguritan Cilinaya, Gaguritan Salya, dan Gaguritan Dukuh Suladri.
Selain Gaguritan, Arja juga banyak mengambil lakon yang bersumber dari satua atau cerita lisan. Beberapa contoh dari cerita rakyat yang bisa dipentaskan dalam Arja adalah, Rare Angon, I Krerek, Ni Suhadi, Galuh Ngajang Sebun, dan lain-lain. Dalam penyajiannya, sesuai kondisi dan konteks pertunjukan, cerita-cerita rakyat ini sering kali diperkaya dengan plot-plot baru tanpa harus merusak plot utama dari lakon.
Hingga kini, kematian Arja masih menjadi kekhawatiran banyak orang terutama para pencinta kesenian Bali. Dalam perjalanan Arja yang cukup panjang, dari awal abad XIX sampai memasuki abad XXI, Arja memang pernah mengalami masa pasang surut, namun menurunnya popularitas Arja tidak bisa dilihat sebagai sebuah kematian. Sebagai contoh, surutnya popularitas Arja Sebunan tahun 1970-an dijawab dengan munculnya Arja Bon atau Susupan, sekitar waktu yang sama popularitas Arja pernah surut dikalahkan oleh Drama Gong, Gong Kebyar, dan Sendratari. Munculnya Arja Gong dan Arja berlakon Ramayana menjadi wujud kebangkitan dari Arja di Bali.
Meredupnya popularitas Arja di tahun 1990-an digebrak oleh Arja Cowok (Printing Mas) yang membuat banyak penonton kembali mencintai Arja. Semuanya ini menunjukkan adanya masa pasang surat Arja, tetapi bukan kematian Arja di Bali.
Menurunnya popularitas Arja di kalangan masyarakat Bali modern seringkali dilihat sebagai akibat dari kemampaun para pelakunya. Sejatinya, kelesuan Arja erat kaitannya dengan melemahnya penguasaan masyarakat Bali terhadap penggunaan bahasa Bali, tembang-tembang macepat, dan literasi terhadap karya-karya sastra Bali. Agar Arja, dan juga kesenian-kesenian Bali lainnya yang menggunakan tembang, bahasa dan sastra Bali, perlu dilakukan upaya revitalisasi terhadap program pendidikan, materi kurikulum, terutama di tingkat Pendidikan Dasar. Di masa lalu, anak-anak Sekolah Dasar diberikan pelajaran Bahasa Bali, Magending Bali, dan Nyatua, yang ketiganya ini merupakan pengetahuan dasar dalam menikmati pertunjukan kesenian Bali. Misalnya, penonton yang bisa berbahasa Bali akan bisa menikmati dialog-dialog para pelaku dalam dramatari klasik Bali, begitu pula penonton yang tahun tembang macepat akan bisa menikmati, bahkan ikut nembang, sambil menonton pertunjukan Arja. Mereka yang mengerti cerita Sampik Ingtai akan bisa melelehkan air mata ketika menyaksikan kesedihan Sampik yang sedang patah hati.
Semuanyanya ini menjadi kunci dari kenikmatan estetik maksimal yang bisa dirasakan para penonton ketika menyaksikan pertunjukian kesenian Bali.
Format Mini-Arja Lingsar
Melalui olah pikir yang panjang, grup Gita Semara Peliatan-Ubud, di bawah pimpinan I Wayan Sudiarsa, menampil sebuah format Arja mini berupa pertunjukan Arja Lingsar yang dibawakan hanya oleh 4 (empat) orang. Didukung oleh para pemain berpengalaman, dengan modal olah vokal dan kualitas suara yang bagus, Arja berdurasi kurang lebih satu jam ini telah mampu memikat penonton yang hadir ketika itu. Tidak kalah pentingnya adalah permainan tabuh Gaguntangan yang disertai nyanyian yang dibawakan oleh para pemain Semara Gita.
Tidak kalah menariknya adalah diskusi seusai pertunjukan yang menampilkan empat narasumber, yaitu Prof. Dr. I Made Suarta, M.Si.; Dr. I Ketut Kodi, SSP., M.Si; I Wayan Sudiarsa S.Sn., M.Sn., dan Adnyana Ole dengan moderator Jero Penyarikan Duuran Batur. Dalam diskusi ini terlontar rasa kekhawatiran terhadap masa depan Arja, keunikan dramatari ini, tuntutan seorang penari Arja, disertai lontaran gagasan terhadap bagaimana menggairahkan kembali kehidupan Arja.
Jika ada beberapa hal kecil yang bisa diajukan sebagai bahan penyempurnaan terhadap format kecil Arja Lingsar ini, di bawah ini adalah 3 (tiga) hal yang kiranya perlu dijadikan pertimbangan.
Satu, penyajian Arja ini sebaiknya tetap menggunakan langse. Kelihatan sedikit lucu ketika penari memakai gerak mungkah lawang dan ngigelang langse tanpa langse. Jika karena satu dan lain hal tak menggunakan langse, sebaiknya penari tidak melakukan ketiga gerak tersebut di atas, atau dilakukan dengan cara penampilan nomplok. Dua, busana ketiga pemain Arja, mantri manis dan panasar, sebaiknya tetap digunakan. Penggunaan busana sesaputan akan melengkapi aspek visual dari sebuah pertunjukan Arja.
Tiga, di bagian akhir, ketika munculnya matah gede memakai topeng rangda, rasa Arja bergeser ke Calonarang sebagai akibat dari mantri manis yang tidak berdialog tembang melainkan memakai ucap-upakan Calonarang. Untuk mengentalkan rasa Arja, sebaiknya mantri manis tetap berdialog tembang.
Demikian beberapa hal yang dapat disampaikan dari pertunjukan Arja Lingsar persembahan Gita Semara di Gedung Ksirarnawa. Sajian ini patut di apresiasi sebagai suatu tawaran baru yang penuh inovasi dalam menyelamatkan Arja agar tidak jadi mati. (*)