Parade Gong Kebyar Wanita, Duta Klungkung dan Denpasar Suguhkan Garapan yang Mengesankan

DENPASAR – baliprawara.com
Tepuk tangan penonton bergemuruh di Panggung Ardha Candra, Taman Budaya Bali, Senin (30/6). Penonton yang memadati panggung pementasan itu, tak henti-hentinya memberi aplaus sebagai bentuk apresiasi terhadap penampilan peserta Parade Gong Kebyar Wanita yang digelar serangkaian Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-47.
Malam itu, dua peserta tampil yakni Sekaa Gong Tunjung Mekar Desa Adat Besang Kangin, Kelurahan Semarapura Kaja, Kecamatan Klungkung, duta Kabupaten Klungkung, dan Sekaa Gong Semara Budaya Banjar Badaksari, Desa Sumerta Kelod, Kecamatan Denpasar Timur, duta Kota Denpasar.
Penampilan kedua sekaa gong wanita ini sungguh mengesankan, dengan gegedig dan kekotek yang nyaris sempurna.
Aksi atraktif mereka disaksikan langsung Gubernur Bali Wayan Koster, Bupati dan Ketua DPRD Klungkung, Walikota dan Wakil Walikota Denpasar dan pejabat lainnya.
Sekaa Gong Tunjung Mekar, duta Kabupaten Klungkung menyuguhkan garapan Tabuh Telu Kreasi berjudul “Petinggar ” yang menggambarkan Ida Dalem Watu Renggong memindahkan kerajaan dari Gelgel ke tempat lain. Raja dengan kekhusyukan jnana, melihat sebuah cahaya yang terang. Ida Dalem berinisiatif menjadikan tempat tersebut sebagai letak kerajaan yang baru, yang saat ini disebut Kerajaan Semarajaya. Beranalogi dari cerita tersebut, penata mencoba menuangkan ide tersebut ke dalam tabuh telu lelambatan yang masih berpijak pada pola tradisi. Permainan pola melodi, ritme, dan dinamikanya sangat sederhana dan ringan.
Sekaa Gong Tunjung Sekar juga menampilkan garapan berjudul “Somya Samana”. Kemudian ditutup dengan Sandya Gita berjuluk “Urab Sari”. Sandya gita ini menggambarkan spirit
keberagaman dalam kehidupan. Keragaman sebuah kompleksitas yang nyata. Keberagaman seringkali menjadi sebuah batas manusia untuk saling memahami. Seringkali juga kita terjebak dalam upaya “penyeragaman” yang justru memudarkan “keberagaman”.
“Urab Sari” dianalogikan sebagai simbol keberagaman sari-sari kehidupan masyarakat Semarapura yang tercermin lewat seni budaya berpadu “meurab uraban” dalam satu wadah. Lewat lantunan nyanyian dalam sandya gita ini komposer mengajak umat manusia untuk tetap menjaga persatuan dalam keberagaman.
Sementara itu Sekaa Gong Semara Budaya, duta Kota Denpasar yang tampil di panggung sebelah selatan, menyuguhkan Tabuh Telu Pepanggulan “Semara Muni”. Tabuh ini menggambarkan kebahagiaan sejati;
tanpa keinginan, tanpa ikatan, dan melampaui semua rasa. Ungkapan primer ini diekspresikan ke dalam balutan gending “Semara Muni”, yang sarat akan pijakan tradisi dalam sentuhan kekinian dengan pola-pola gegedig, ritme dan kotekan yang sederhana, sehingga mudah dipahami bersama, dan sangat asyik dimainkan serta enak didengar melalui keindahan khas jajar pagehnya.
Sekaa Gong Semara Budaya juga menampilkan Tari Wiranjaya, salah satu tari kekebyaran yang mengekspresikan keperkasaan dan keberanian ksatria Pandawa yakni Nakula dan Sahadewa. Tari ini diciptakan oleh Ketut Merdana dan Putu Sumiasa dari Desa Kedis, Busungbiu, Buleleng pada Tahun 1958.
Terakhir, Sekaa Gong Semara Budaya menyuguhkan Sandya Gita berjudul “Suwak Warak”. Digambarkan bahwa kesejahteraan itu terwujud karena terimplementasinya konsep Tri Hita Karana dengan baik, salah satunya menjaga hubungan harmonis dengan alam. Alam terpelihara, air pun tersedia melimpah. Air sumber kehidupan bagi semua mahluk hidup.
Suwak Warak yang berarti kuatnya sistem tata kelola air yang mampu mengairi sawah di daerah pemukiman Badak Sari. Sehingga menghasilkan panen yang berlimpah dan memberikan kesejahteraan bagi masyarakatnya. (MBP2)