Petani Menjerit, Terhimpit di Balik Mahalnya Sarana Produksi dan Komoditas Kebutuhan Pokok

 Petani Menjerit, Terhimpit  di Balik Mahalnya Sarana Produksi dan Komoditas Kebutuhan Pokok

Sukarsa

Oleh:I Wayan Sukarsa.

Petani menjerit” adalah frasa menggambarkan penderitaan dan kesulitan yang dialami oleh petani dalam memenuhi kebutuhan pokok terutama beras. Beras merupakan bahan pangan pokok dan komoditas yang dikuasi publik serta memiliki nilai strategis menjaga stabilitas baik dari aspek ekonomi, lingkungan hidup, sosial, dan politik. Kenaikan harga beras menjadi tantangan besar bagi pemerintah Indonesia dalam mengelola ketahanan pangan untuk memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat khususnya petani secara rata-rata mengkonsumsi beras lebih tinggi bila dibandingkan dengan jenis pekerjaan lainnya. Mayoritas petani adalah berstatus sebagai petani gurem, sensus pertanian mengungkapkan, sebanyak 48% lahan tani dikelola oleh petani penyakap atau sistem sewa, sehingga, lahan-lahan tani yang tersedia saat ini bukanlah milik petani itu sendiri, justru petani penyakap dan kecil menjadi salah satu penyebab kehidupan petani menjadi miskin. Sensus pertanian tahun 2023 yang dilaksanakan oleh Badan statistik jumlah petani gurem di Indonesia sebanyak 16,89 juta rumah tangga (kompas Rabu,24 September 2025) dan konsumen bersih (net consumer) artinya mereka tidak bisa bergantung pada hasil produksi sendiri dan mesti membeli beras untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Nasib petani Indonesia saat ini sulit dan cenderung memburuk, ditandai dengan pendapatan rendah, akses terbatas terhadap lahan, benih, pupuk, dan air, harga jual hasil panen yang tidak menentu, serta peningkatan masalah agraria, banyak petani masih gagap teknologi dan memiliki literasi finansial yang rendah, akses terbatas terhadap permodalan dan teknologi, sistem distribusi yang tidak efisien, minimnya posisi tawar membuat keuntungan lebih banyak dinikmati oleh pihak lain. Dalam dimensi pengelolaan sektor pertanian kehidupan para petani ibarat berada di ujung tanduk karena dihadapkan masalah krusial seperti penurunan jumlah petani, lahan pertanian yang menyempit dan rusak, keterbatasan modal, fluktuasi harga hasil panen, serta dampak perubahan iklim Fenomena El Nino dan La Nina yang meningkatkan risiko gagal panen yang menyebabkan kondisi kemiskinan terus berlanjut. Petani sebagai produsen beras tetap tetap menjerit sebagai dampak atau imbas mahalnya harga beras, sebagai dampak kurangnya penerapan sistem lumbung pangan dan menjual hasil panen baik seluruhnya maupun sebagaian, lantaran mereka tergiur tingginya harga gabah, terhimpit kebutuhan membayar sewa lahan dan beban utang serta kebutuhan lain diluar konsumsi pangan. Sensus pertanian tahun 2023 yang dilaksanakan oleh Badan statistik mencatat jumlah petani gurem di Indonesia sebanyak 16,89 juta rumah tangga (Kompas Rabu,24 September 2025) dan konsumen bersih (net consumer). Artinya mereka tidak bisa bergantung pada hasil produksi sendiri dan mesti membeli beras untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Situasi ini menjadikan pilihan yang sulit, jika mereka berhenti sebagai petani dan mencari pekerjaan lain yang tentu tidak mudah diperoleh, kehidupan keluarganya pasti terancam dan bila meneruskan pekerjaan sebagai petani, hasilnya tidak memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sektor pertanian jelas mempunyai peran yang sangat penting untuk menciptakan ketahan pangan dan menjaga stabilitas nasional namun ironis dan miris melihat nasib petani yang kian hari semakin pupus pengharapannya jika hal ini terus berlanjut, dan sektor pertanian lambat laun akan ditinggalkan. Hasil Survei Pertanian Terpadu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pendapatan rata-rata petani kecil di Indonesia kurang dari 1 dolar AS atau sekitar Rp 15.199 per hari. Menurut Ahli Ekonomi Universitas Pasundan (Unpas) Avuciabi Kartabi, terdapat dua penyebab pendapatan petani di Indonesia tidak sebanding dengan harga jual beras yaitu mahalnya biaya produksi, nilai tukar biaya produksi kian meningkat. Teori ketergantungan atau dependensi menurut Andre Gunder Frank, berpendapat bahwa keterbelakangan negara berkembang adalah akibat dari hubungan eksploitasi historis dan berkelanjutan dengan negara maju yang bersifat tidak saling menguntungkan melainkan subordinatif dan eksploitatif.
Jika fungsi proteksionis yang diprioritaskan pemerintah untuk menjaga ketahanan nasional namun menumbangkan petani secara perlahan-lahan, negara ini berada dalam posisi yang rentan akibat ketergantungannya pada faktor-faktor eksternal seperti perubahan iklim global dan fluktuasi harga pasar internasional.

See also  Pemrov Bali Sikapi Dinamika Distribusi LPG 3 Kg

Petani adalah bagian masyarakat sipil yang mesti dilindungi dan dijamin hak-haknya untuk hidup layak dan sejahtera dengan berbagai kelemahan dan kekurangan yang ada. Tantangan sektor pertanian saat ini adalah Jumlah petani secara agregat terus mengalami penurunan, berkurangnya lahan pertanian akibat reformasi lahan, perubahan iklim, dukungan kebijakan dari pemerintah yang kurang memihak petani, program diduga belum efektif menjangkau kebutuhan petani, minimnya representasi petani di lembaga politik, serta rendahnya produktivitas dan ketergantungan pada input modern, menyebabkan sektor pertanian dan petani semakin terpinggirkan. Pemerintah sebagai regulator dan pembuat kebijakan lebih memperhatikan nasib petani mempunyai posisi dan peranan penting menyiapkan strategi yang komprehensif dan berkelanjutan untuk memperkuat sektor pertanian domestik, pengaturan harga beras melalui dukungan kebijakan dan infrastruktur (subsidi, pengendalian impor, jaring pengaman sosial), penguatan praktik pertanian berkelanjutan (rotasi tanaman, penggunaan bahan organik), pemanfaatan teknologi (pertanian presisi, SIG, urban farming), serta pengembangan model bisnis inovatif (kolaborasi, agrowisata, peningkatan), meningkatkan daya serap dan harga pembelian gabah oleh pemerintah (HPP) saat panen raya, mengendalikan spekulasi dengan memastikan kelancaran distribusi dan mencegah penimbunan serta mendorong diversifikasi pangan dan memperkuat infrastruktur logistik dan petani untuk efisiensi. (*)

Penulis adalah Analis Kebijakan pada Badan Riset dan Inovasi Daerah Kabupaten Badung.

Redaksi

Related post