Niang Soli, Maestro Legong Bapang Saba Masih Lincah Menari di Usia 102 Tahun
Niang Soli (dua kanan) masih tetap energik di usianya ke 102, membawakan tari Legong Bapang Saba.
DENPASAR – baliprawara.com
Niang Soli, pemilik nama lengkap Gusti Ayu Soli, warga Desa Saba, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar, kembali menarik perhatian publik. Di usianya yang telah mencapai 102 tahun, Niang Soli masih aktif menari Legong Bapang Saba.
Tampil di Living World Denpasar dalam Roadshow Kebudayaan 2025, Pada Sabtu (6/12), penampilan Niang Soli dalam pementasan tiga generasi ini, cukup menarik perhatian penonton. Tubuhnya yang renta justru terlihat sangat energik saat menunjukkan agem dan berbagai gerak khas tari Bali bersama Sanggar Seni Saba Sari. Banyak penonton memberikan apresiasi karena ia mampu menari berdampingan dengan empat penari muda lainnya tanpa mengurangi keanggunan dan ketepatan geraknya.

Perjalanan seni Niang Soli dimulai saat baru berusia lima tahun. Ia menuturkan bahwa dunia tari sudah menjadi bagian dari hidupnya sejak kecil. Meski sempat berhenti menari ketika memasuki usia remaja dan menikah, kecintaannya pada seni tari tidak pernah padam.
Setelah memiliki anak, ia kembali aktif menari dan terus mempertahankan kemampuannya hingga kini. “Saya dari kecil sudah bisa menari, sampai remaja berhenti setelah menikah. Kemudian setelah punya anak kembali menari,” ujarnya saat ditemui sebelum pentas.
Niang Soli mengungkapkan bahwa ketertarikannya pada dunia tari tidak pernah surut meskipun usia terus bertambah. Ia bahkan menyebut bahwa aktivitas menarinya tetap berjalan di tengah kesibukan lain yang harus ia jalani setiap hari.
Selain menarikan Legong, Niang Soli juga mampu membawakan Tari Rangda. Di usia lebih dari satu abad, ia masih rutin berlatih dan tampil di berbagai acara. Kesibukannya menggembala atau mencari rumput tidak menghalanginya untuk tetap mempelajari dan melestarikan tarian Bali. Ia menuturkan bahwa dirinya sering mendapat kesempatan tampil di berbagai tempat dan kegiatan budaya.
Kecintaan Niang Soli terhadap Tari Bali membuatnya bertekad terus berkarya selama masih mampu bergerak. Meskipun usianya tidak lagi muda, niatnya untuk tetap aktif menari menjadi salah satu bukti kuatnya komitmen terhadap pelestarian budaya.
Ketua Sanggar Seni Saba Sari, I Gusti Ngurah Agung Giri Putra, menjelaskan bahwa, Niang Soli merupakan murid dari leluhur yang mewariskan Legong Bapang Saba. “Penampilan di Living World ini sejatinya merupakan persembahan dari para penerus tarian ini, yang sebagian besar berasal dari garis keluarga yang telah menjaga ajaran tari sejak turun-temurun,” ucapnya.
Giri Putra menerangkan bahwa Tari Legong Bapang Saba diciptakan pada sekitar tahun 1920-an oleh I Gusti Ngurah Jelantik, paman dari kakeknya, I Gusti Gede Raka. “Sejak masa itu, tarian ini dilestarikan oleh keluarga besar Puri Saba dan dilakukan secara turun-temurun, termasuk melalui sanggar Sanggar Seni Saba,” katanya..
Dalam penampilan di Roadshow Kebudayaan 2025, tarian ini diiringi oleh 23 orang penabuh gamelan. Para penarinya terdiri dari berbagai generasi, mulai dari pelajar SD, SMP, mahasiswa, hingga penari dewasa. Mereka adalah Ni Made Dania Putri, Ni Kadek Karisa Putri, Putu Intan Prasetia Dewi, Ni Putu Veni Dianista, dan tentu saja penari paling senior, Niang Soli.
Keikutsertaan para penari muda tersebut menjadi bukti bahwa Tari Legong Bapang Saba tidak hanya bertumpu pada seniman sepuh saja, melainkan terus diwariskan kepada generasi berikutnya. “Dengan adanya penerus yang konsisten berlatih dan tampil, tarian ini diharapkan tetap lestari dan dapat terus diperkenalkan kepada masyarakat luas,” harapnya..
Keluarga besar Puri Saba memiliki peran penting dalam menjaga ajaran dan gerak autentik Legong Bapang Saba. Mereka memastikan bahwa para penari memahami setiap detail gerak, termasuk nilai-nilai budaya yang terkandung dalam tarian tersebut. Proses pewarisan dilakukan secara intensif agar tidak terjadi perubahan drastis dari pakem yang diajarkan sejak awal.
Dengan usia yang telah mencapai 102 tahun, eksistensi Niang Soli dianggap sebagai simbol keteguhan dalam memelihara tradisi. Keberadaannya di atas panggung memberikan gambaran bagaimana pelestarian seni tidak selalu bergantung pada fasilitas modern, tetapi juga pada dedikasi dan komitmen pelakunya. (MBP)