“Pejuang Amplop Coklat” yang Ditindas Budaya Nepotisme
Penulis : Nesda Varicela, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Manajemen Undiksha
DENPASAR – baliprawara.com
Istilah pejuang amplop coklat yang sudah melekat dipikiran masyarakat Indonesia adalah para pencari lowongan pekerjaan yang berjuang mendapatkan pekerjaan. Kini telah tercatat pada Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pengangguran pada bulan Februari 2021 sebanyak 8,75 juta orang di Indonesia. Jumlah ini meningkat 1,82 juta orang dari tahun sebelumnya.
Di masa pandemi yang menimpa negeri, menjadi bencana untuk para pejuang amplop coklat. Karena banyaknya karyawan yang di PHK akibat lesunya perekonomian. Jangankan untuk bekerja, orang yang bekerja pun kini terancam akibat pandemi. Walau Amplop coklat sudah disebar kemana-mana, namun hasilnya masih jauh dari harapan.
Ribuan email telah dikirimkan namun tak ada satupun yang berhasil lolos. Gelar sarjana akan menjadi beban tersendiri, dunia seakan tidak berpihak kepada para pejuang amplop coklat. Dunia seakan tidak adil bagi para pejuang amplop coklat. Tidak hanya terpukul pada masa pandemi yang mengharuskan perjuangan mereka berkali-kali lipat namun, juga masih ada musuh terbesar yang harus dihadapi olehnya.
Budaya nepotisme yang melekat di negeri ini, sungguh meresahkan pejuang amplop coklat yang tidak memiliki jaringan atau orang dalam. Bila ditelusuri secara riil di lapangan, masalah tidak hanya ada pada peluang lapangan kerja yang sangat terbatas, ditambah lagi dengan sistem perekrutan pegawai yang beraneka ragam.
Rekrutmen yang paling lumrah kita temukan adalah melalui lamaran dan kemudian diseleksi sesuai dengan kebutuhan perusahaan dengan berbagai tahap hingga final. Namun yang menjadi masalah adalah proses rekrutmen yang diharapkan memiliki transparansi jarang dijalankan, sehingga unsur Nepotisme menjadi suatu hal yang masih dilakukan dan masih dominan dalam perekrutan karyawan sampai saat ini.
Nepotisme yang melekat dilakukan dengan berbagai macam cara, yakni melalui orang dalam yang menjadi kerabat, saudara, teman, bahkan orang yang tidak dikenal, namun memiliki uang akan bisa masuk melalui jalur tersebut. Miris bukan?, nasib para pejuang amplop coklat yang tertindas. Kita ketahui Faktanya perusahaan-perusahaan sampai saat ini masih menerapkan sistem nepotisme dalam perekrutan karyawan. Hal tersebut terus berlangsung terus menerus dari dulu hingga sekarang yang kini telah menjadi budaya yang melekat pada masyarakat indonesia.
Nepotisme dipraktekkan oleh perusahaan-perusahaan swasta maupun pemerintahan. Dengan berbagai cara yang kini telah semakin terkelabui, seolah-olah rekrutmen tersebut transparan namun dalamnya masih mengutamakan nepotisme. Cara yang dilakukan untuk melancarkan nepotisme tersebut, bisa dari hasil tes yang dimanipulasi, standar penilaian tes yang diturunkan, sampai tidak objektifnya proses seleksi pada tahap wawancara akhir.
Untuk seleksi rekrutmen tertutup bisa lebih mudah lagi. Para pelaku nepotisme pada perusahaan tersebut memberikan pengumuman rekrutmen namun seleksi ditiadakan. Ataupun seleksi ada tapi hanya sebatas formalitas saja.
Sistem ini sangat merugikan banyak pihak, dan merusak tatanan keadilan dalam berkehidupan. Bagi para pejuang amplop coklat yang memiliki potensi harus kalah dengan seseorang yang memiliki kekuasaan tanpa harus bersusah paya merasakan keringat perjuangan. Mereka bahkan tidak hanya sesuai kualifikasi, namun kekuatan orang dalam bisa menyulap latar belakang pendidikan yang berbeda tidak menjadi masalah. Akibatnya bisa buruk sekali, mulai dari mental yang akan down, pikiran negatif dan tentu saja masa depan yang akan semakin susah diraih.
Sebagai contoh yang sering ditemukan adalah rekrutmen tenaga kerja pemerinta. Para tenaga kerja honorer yang rata-rata tanpa seleksi bisa duduk dan bekerja disuatu instansi pemerintah dengan tenang. Rekrutmen tenaga kerja honorer pemerintah yang jarang saya temukan di berbagai loker namun karyawannya terus bertambah dan berjumlah banyak menjadi salah satu bukti kecil yang nyata akan budaya nepotisme tersebut.
Bahkan saat saya berkunjung ke suatu instansi pemerintah dalam rangka mengambil data untuk penelitian di daerah saya yaitu di salah satu kantor di provinsi. Saya melihat sendiri suasana kantor yang sepi karyawan (sebelum masa pademi). Selain itu banyak karyawan yang istirahat melebihi jam yang seharusnya, berjalan-jalan di jam kantor dengan menggunakan baju dinas, bahkan saat diwawancara mereka sedikit kebingungan mengenai pekerjaan mereka.
Hal ini salah satu diduga karena adanya budaya nepotisme. Akibat dari buaya nepotisme tidak hanya memudahkan para pelamar yang diselamatkan orang dalam. Namun menyebabkan ketidak bersyukurnya dalam melakukan pekerjaan yang profesional. Mereka yang merasa mudah mendapatkan pekerjaan membuat mental mereka masih rendah dan semena-mena dalam bekerja.
Haruskah budaya ini terus berlanjut untuk anak cucu negri kita?. Budaya yang sulit dilepas dalam benak masyarakat terutama masyarakat kecil. Haruskah juga kita menyia-nyiakan potensi anak negeri yang tertindas nepotisme karena tidak memiliki orang dalam?. Sungguh miris keadaan yang semakin menjadi-jadi dirasakan oleh para pejuang amplop coklat terutama di masa pandemi ini.
Maka daripada itu besar harapan untuk semestinyalah sistem ini dirubah. Dimana dalam perekrutan karyawan nepotisme ini dihapuskan seluruhnya sehingga asas keadilan dapat terlaksana seutuhnya. Dan tentu saja para pencari kerja akan dapat bersaing secara kompetitif tanpa harus khawatir adanya “titipan” dalam mengikuti seleksi penerimaan karyawan. Semoga budaya nepotisme tersebut dapat berubah menjadi buaya transparan dalam seleksi karyawan sehingga tidak ada lagi kerisauan para pejuang amplop coklat untuk di anak tirikan dalam seleksi rekrutmen pegawai. Khususnya untuk seleksi pegawai pada instansi pemerintah yang telah melekat di benak masyarakat akan kecurangan yang lumrah dengan mudah dilakukan. Semoga indonesia menjadi negeri yang jujur dengan bibit potensi yang hebat membangun SDM berkualitas tanpa budaya nepotisme.