Pengalihan Pidana Tidak Dapat Diterapkan dalam Kasus YDP

 Pengalihan Pidana Tidak Dapat Diterapkan dalam Kasus YDP

Tim dari SYRA LAW FIRM, saat mendampingi persidangan.

DENPASAR – baliprawara.com

Sidang lanjutan sengketa dana Yayasan Dhyana Pura (YDP), terus bergulir pasca ditemukannya sejumlah kejanggalan dari hasil audit Kantor Akuntan Publik (KAP) Ramantha. Sidang lanjutan kembali digelar, Kamis 25 Juli 2024, bertempat di ruang Cakra, Pengadilan Negeri (PN) Denpasar, dengan menghadirkan dua ahli yakni Ahli Hukum Pidana dan Ahli Hukum Perdata.

Dari fakta persidangan yang dirangkum, pernyataan menarik muncul dari keterangan kedua ahli yang dihadirkan. Yang mana, untuk Ahli pertama Dr. Dewi Bunga, S.H., M.H., selaku Ahli Pidana menyampaikan, terkait kesalahan pencatatan, harus dicek kembali, apakah ada kecurangan atau penggelapan, atau ada kesalahan pencatatan baik itu dari auditor maupun seorang bendahara. Maka untuk itu pencatatan audit ini harus jelas, begitu juga bila menggunakan audit akuntan publik, harus falid, dan hasil audit itu bisa dibuktikan.

“Alat bukti itu harus jelas, tidak boleh ada alat bukti yang diperoleh dari upaya melanggar hukum. Apabila itu terjadi maka alat bukti itu tidak bisa digunakan sebagai alat bukti sah,” katanya dalam persidangan.

Lebih lanjut menurutnya, jika alat bukti yang dihadirkan berupa hasil audit dengan metode audit yang dinyatakan salah oleh ahli yang membidangi, tentu ini tidak bisa digunakan. Apabila itu ada, tentu akan membawa konsekuensi terhadap hasil audit yang tidak bisa digunakan sebagai alat bukti.

Apalagi dari fakta persidangan sebelumnya, saksi ahli mengakui kalau audit ini tidak lengkap atau tidak sempurna, karena keterbatasan dari bukti dan tidak melakukan pemeriksaan langsung. Tentu ini kata dia tidak sah. “Kalau prosedur audit yang dilanggar, tidak ada konfirmasi, maka kemungkinan hasilnya tidak valid, maka itu tidak dapat digunakan sebagai alat bukti,” ucapnya, akademisi Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar.

See also  Pengunjung Pantai Batu Bolong, Diberi Teguran oleh Tim Operasi Yustisi PPKM
Ahli Dr Made Gde Subha Karma Resen SH., MKn.

Sementara itu, untuk ahli kedua atas nama Dr. Made Gde Subha Karma Resen, S.H.,M.Kn, sebagai Ahli Hukum Perdata, menyampaikan kalau Yayasan itu merupakan suatu badan hukum yang didirikan berdasarkan kekayaan terpisah. Kemudian badan hukum ini memiliki tujuan Sosial, kemanusiaan, keagamaan dan tanpa anggota. Tentu makna tanpa anggota inilah yang membedakan antara Yayasan dengan badan hukum lainnya.

Seperti contohnya perseroan terbatas yang ada sekutu modal atau anggota, sedangkan di dalam yayasan tidak. Sehingga dalam AD ART tidak boleh mencantumkan kepemilikan suatu yayasan. Karena ketika yayasan itu ditetapkan sebagai badan hukum, maka dia sudah menjadi publik domain, tidak ada lagi kepemilikan dari siapa-siapa.

“Berbeda antara PT dengan Yayasan. Karena PT motif utamanya adalah profit oriented, sedangkan yayasan adalah sifatnya sosial, kemanusiaan, keagamaan,” ucap Dosen Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Udayana inu menjelaskan.

Lebih lanjut kata dia, Yayasan tidak dapat diintervensi oleh siapapun. Karena putusan tertinggi dari Yayasan, ada pada Rapat Pembina. Yayasan memiliki organ-organ yang memiliki kewenangan tugas masing-masing, tidak ada pemiliknya, dan tidak dapat diintervensi oleh siapapun, karena telah disahkan oleh kemenkumham berdasarkan undang undang yang berlaku, bahwa Yayasan itu merupakan entitas mandiri,” terangnya.

Terkait pemanfaatan kekayaan dari yayasan, ada pembatasan-pembatasan sesuai pasal 5 Undang Undang yayasan. Untuk penyetoran dana dari Yayasan ke suatu lembaga lain, menurutnya hal itu tidak diperbolehkan. Itu menurutnya merupakan perbuatan melawan hukum, karena undang undang tidak memperbolehkan yayasan itu melakukan tindakan-tindakan di luar ketentuan yang diatur di dalamnya.

See also  Kasus Terlalu Dipaksakan, Ahli Pidana Sebut Prof Antara Harusnya Bebas
Ahli Pidana  Dr. Dewi Bunga, S.H., M.H., (dua kiri) bersama Tim SYRA LAW FIRM.

Selanjutnya ditegaskan Advokat Sabam Antonius, SH dari SYRA LAW FIRM selaku penasehat hukum dari Terdakwa 1, merujuk pada UU 16 tahun 2001 tentang yayasan, dijelaskan bahwa ketika laporan keuangan dan laporan pertanggungjawaban sudah diberikan oleh Pengurus Yayasan kepada Pembina, dan sudah disahkan di rapat Pembina, maka pertanggungjawaban tersebut sudah tidak lagi berada di Pengurus. Hal tersebut bahkan sudah dilaksanakan oleh Pengurus Yayasan Dhyana Pura periode 2016-2020.

Sebagaimana jelas diatur pada pasal 50 ayat 3, serta dalam penjelasan pada pasal tersebut, sehingga sebenarnya hal ini merupakan tanggung jawab pembina. Namun jika melihat hasil audit yang dituduhkan sebenarnya ini merupakan hanya selisih pencatatan yang mana selisih tersebut dapat dibuktikan yaitu diantaranya Rp 12 Miliar ada pada pembangunan gedung E yang tidak dicatatkan dalam audit. Selain itu, pencarian cek juga tidak dicatatkan, yang mana pencarian itu ada pada unit-unitnya dimana bukti itu telah ditunjukkan kepada auditor di muka persidangan.

“Terkait hasil audit yaitu selisih Rp 25 Miliar lebih itu, merupakan selisih dari hasil semua transaksi yang ada di Yayasan Dhyana Pura, dan unit- unit di bawahnya, dimana terdapat pembagian porsi anggaran yaitu 70% dikelola di unit, dan 30% dikelola di yayasan. Namun auditor malah membebankan pertanggungjawabannya semua kepada pengurus,” tegasnya.

Ia justru meragukan independensi auditor jika melihat banyaknya kecacatan, baik secara prosedur serta dalam isi hasil audit tersebut, Kasus ini menurutnya seakan dipaksakan yang ditujukan kepada kliennya.

Sementara itu, Advokat I Putu Sukayasa Nadi, SH.,MH., didampingi Rudi Hermawan,SH., Anindya Primadigantari, SH.,MH., juga menerangkan  ada postulat yang harus dipegang dalam hukum pidana, in criminalibus probationes bedent esse luce clariores, atau bukti harus lebih terang daripada cahaya. Bagaimana dalam pengadilan membuat kasus ini menjadi jelas terungkap, jika alat bukti yang seharusnya membuat terang, kasus ini malah justru menggelapkan, karena adanya kecacatan prosedur dan ketidaksempurnaan dalam pembuktiannya. “Dan ini merupakan hal yang berbahaya, karena bukti berupa hasil audit yang tidak valid dijadikan sebagai dasar laporan di kepolisian hingga masuk ke persidangan,” tutupnya. (MBP)

See also  Honda ADV160 Sabet Gelar Motor Terbaik di Indonesia
Tim SYRA LAW FIRM.

redaksi

Related post