Ni Calonarang Menggetarkan Sabang Merauke

Garapan tari Calonarang didukung sejumlah penari dan penabuh Bali.
DENPASAR – baliprawara.com
Sebuah pagelaran seni pentas yang berlabel “The Indonesian Broadway”, 23 dan 24 Agustus berlangsung di Jakarta.
Garapan seni yang didukung oleh 351 penari, penyanyi, dan pemusik ini adalah Pagelaran Sabang Merauke 2025. Setelah digelar secara berturut-turut pada tahun 2023 dan 2024 lalu, tahun ini mengukir babak baru dalam sejarah pertunjukan budaya Indonesia dengan menghadirkan sebuah karya monumental yang tidak sekadar menampilkan keindahan seni, tetapi juga merefleksikan kekayaan warisan budaya yang mendalam.
Dengan tema “Hikayat Nusantara”, pagelaran ini berhasil menyatukan berbagai kisah rakyat dari seluruh penjuru Indonesia dalam sebuah pentas megah yang bukan hanya memanjakan mata tetapi juga menggugah nurani. Melalui perpaduan seni tradisional dan modern, Sabang Merauke 2025 membuktikan bahwa kebudayaan Indonesia bukan hanya sesuatu yang harus dipertahankan, tetapi juga mampu berevolusi dan berinovasi, menjadikan dirinya relevan bagi generasi masa kini.
Pertama, yang terasa begitu memukau adalah skala panggung dan produksi yang jauh lebih besar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pagelaran yang digelar pada tanggal 23 dan 24 Agustus di Indonesia Arena Senayan, Jakarta ini memperlihatkan kemampuan penyelenggara dalam mengemas pertunjukan dengan teknologi dan seni panggung kelas dunia.
Elemen teatrikalnya tidak hanya sekadar dekorasi, melainkan bagian integral yang memperkuat cerita dan emosi yang hendak disampaikan. Penggunaan jumbotron sebagai medium yang interaktif sekaligus estetik memperlihatkan pendekatan baru dalam seni pertunjukan tradisional, dimana teknologi menjadi jembatan penghubung antara masa lalu dan masa kini.
Dalam konteks ini, Pagelaran Sabang Merauke berperan sebagai platform yang memodernisasi adat tanpa kehilangan esensi nilai budaya yang ada.
Selain aspek visual dan teknis, kekuatan utama pertunjukan ini terletak pada narasi yang diangkat, “Hikayat Nusantara”. Kisah-kisah rakyat seperti Malin Kundang, Yuyu Kangkang, dan Mahadewi tidak hanya dihidupkan kembali sebagai tontonan, tetapi juga sebagai medium edukasi dan refleksi sosial. Drama haru yang dibawakan oleh para aktor, terutama pada potongan kisah Calonarang yang menggugah sisi kemanusiaan dan kasih sayang ibu, mampu membekas di hati penonton. Melalui penghidupan cerita-cerita ini dalam format yang menggabungkan tarian, musik, dan drama modern, pagelaran ini seolah menawarkan pengalaman baru yang mampu menarik minat masyarakat luas, termasuk generasi muda yang mungkin selama ini kurang mengenal kisah-kisah leluhur mereka secara mendalam.
Melalui wadah pagelaran modern spektakuler tersebut, kisah Calonarang, misalnya, tidak hanya dikenal di tanah Jawa dan tidak hanya membumi di Bali namun bisa disimak di tengah masyarakat luas Indonesia bahkan dunia. Reinterpretasi dan kontekstualisasi pesan moralnya dan inovasi ungkapan estetik-artistiknya, sungguh menjadikan salah satu hikayat Nusantara itu memiliki daya pukau mengesankan.
Penari Andal
Untuk sajian kisah Calonarang ini, penyelenggara secara khusus mendatangkan para penari andal dari Bali. Peran utama sebagai Walu Nateng Dirah alias Calonarang dibawakan oleh koreografer dan penari Sri Ayu Pradnya Larasari.
Penggalan kisah mistik ini juga didukung oleh empat orang tukang bapang barong yang membawakan sepasang Barong Ket, 10 penari Telek, empat orang penari Rangda, dan puluhan penari keris. Penampilan kisah ini berhasil membius dan menggetarkan penonton.
Tidak kalah penting, penyajian musik dan kostum yang memadukan unsur tradisional dan modern memberikan sentuhan segar. Aransemen ulang lagu-lagu daerah dan nasional yang disiapkan secara sinematik oleh musisi-musisi ternama menciptakan atmosfer emosional yang kuat dan energik. Hal ini menandai keberhasilan kolaborasi antara nilai warisan budaya dengan kreativitas kontemporer, tanpa menyingkirkan keaslian dan karakteristik tiap daerah.
Kostum rancangan AdeChan yang melibatkan komunitas seperti Jember Fashion Carnaval dan Pesona Gondanglegi juga membuktikan bahwa seni busana tradisional tidak kalah menarik dibanding mode modern, bahkan mampu menjadi daya tarik tersendiri dalam sebuah pertunjukan besar.
Meski demikian, sebagai sebuah pagelaran besar, Sabang Merauke 2025 tidak luput dari tantangan. Kesempurnaan harus diimbangi dengan penyajian yang mampu menjangkau lebih banyak kalangan penonton dari berbagai latar belakang. Ada kalanya perpaduan modern dan tradisional terasa sangat berat di satu sisi, sehingga beberapa unsur tradisional lebih dominan menjadi objek yang dipamerkan, bukan bagian dari dialog budaya yang hidup. Upaya yang lebih intens untuk mengintegrasikan dan mempertemukan berbagai elemen ini secara harmonis diharapkan ke depan, agar pagelaran tidak hanya menjadi tontonan, melainkan ruang interaksi budaya yang autentik dan inklusif. (MBP2)