Muda-mudi Jimbaran Ceritakan Tradisi Siat Yeh Sambil Mejangeran
DENPASAR – baliprawara.com
Sanggar Seni Kalingga Banjar Teba, Desa Adat Jimbaran, Kecamatan Kuta Selatan, Duta Kabupaten Badung, tampil memukau saat mengikuti utsawa (parade) Janger Melampahan serangkaian Pesta Kesenian Bali (PKB) XLIV Tahun 2022, di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Provinsi Bali (Art Center), Kamis 23 Juni 2022. Mengacu pada tema PKB yakni Danu Kerthi; Huluning Amreta, Sanggar Seni Kalingga pun ceritakan tradisi budaya yang ada di Desa Adat Jimbaran yakni tradisi ‘Siat Yeh’ ke dalam garapan janger.
Para muda-mudi dari Sanggar Seni Kalingga nampak seiring dan serasi dalam menari. Saat menari, mereka juga sambil menyanyi bersama yang menciptakan suasana gembira dan kental rasa kebersamaan. Suasana tersebut sebagaimana makna tari janger itu sendiri, yakni sebagai tari pergaulan, di mana dulunya merupakan tari tradisional yang terinspirasi dari aktivitas para petani yang menghibur diri saat sedang lelah dengan cara bernyanyi bersahut-sahutan.
Ketua Sanggar Seni Kalingga, I Wayan Eka Santa Purwita mengungkapkan, dalam parade Janger Melampahan kali ini pihaknya mengenalkan Tradisi Siat Yeh kepada para penonton dan pecinta seni di PKB. Tradisi ini sarat akan pesan pemuliaan air sebagaimana tema PKB tahun ini. Bahkan saat parade berlangsung, sempat diperagakan bagaimana tradisi Siat Yeh itu berlangsung secara riil. Dijelaskan, Tradisi Siat Yeh merupakan tradisi yang dilaksanakan sehari setelah hari Raya Nyepi (Ngembak Geni) oleh masyarakat Desa Adat Jimbaran, terkhusus lagi di Banjar Teba.
Desa Adat Jimbaran memiliki dua sumber mata air yaitu di timur disebut pantai suwung (air rawa) sedangkan di barat disebut pantai segara. Tradisi Siat Yeh juga dimaknai sebagai tradisi yang mempertemukan dua sumber tirta (mata air) tersebut. Selain mempertemukan dua sumber air, Tradisi Siat Yeh juga mempunyai makna, di mana secara etimologi Siat yang berarti perang merupakan makna yang pada hakekatnya manusia dalam kehidupan kesehariannya sebenarnya selalu berperang dengan dirinya sendiri atau pikiran-pikirannya sendiri. Sedangkan kata Yeh berarti air merupakan sumber kehidupan manusia, sehingga nantinya dengan menjaga kedua sumber air tersebut, masyarakat bisa mendapatkan kemakmuran. Sebelum melaksanakan tradisi Siat Yeh pun ada tradisi lama yang dilakukan seperti bermain macan-macanan, megala-gala, mecepat, main tembing, dan permainan zaman dulu lainnya.
“Esensi tradisi ini adalah pengelukatan. Pembersihan secara sekala dan niskala. Makanya dalam nyanyian janger pun saya selipkan pesan seperti hidup matanah pasih matanah suwung. Hidup matanah pasih (biasa) bermakna mari hidup biasa-biasa saja walaupun dalam keadaan sedih maupun senang. Sedangkan matanah suwung (buwuk) mengingatkan kita bahwa seorang manusia pasti memiliki kekurangan ataupun kejelekan. Seberapapun kita bagus, pasti ada jeleknya. Begitu pula sebaliknya,” ungkapnya ditemui usai pentas.
Eka Purwita yang juga Kelian Adat Banjar Teba ini melanjutkan, untuk tampil di PKB pihaknya melibatkan generasi muda usia 20-an tahun. Memang diakui, ada sejumlah tantangan dalam membina kesenian janger ini, salah satunya di olah vokal. “Tantangan paling pertama itu di olah vokal, karena harus sering dilatih. Kami persiapan bahkan cukup lama, selama tiga bulan. Hampir setiap hari latihan, karena kita mengejar vokal terlebih dulu, baru lanjut memantapkan gerakan tari,” paparnya.
Terkait kesenian Janger, Eka Purwita membeberkan, dulu sejatinya di Banjar Teba Desa Adat Kerobokan memiliki kesenian janger, yakni sekitar tahun 1980-an. Namun seiring perkembangan zaman, kesenian janger tersebut meredup. Nah, dengan kesempatan tampil di PKB, kata dia, bisa menjadi momentum kebangkitan janger di Jimbaran. “Kesenian janger ini akan kami gali, dikembangkan di banjar. Biar kesenian ini bisa kita pakai saat HUT pemuda, ngayah ke pura-pura, dan di kesempatan-kesempatan lainnya,” pungkasnya. (MBP)