Pembatasan Pembuangan Jenis Sampah ke TPA Suwung Timbulkan Keresahan Masyarakat

Sukarsa
Oleh :
I Wayan Sukarsa
Perubahan gaya dan pola hidup masyarakat sebagai dampak dari kemajuan pembangunan di berbagai bidang kehidupan berimplikasi pada meningkatnya volume sampah, baik sampah organik maupun anorganik, menjadi isu daerah maupun global yang belum tertangani secara tuntas.
Persoalan sampah menjadi permasalahan bersama yang harus ditangani dengan kebijakan yang tepat untuk mendapatkan solusi yang tepat, melalui perencanaan komprehensif dan berkelanjutan, agar tidak menimbulkan permasalahan multidimensi dan memberikan dampak buruk bagi masyarakat dan pemerintah.
Pemerintah memiliki kewenangan dan kewajiban dalam sistem pengelolaan sampah melalui sistem penanganan dan pengurangan, mencakup aspek pelayanan, kelembagaan, pendanaan, partisipasi masyarakat dan swasta, kepastian hukum, kejelasan tanggung jawab dan pembagian kewenangan.
Permasalahan utama sampah adalah paradigma, perilaku dan kesadaran (Mahyudin, 2014). Upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk mendukung pengelolaan sampah yakni dengan menerbitkan Pergub Provinsi Bali Nomor 47 Tahun 2019 tentang pengelolaan sampah berbasis sumber. Tujuannya, untuk mengurangi timbulan sampah dan langkah antisipasi ditutupnya TPA Suwung sebagai tempat pemrosesan akhir sampah masyarakat.
Melihat kondisi dan dampak lingkungan yang ditimbulkan dari proses pengolahan sampah TPA Suwung dengan metode open damping, Pemerintah sebagai regulator mengatur pengelolaan sampah. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI menerbitkan surat nomor 921 tahun 2025 tentang penghentian pengelolaan sampah dengan metode open dumping paling lambat 180 hari sejak diterbitkan pada 23 Mei 2025.
Sebagai tindak lanjut dari regulasi itu, Pemerintah Provinsi Bali mengeluarkan Surat Gubernur Nomor B.24.600.4/3664/PSLB3PKLH/DLHK tertanggal 23 Juli 2025 yang menyatakan bahwa mulai 1 Agustus 2025 TPA Regional Suwung hanya menerima sampah anorganik dan residu.
Upaya lain, Pemerintah Provinsi Bali mengambil langkah kebijakan pembatasan pembuangan jenis sampah dan program PADAS (Palemahan Kedas) dengan membuat teba modern di masing-masing rumah, banjar, desa dan di lingkungan kantor pemerintahan dan swasta. Ini merupakan sebuah ide out of the box, mengubah mind set dan cultural set masyarakat bahwa sampah bukan musibah, tetapi berkah. Ide tersebut sangat relevan dengan upaya menjaga kelestarian lingkungan dan kesehatan. Mau tidak mau, dan suka tidak suka, penghasil sampah mesti mengikuti kebijakan tersebut.
Namun, dampak dari penerapan kebijakan bahwa TPA Suwung hanya menerima sampah anorganik dan residu, menimbulkan keresahan di masyarakat.
Penerapan berbagai kebijakan secara teoritik, fungsi pemerintah sebagai regulator mengatur pengelolaan sampah, sebuah tindakan yang bagus. Bagi masyarakat yang berada pada kondisi comfort zone, lebih mengutamakan kemudahan, cenderung aman dan bebas risiko dari ekses buruk yang belum berubah dirasakan dan terkesan mendadak menjadi ekses negatif dari implementasi kebijakan tanpa penyiapan alternatif atau solusi jangka pendek untuk memitigasi resiko atau permasalahan sehingga menimbulkan keresahan, kepanikan dan kebingungan. Sebab, masyarakat belum siap melakukan perubahan paradigma, utamanya bagi masyarakat di wilayah perkotaaan dengan intensitas kesibukan yang cukup tinggi, keterbatasan lahan serta ekonomi, sehingga memunculkan adanya gelar aksi dari pengangkut sampah (Moci) sebagai mitra kerja masyarakat di depan Kantor Gubernur (Tribun Bali 5, Agustus 2025).
Kebijakan Pemerintah dalam mendorong masyarakat untuk bertanggung jawab terhadap sampah yang dihasilkan dengan mengubah paradigma dan pola pikir masyarakat dengan kondisi, karateristik, pemahaman dan tingkat perekonomian yang berbeda, bahwa permasalahan sampah merupakan tanggung jawab penghasil diperlukan adanya perencanaan kebijakan didasarkan analisis, melibatkan pemangku kepentingan, dengan mitigasi risiko, melihat dan mempertimbangkan kondisi, situasi dan sifat wilayah. Dengan demikian, dalam implementasinya dampak yang ditimbulkan dapat diatasi dan diminimalkan. Pemerintah dan pemegang kekuasaan di tingkat wilayah sebagai penyelenggara pelayanan publik, dapat memberikan alternatif jangka pendek atau sementara bagi wilayah yang tidak memiliki pengelolaan sampah secara madiri, sambil mencari kebijakan dan metode yang tepat dalam pengelolaan sampah secara berkelanjutan, mempertimbangkan keterbatasan lahan dan penolakan dari elemen masyarakat, dari berbagai metode penanganan sampah, kiranya metode Incinerator dengan Teknologi WTE paling memungkinkan dikolaborasikan dengan pengelolaan sampah di tingkat sumber, serta didukung oleh pemilahan sampah yang ketat untuk mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan. (*)
Penulis adalah Analis Kebijakan pada Badan Riset dan Inovasi Daerah Kabupaten Badung.